Kisah Malahayati, Laksamana Wanita asal Aceh Penakluk Cornelis de Houtman dalam Duel Satu Lawan Satu

Kemerdekaan yang didapatkan Indonesia 78 tahun silam merupakan hasil jerih payah para pejuang tanah air. Salah satu pejuang dari kalangan perempuan yakni Malahayati.

oleh Rokhmi Noviastussani diperbarui 23 Nov 2023, 14:36 WIB
Diterbitkan 23 Nov 2023, 14:27 WIB
Ilustrasi Malahayai (sumber : kacamatabeta)
Ilustrasi Malahayai (sumber : kacamatabeta)

Liputan6.com, Jakarta Kemerdekaan yang didapatkan Indonesia 78 tahun silam merupakan hasil jerih payah para pejuang tanah air. 

Sudah tak berbilang berapa banyak nyawa dipertaruhkan oleh para kusuma bangsa demi terwujudnya kemerdekaan sebagai syarat berdirinya suatu negara berdaulat. Malahayati adalah salah satu dari sekian banyak pejuang tersebut.

Malahayati telah menjadi sosok legenda dalam masyarakat Aceh. Tak hanya di Aceh, perempuan pejuang itu juga dikenal oleh para sejarawan internasional sebagai laksamana laut perempuan pertama di dunia. Bahkan musisi legendaris Indonesia, Iwan Fals, pernah mengabadikan nama dan kisah hidup Laksamana Malahayati ke dalam sebuah lagunya yang ia rilis pada tahun 2010. 

Merangkum dari laman resmi Indonesia.go.id pada Kamis (23/11/2023), berikut kisah Malahayati dan perjuangannya.

Siapa Malahayati?

Malahayati merupakan perempuan asli Aceh kelahiran 1 Januari 1550 lampau dan menjadi satu di antara beberapa singa betina dari Tanah Rencong yang bernyali besar, selain Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia yang melawan kolonialisme. Terlahir dengan nama Keumalahayati, ia berasal dari keluarga pengarung samudra berdarah biru.

Seperti tertulis di dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, karya Ismail Sofyan disebutkan bahwa ayah Malahayati yakni Laksamana Mahmud Syah adalah Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh. Malahayati adalah cicit dari Sultan Salahuddin Syah, raja kedua di Kesultanan Aceh yang memerintah pada tahun 1530 sampai 1539.

Perjalanan Malahayati

Masa remaja Malahayati dijalani di dalam lingkungan istana, termasuk mengikuti pendidikan di akademi militer matra angkatan laut kesultanan yang dikenal sebagai Mahad Baitul Maqdis. Pada usia sekitar 35 tahun, kira-kira tahun 1585, Malahayati dipercayakan untuk mengepalai Barisan Pengawal Istana Rahasia dan menjabat sebagai Panglima Protokol Pemerintah pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil.

Perlawanan terhadap kolonialisme Portugis pertama kali diinisiasi oleh Malahayati melalui sebuah pertempuran di perairan Teluk Haru, dekat Selat Malaka pada tahun 1586. Suaminya, Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, yang juga menjabat sebagai Kepala Pengawal Sultan, memimpin pertempuran tersebut. Armada perang Kesultanan Aceh berusaha menghentikan kapal-kapal perang Portugis. Meskipun armada perang Kesultanan Aceh berhasil mengusir Portugis, sayangnya suami Malahayati gugur dalam pertempuran tersebut.

Malahayati tidak bisa menerima kenyataan tersebut dan bersumpah untuk membalas dendam serta melanjutkan perjuangan suaminya. Posisi yang ditinggalkan oleh mendiang Laksamana Tuanku Mahmuddin kemudian diambil alih oleh Malahayati.

Sultan Riayat Syah memberikan Malahayati pangkat laksamana, menjadikannya perempuan pertama di dunia pada saat itu yang memegang pangkat tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam buku "Perempuan Keumala". Malahayati mengungkapkan rencana ambisiusnya kepada Sultan, yaitu membangun armada tempur laut yang seluruh prajuritnya adalah perempuan.

Malahayati Membuat Pasukan Elite

Untuk meneruskan perjuangan sang suami, Malahayati memutuskan untuk membangun sebuah armada tempur laut yang seluruh prajuritnya adalah perempuan. Pasukan elite tersebut dinamakan Inong Balee atau prajurit perempuan yang berstatus janda.

Jumlah pasukannya pun tidak main-main, mencapai 2.000 orang. Mereka adalah para janda dari prajurit yang gugur kala bertempur melawan Portugis. Dengan berbekal kemampuan yang didapat ketika menimba ilmu di Mahad Baitul Maqdis, Malahayati melatih Inong Balee menjadi pasukan tempur yang disegani.

Pasukan Inong Balee mulai dilibatkan dalam beberapa peperangan melawan Portugis dan Belanda. Wilayah pertempuran mereka tidak hanya sebatas di perairan Selat Malaka saja, namun juga sampai ke pantai timur Sumatra dan Malaya.

Pada tanggal 21 Juni 1599, dua kapal Belanda, de Leeuw dan de Leeuwin berisi pasukan perang dipimpin dua bersaudara, Cornelis dan Frederik de Houtman ingin bersandar di pelabuhan Aceh Besar. Bumi Serambi Makkah itu menjadi tujuan kesekian dari dua bersaudara de Houtman setelah sebelumnya menyinggahi Banten, Madura, sampai ke Bali untuk berburu rempah-rempah.

Hanya saja, mereka selalu menemui perlawanan masyarakat setempat karena tabiat pasukan de Houtman bersaudara yang tak disukai. Hal serupa juga dialami saat mencapai Aceh Besar. Mereka tertahan di atas kapal di tengah laut karena tak dapat izin dari Sultan.

Laksamana Malahayati Taklukan Cornelis de Houtman

Laksamana Malahayati dan pasukan Inong Balee telah menunggu dan bersiaga. Sultan pun memerintahkan Laksamana Malahayati mengusir dua kapal Belanda tersebut. Pertempuran di tengah laut tak terelakkan. 

Pasukan Inong Balee berhasil menghancurkan dua kapal dagang itu. Dalam sebuah duel satu lawan satu di atas kapal musuh pada 11 September 1599, Laksamana Malahayati berhadapan dengan Cornelis. Nyawa Cornelis pun melayang di ujung rencong Malahayati.

Tak hanya cakap sebagai panglima perang di lautan, Malahayati juga dikenal sebagai juru runding yang piawai. Pemerintah Belanda mengajukan pembebasan para tawanan perang mereka yang ditahan pihak Kesultanan Aceh termasuk Frederik de Houtman. 

Sultan pun mengutus Malahayati untuk maju ke meja perundingan menghadapi Belanda. Sebuah syarat pun diajukannya, yaitu Belanda harus membayar ganti rugi atas peperangan yang mereka timbulkan demi membebaskan prajurit-prajurit yang dipenjara.

Wafatnya Malahayati

Malahayati meninggal pada tahun 1615 dan dikebumikan di sekitar bentengnya di Desa Lamreh, Krueng Raya. Pada tanggal 9 November 2017, melalui Keputusan Presiden RI nomor 115/TK/Tahun 2017, Presiden Joko Widodo menetapkan Malahayati sebagai Pahlawan Nasional.

Selain diabadikan sebagai nama salah satu kapal perang TNI-Angkatan Laut (AL), Malahayati juga dijadikan sebagai nama pelabuhan di Desa Lamreh Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. 

Sejak zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Pelabuhan Malahayati, yang sebelum 1970 digunakan sebagai pelabuhan transit, kemudian mengalami perubahan fungsi menjadi tempat singgah kapal dan akhirnya menjadi terbengkalai setelah bencana tsunami pada tahun 2004. Barulah pada tahun 2007, Pelabuhan Malahayati kembali beroperasi untuk mengangkut produk ekspor asal Aceh ke wilayah Eropa dan Timur Tengah.

Apa Yang Dilakukan Laksamana Malahayati Saat Berhadapan dengan Cornelis de Houtman?

Saat pertempuran pada 1599, pasukan Inong Balee yang dipimping Malahayati secara mengejutkan mampu mengalahkan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Salah satu aksi heroik yang dilakukan Laksamana Malahayati adalah saat ia berhadapan dengan Cornelis de Houtman di atas geladak kapal pada 11 September 1599 dan berhasil membunuhnya.

Kenapa Laksamana Malahayati Membunuh Cornelis de Houtman?

Malahayati membunuh Cornelis de Houtman yang merupakan kapten Belanda untuk membalaskan dendam suaminya, Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief yang tewas terbunuh dalam perang di perairan Selat Malaka.

Kapan Cornelis de Houtman Mendatangi Indonesia?

Belanda datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1596, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan berhasil mendarat di Pelabuhan Banten.

Apa Julukan Laksamana Malahayati?

Mengutip dari laman Perpustakaan Nasional, Laksamana Malahayati dikenal juga dengan nama Keumalahayati.

Malahayati Lahir Dimana?

Laksamana Malahayati dilahirkan di Aceh Besar pada tahun 1550.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya