Alasan MUI hingga Muhammadiyah Keluarkan Fatwa Haram Kripto

Keberadaan kripto di Indonesia hingga saat ini masih menjadi sebuah polemik.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 21 Jan 2022, 19:49 WIB
Diterbitkan 21 Jan 2022, 19:49 WIB
Aset Kripto
Perkembangan pasar aset kripto di Indonesia. foto: istimewa

Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan aset kripto di Indonesia hingga saat ini masih menjadi sebuah polemik. Bahkan tiga organisasi agama Islam di Indonesia telah memberikan fatwa bahwa cryptocurrency haram

Fatwa terbaru dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pengurus Pusat Muhammadiyah pada Selasa 18 Januari 2022. 

Terkait hal ini, Majelis Tarjih dan Tajdid Pengurus Pusat Muhammadiyah memandang polemik mata uang kripto ini dapat dipandang dari dua sisi yaitu sebagai instrumen investasi dan alat tukar.

"Sebagai alat investasi, mata uang kripto ini memiliki banyak kekurangan jika ditinjau dari syariat Islam. seperti adanya sifat spekulatif yang sangat kentara. Nilai bitcoin ini sangat fluktuatif dengan kenaikan atau keturunan yang tidak wajar," tulis keterangan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Selasa, 18 Januari 2022.

Adapun, kripto juga disebut mengandung gharar atau ketidakjelasan. 

"Bitcoin hanyalah angka-angka tanpa adanya underlying asset, aset yang menjamin bitcoin, seperti emas dan barang berharga lain," lanjut keterangan itu.

Sifat spekulatif dan gharar ini diharamkan oleh syariat sebagaimana Firman Allah dan hadis Nabi Saw serta tidak memenuhi nilai dan tolok ukur Etika Bisnis menurut Muhammadiyah, khususnya dua poin ini, yaitu: tidak boleh ada gharar (HR. Muslim) dan tidak boleh ada maisir (QS. Al Maidah: 90).

Kemudian yang kedua ditinjau sebagai alat tukar, Majelis Tarjih Muhammadiyah menilai mata uang kripto ini hukum asalnya adalah boleh karena seperti kaidah fiqih bermuamalah seperti skema barter.

Skema barter ini menekankan kedua belah pihak sama-sama ridha, tidak merugikan, dan melanggar aturan yang berlaku.

"Namun demikian, jika menggunakan dalil sadd adz dzariah atau mencegah keburukan, maka penggunaan uang kripto ini menjadi bermasalah," lanjut fatwa tersebut.

Majelis Tarjih menilai standar mata uang yang dijadikan sebagai alat tukar seharusnya memenuhi dua syarat, yaitu diterima oleh masyarakat dan disahkan oleh negara yang dalam hal ini dapat diwakili otoritas resmi seperti bank sentral.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang cryptocurrency

Kemudian, Majelis Ulama Indonesia juga lebih dulu mengeluarkan fatwa cryptocurrency haram. Dilansir dari situs resmi MUI, dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ke-7 yang digelar pada November lalu  di Jakarta, menyepakati 17 poin bahasan salah satunya adalah Hukum Cryptocurrency.

Dalam pembahasan tersebut dinyatakan bahwa penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram, karena mengandung gharar, dharar dan bertentangan dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia nomor 17 tahun 2015. 

Cryptocurrency sebagai komoditi atau aset digital juga tidak sah diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, qimar dan tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i, yaitu ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli.

Adapun Cryptocurrency sebagai komoditi atau aset yang memenuhi syarat sebagai sil’ah dan memiliki underlying serta memiliki manfaat yang jelas hukumnya sah untuk diperjual belikan.

 

Fatwa dari NU

Ilustrasi Mata Uang Kripto, Mata Uang Digital. Kredit: WorldSpectrum from Pixabay
Ilustrasi Mata Uang Kripto, Mata Uang Digital. Kredit: WorldSpectrum from Pixabay

Fatwa Nahdlatul Ulama (NU) tentang cryptocurrency

Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail NU (LBMNU) Jatim, KH Muhammad Anas mengungkapkan, hasil sidang bahtsul masail PWNU Jawa Timur (Jatim) memutuskan bahwa cryptocurrency haram.

"Dalam sidang bahtsul masail, cryptocurrency dikaji dengan sudut pandang sil’ah atau mabi’ dalam hukum Islam atau fikih. Sil’ah secara bahasa sama dengan mabi’, yaitu barang atau komoditas yang bisa diakadi dengan akad jual beli. Karena itu, barang atau komoditas dimaksud bisa diniagakan," tuturnya di Kantor PWNU Jatim, ditulis Jumat, 21 Januari 2022.

Kiai Anas menjelaskan, dalam kitab Mu’jam Lughati al-Fuqaha, Juz 2, Halaman 401: al-mabi’: as-sil’atu allatii jaraa ‘alaihaa ‘aqdu al-bai’i, mabi’ adalah komoditas yang bisa menerima berlakunya akad jual beli. "Ada tujuh syarat barang atau komoditas boleh diperjualbelikan," katanya.

Syarat pertama, lanjut Kiai Anas, barang tersebut harus suci. kedua, bisa dimanfaatkan oleh pembeli secara syara’ dengan pemanfaatan yang sebanding dengan status hartawinya secara adat. Ketiga, barang tersebut bisa diserahterimakan secara hissy dan syar’i;

Keempat, pihak yang berakad menguasai pelaksanaan akadnya; kelima, mengetahui baik secara fisik dengan jalan melihat atau secara karakteristik dari barang; keenam, selamat dari akad riba; dan ketujuh, aman dari kerusakan sampai barang tersebut sampai di tangan pembelinya.

Artinya, Sil’ah wajib terdiri dari barang yang bisa dijamin penunaiannya. “Di cryptocurrency itu tidak ada,” tegas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya