Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan stabilitas keuangan di Indonesia tetap terjaga di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi global. Terutama dipengaruhi oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Dia menilai, ekonomi dan pasar keuangan global tengah mengalami ketidakpastian dari kebijakan AS yang menerapkan tarif tinggi. Namun, sistem keuangan di Tanah Air dinilai masih dalam kondisi terjaga.
Advertisement
Baca Juga
"Stabilitas sistem keuangan pada triwulan I 2025 tetap terjaga di tengah meningkatnya ketidakpastian perekonomian dan pasar keuangan global," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) secara virtual, Kamis (24/4/2025).
Advertisement
Dia menjelaskan, ketidakpastian ekonomi global itu dipengaruhi paling besar dari kebijakan tarif yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Alhasil, skala perang dagang meningkat antara AS dan China.
"Ketidakpastian tersebut terutama dipicu oleh dinamika yang terkait kebijakan tarif dari pemerintah Amerika Serikat dan memunculkan eskalasi perang dagang," ungkapnya.
Melihat kondisi tersebut, Bendahara Negara itu menimbang perlu adanya kewaspadaan memasuki triwulan II-2025. Lantaran, risiko penurunan masih terus membayani ekonomi global.
"Memasuki triwulan II 2025 downside risk dari global terpantau masih tinggi. Sehingga perlu terus dicermati dan diantisipasi kedepan," terangnya.
Proyeksi Ekonomi Global
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia untuk 2025 menjadi 2,9%, turun dari estimasi sebelumnya yang mencapai 3,2%. Proyeksi untuk 2026 juga mengalami penurunan, dari 3,1% menjadi 2,9%.
Â
Revisi Pertumbuhan
Revisi ini dilakukan karena ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, yang mengarah pada kebijakan tarif yang semakin meningkat dan berdampak pada ekonomi global.
"Kami perkirakan akan menurun. Perkiraan kami sejauh ini perekonomian dunia akan menurun. Yang perkiraan sebelumnya adalah 3,2% menjadi 2,9% untuk tahun 2025. Sementara itu untuk tahun 2026 akan menurun dari 3,1% menjadi juga 2,9%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers RDG BI, Rabu (23/4/2025).
Perry menyampaikan dampak perang tarif ini sangat terasa pada perekonomian Amerika Serikat. Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan akan melambat dari 2,2% menjadi 1,7%. Lebih jauh, beberapa analis memprediksi kemungkinan resesi di Amerika Serikat mencapai 60%.
"Dampak terbesar seperti tadi kami sampaikan adalah terhadap ekonomi Amerika. Bahkan ada beberapa perhitungan ekonomi Amerika akan melambat dari 2,2% menjadi 1,7%. Bahkan beberapa pelaku pasar memprediksi probabilitas resesi di Amerika Serikat sekitar 60%. Di satu sisi ekonomi Tiongkok kemungkinan juga akan menurun," ujarnya.
Selain itu, inflasi yang meningkat di Amerika Serikat semakin memperburuk kondisi ekonomi global. Hal ini berpotensi mempengaruhi kebijakan suku bunga, dengan proyeksi Federal Reserve yang sebelumnya akan menurunkan Fed Funds Rate dari 4,5% menjadi 4,25% pada 2024, kini diperkirakan akan diturunkan lebih lanjut menjadi 4%.
"Makanya prediksinya terhadap Fed fund rate yang semula itu diperkirakan akan menurun dari 4,5% pada tahun 2024 menjadi 4,25% ini akan menurun menjadi 4%," ujar dia.
Advertisement
Pasar Keuangan Tak Stabil
Perry menuturkan, ketidakpastian yang tinggi di pasar keuangan global dipicu oleh ketegangan ini. Yield treasury Amerika Serikat mengalami penurunan, diiringi dengan penurunan nilai dolar (DXY). Hal ini mempengaruhi aliran modal global, yang kini lebih berhati-hati dan cenderung mencari aset yang lebih aman.
"Tadi kami sampaikan juga dampak di pasar keuangan itu ada penurunan dari yield treasury maupun dari sisi pelemahan DXY. Nah bagaimana dampaknya? Tentu saja dampak dari fragmentasi ekonomi global kebijakan tarif ini tidak hanya berdampak pada berbagai negara termasuk Indonesia baik dari jalur perdagangan trade channel maupun dari jalur keuangan," ujarnya.
Menurut Perry, fenomena ini berimbas pada preferensi risiko investor global yang semakin menurun. Investasi keluar dari pasar negara berkembang (emerging markets) dan beralih ke ekonomi yang dianggap aman, seperti Eropa, Jepang, dan aset safe haven lainnya, seperti emas.
"Yang menjadi safe haven aset tidak hanya fixed income global bond di ekonomi Eropa dan Jepang tapi juga emas. Inilah yang terjadi," katanya.
Â
Â
Â
