Bank Sentral Zimbabwe Ajak Warga Berlangganan Mata Uang Digital Berbasis Emas

Bank Sentral Zimbabwe (Reserve Bank of Zimbabwe/RBZ) mengajak individu dan lembaga keuangan di negara itu untuk berlangganan token digital yang didukung emas.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 06 Mei 2023, 06:00 WIB
Diterbitkan 06 Mei 2023, 06:00 WIB
Ilustrasi Harga Emas Hari Ini di Dunia. Foto: DAVID GRAY | AFP
Bank Sentral Zimbabwe mengumumkan pada April lalu bahwa token yang dimaksudkan untuk melawan mata uang lokalnya yang mudah berubah, akan diterbitkan pada pada 8 Mei 2023. Ilustrasi Harga Emas Hari Ini di Dunia. Foto: DAVID GRAY | AFP

Liputan6.com, Jakarta - Bank Sentral Zimbabwe (Reserve Bank of Zimbabwe/RBZ) mengajak individu dan lembaga keuangan di negara itu untuk berlangganan token digital yang didukung emas. Pembelian token harus minimal USD 10 untuk individu dan USD 5.000 untuk lembaga keuangan dan perusahaan.

Bank Sentral Zimbabwe mengumumkan pada April lalu bahwa token yang dimaksudkan untuk melawan mata uang lokalnya yang mudah berubah, akan diterbitkan pada pada 8 Mei 2023. Langkah ini bertujuan menopang mata uang nasional, dolar Zimbabwe, yang terdepresiasi dengan cepat di tengah kesengsaraan ekonomi selama bertahun-tahun di negara Afrika selatan itu.

Sebagai gambaran, pada Maret lalu inflasi di Zimbabwe mencapai 87,6 persen, setelah mencapai level tertinggi 285 persen pada tahun 2022.

Bank sentral telah membagi penerbitan dan penggunaan token menjadi dua tahap. Pada fase pertama, token akan dikeluarkan untuk tujuan investasi dan tersedia untuk dijual melalui bank. Token akan disimpan dalam dompet atau kartu digital dan tersedia untuk transaksi antar individu serta untuk individu ke entitas bisnis atau sebaliknya pada tahap kedua.

"Pemegang koin emas fisik, sesuai kebijaksanaan mereka, akan dapat menukar atau mengubah, melalui sistem perbankan, koin emas fisik menjadi token digital yang didukung emas," kata bank tersebut, mengutip CoinDesk, Sabtu (6/5/2023).

Kepercayaan pada mata uang Zimbabwe sangat rendah setelah tabungan orang-orang pada tahun 2008 terhapus oleh hiperinflasi, yang mencapai 5 miliar persen, menurut Dana Moneter Internasional, hampir merupakan rekor dunia.

Hiperinflasi mengakibatkan negara tersebut pada satu titik mengeluarkan uang kertas 100 triliun dolar Zimbabwe sebelum pemerintah terpaksa menghentikan sementara mata uangnya dan membiarkan dolar AS digunakan sebagai alat pembayaran yang sah.

Pasar Gelap 

Pada 2019, pemerintah memperkenalkan kembali mata uang Zimbabwe dan melarang mata uang asing untuk transaksi lokal. Tetapi hanya sedikit yang memperhatikan dan pasar gelap berkembang pesat, sementara mata uang lokal dengan cepat terdevaluasi. Pemerintah mengalah dan membatalkan larangan dolar AS.

Dengan mengingat bencana inflasi itu, banyak orang saat ini lebih suka mencari dolar AS yang langka di pasar ilegal untuk disimpan di rumah sebagai tabungan atau untuk transaksi harian, di mana mata uang AS masih digunakan. Keyakinan terhadap dolar Zimbabwe sangat rendah sehingga banyak pengecer dan bahkan beberapa lembaga pemerintah tidak menerimanya.

Zimbabwe telah mencoba untuk mencegah depresiasi mata uangnya dengan ide-ide yang tidak biasa sebelumnya. Pada Juli 2022, diluncurkan koin emas sebagai alat pembayaran yang sah untuk menstabilkan mata uang lokal.

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

Negara Rugi Rp 28,5 Triliun, Zimbabwe Larang Ekspor Lithium Mentah

Di Musim Hujan, Para Perempuan Zimbabwe Mencari Jamur Liar
Musim hujan di Zimbabwe membawa banyak sekali jamur liar, yang dinikmati oleh banyak keluarga di pedesaan dan dijual untuk meningkatkan pendapatan mereka. (AP Photo/Tsvangirayi Mukwazhi)

Pemerintah Zimbabwe melarang ekspor lithium mentah karena dinilai merugikan. Kerugian Zimbabwe ditaksir mencapai 1,7 miliar euro (Rp 28,5 triliun) karena tidak mengolah lithium di dalam negeri. 

Lithium merupakan bahan penting untuk membuat baterai, termasuk baterai kendaraan listrik (electric vehicles/EV) dan laptop. Harga "emas putih" ini pun terus meroket.

Dilaporkan African News, Minggu (1/1/2022), pemerintah Zimbabwe berkata rugi karena mengekspor lithium sebagai mineral mentah, dan bukan sebagai baterai yang diproses di dalam negeri. Pemerintah ingin membuat industri baterai ketimbang membiarkan perusahaan-perusahaan asing mendominasi produksi baterai.

Harga lithium disebut naik 1.100 persen dalam dua tahun terakhir. Tetapi, perusahaan-perusahaan internasional mengambil lithium dari Zimbabwe secara mentah tanpa mengembangkan industri untuk memprosesnya. 

Kebijakan ini juga akan melarang penambang liar yang menggali lithium dan menyelundupkannya ke luar negeri.

Zimbabwe merupakan penghasil lithium terbesar di Afrika. Pemerintah Zimbabwe menyebut persedian di negaranya cukup untuk memenuhi seperlima kebutuhan dunia.

Namun, Zimbabwe bukan satu-satunya sumber lithium di dunia. Berdasarkan situs Volkswagen AG, Chile, Australia, Argentina, dan China memiliki persediaan dan produksi lithium yang lebih besar dari Zimbabwe.

Chile memiliki 8 juta ton simpanan lithium di negaranya. Australia punya 2,7 juta ton, Argentina memiliki 2 juta ton, dan China mencatat 1 juta ton.

Kebijakan di Zimbabwe mirip dengan di Indonesia yang melarang ekspor nikel mentah, memilih hilirisasi, dan meminta perusahaan-perusahaan asing membangun smelter di dalam negeri. Namun, kebijakan pelarangan ekspor nikel Indonesia dinyatakan tak sesuai hukum internasional oleh WTO setelah digugat Uni Eropa.

INFOGRAFIS: 10 Mata Uang Kripto dengan Valuasi Terbesar (Liputan6.com / Abdillah)
INFOGRAFIS: 10 Mata Uang Kripto dengan Valuasi Terbesar (Liputan6.com / Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya