Liputan6.com, Jakarta - Bank Sentral Bahrain tengah mengembangkan regulasi untuk stablecoin, yang bertujuan untuk menurunkan biaya transaksi dan memperluas akses finansial bagi masyarakat. Langkah ini diharapkan dapat membuat ekosistem aset digital lebih aman dan menarik bagi investor serta pelaku industri keuangan.
Menteri Keuangan dan Ekonomi Nasional Bahrain, Shaikh Salman bin Khalifa Al Khalifa, mengungkapkan aturan mengenai penerbitan stablecoin sedang disusun. Pernyataan ini disampaikan sebagai tanggapan terhadap pertanyaan dari anggota legislatif Hisham Al-Asheeri mengenai regulasi aset digital di negara tersebut.
Baca Juga
Patrick Kluivert Tanggapi Isu Timnas Indonesia Pernah Dicurangi Wasit Saat Melawan Bahrain
Kualifikasi Piala Dunia 2026: Timnas Indonesia Tak Perlu Khawatir dengan Rekor Bahrain di Piala Teluk 2024
Bahrain Tembus Semifinal Piala Teluk, Pelatih Semringah Sambut Laga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Lawan Timnas Indonesia
Al Khalifa menegaskan Bank Sentral Bahrain berkomitmen untuk menciptakan lingkungan investasi yang aman dengan menetapkan standar pengawasan yang ketat.
Advertisement
Regulasi ini diharapkan dapat meminimalisir risiko perdagangan melalui platform luar negeri yang tidak diawasi, serta mengurangi potensi penyalahgunaan seperti pencucian uang dan penipuan.
“Bank Sentral sangat berkomitmen untuk menerapkan undang-undang dan regulasi yang mengatur layanan terkait aset kripto, guna menciptakan lingkungan investasi yang aman dan sesuai dengan standar pengawasan tertinggi,” jelas Al Khalifa, dikutip dari Bitcoin.com, sabtu (15/2/2025).
Bahrain, Negara Ramah Kripto yang Terus Berinovasi
Bahrain dikenal sebagai salah satu negara di Timur Tengah yang pro terhadap industri kripto. Beberapa tahun terakhir, bursa mata uang kripto seperti Coinmena dan Binance telah mendapatkan lisensi resmi dari otoritas keuangan Bahrain. Bahkan, operator telekomunikasi Stc Bahrain kini menerima pembayaran dalam bentuk mata uang kripto.
Meski demikian, beberapa pihak masih skeptis. Para kritikus berpendapat tanpa regulasi yang jelas dan efektif, adopsi stablecoin dan kripto secara luas masih menghadapi hambatan. Banyak perusahaan masih ragu untuk menerima aset digital karena ketidakpastian hukum dan risiko terkait regulasi.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Pengawasan Ketat untuk Mencegah Pelanggaran
Untuk mengatasi kekhawatiran ini, Al Khalifa menegaskan bahwa regulasi stablecoin yang sedang dirancang akan memberikan kewenangan lebih besar bagi Bank Sentral Bahrain dalam memantau transaksi dan aktivitas entitas kripto berlisensi. Pemantauan ini akan dilakukan menggunakan teknologi blockchain dan alat pelacakan transaksi.
Jika terdapat pelanggaran terhadap regulasi yang berlaku, Bank Sentral Bahrain akan memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif, menghentikan layanan, atau bahkan menerapkan hukuman pidana bagi pelaku yang melanggar aturan.
Dengan regulasi yang semakin ketat, Bahrain berharap dapat memperkuat kepercayaan terhadap aset digital dan meningkatkan daya saingnya sebagai pusat inovasi keuangan digital di kawasan Timur Tengah.
Advertisement
Regulasi Stablecoin di AS
Sebelumnya, Pemerintah AS semakin serius dalam mengatur stablecoin. Ketua Komite Layanan Keuangan DPR AS, French Hill, bersama Ketua Subkomite Aset Digital, Bryan Steil, telah memperkenalkan rancangan awal Undang-Undang Transparansi dan Akuntabilitas Stablecoin untuk Ekonomi Buku Besar yang Lebih Baik (STABLE) tahun 2025.
Dilansir dari CryptoPotato, Senin (10/2/2025), Undang-undang ini bertujuan untuk menciptakan regulasi yang jelas bagi stablecoin serta menangani berbagai risiko yang dapat memengaruhi stabilitas keuangan.
Salah satu ketentuan utama dalam RUU ini adalah pemberlakuan moratorium selama dua tahun terhadap penerbitan stablecoin yang dijaminkan secara endogen.
Stablecoin jenis ini didukung sepenuhnya oleh aset digital lain yang diterbitkan atau dikelola oleh entitas yang sama, yang menurut para anggota parlemen berisiko menyebabkan masalah likuiditas, volatilitas tinggi, dan potensi manipulasi pasar.
Untuk memahami dampak lebih lanjut dari stablecoin jenis ini, RUU ini menginstruksikan Departemen Keuangan AS bekerja sama dengan Federal Reserve, Securities and Exchange Commission (SEC), dan Office of the Comptroller of the Currency (OCC) untuk melakukan studi menyeluruh.
Studi ini akan mencakup aspek teknologi, struktur tata kelola, serta dampaknya terhadap pasar dan perlindungan konsumen.
Syarat Ketat bagi Penerbit Stablecoin
Regulasi yang diusulkan juga menetapkan aturan ketat bagi penerbit stablecoin. Hanya institusi tertentu yang dapat menerbitkan stablecoin, yakni lembaga penyimpanan yang diasuransikan atau entitas nonbank yang memenuhi standar modal, likuiditas, dan transparansi yang ketat.
Selain itu, penerbit stablecoin juga harus mematuhi persyaratan seperti melaporkan laporan keuangan bulanan untuk transparansi operasional Kemudian perlu audit independen secara berkala untuk memastikan terpenuhinya. Adapun penerbit stablecoin harus memiliki protokol manajemen risiko guna mengurangi potensi kegagalan sistem.
Ketua Subkomite Aset Digital, Bryan Steil, menegaskan regulasi ini bertujuan untuk mendorong inovasi keuangan, memperkuat posisi dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia, serta melindungi konsumen dan investor. Ia juga mengundang masukan dari berbagai pihak sebelum RUU ini difinalisasi.
Jika undang-undang ini disahkan, lembaga federal akan diberikan waktu 180 hari untuk merancang aturan implementasi, kemudian diikuti oleh masa transisi selama 18 bulan sebelum regulasi mulai berlaku sepenuhnya.
Advertisement
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)