Ananda Sukarlan dan Angkie Yudistia Berbagi Pengalaman Hadapi Depresi

Depresi bisa menyerang siapa pun, termasuk para penyandang disabilitas.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 12 Des 2019, 11:00 WIB
Diterbitkan 12 Des 2019, 11:00 WIB
Seminar Ask Me Anything Embassy of Australia
Thella, Angkie, Vanessa, Cox, Bahrul, Ananda Selasa (10/12/2019)

Liputan6.com, Jakarta Depresi bisa dialami siapa saja, tak terkecuali penyandang disabilitas. Dalam acara 'Ask Me Anything' yang digagas oleh Kedutaan Australia, Selasa (10/12) petang, beberapa tokoh difabel seperti pianis Ananda Sukarlan, Angkie Yudistia, dan Bahrul Fuad berbagi kisah mereka hadapi depresi.

Bahrul dari Disability and Social Inclusion Program Consultan berkisah, dulu saat kecil ia sempat mengalami depresi karena melihat adiknya dapat bermain dengan bebas sementara dirinya bergantung pada kursi roda. “Saat itu saya merasa I’m nothing,” kata Bahrul.

Ia kemudian melakukan terapi kognitif dengan cara menuliskan apa saja hal negatif dan positif yang dimilikinya. Satu bulan berlalu, ia pun menghitung tulisannya, ternyata lebih banyak yang sisi positif yang dimiliki dibanding yang negatif. Fakta itu membesarkan hatinya.

“Saya bertekad untuk fokus pada yang positif. Dan tentunya membutuhkan waktu untuk menggali aspek positif dari dalam diri,” kata Bahrul di Kedutaan Australia, Jakarta.

Depresi tak jarang melanda para disabilitas sampai-sampai mereka berpikir untuk mengakhiri hidup. Menurut Ananda Sukarlan, depresi biasanya membuat orang menjadi tidak objektif. Di usia 20 tahun, Ananda sempat berniat melakukan bunuh diri.

“Saya waktu itu sudah datang ke rel kereta api. Tapi enggak jadi karena takutnya saya tidak mati malah menjadi cacat fisik,” kata Ananda di acara yang sama.

Ananda menambahkan, depresi berhubungan dengan hormon serotonin. Kadang tidak ada hubungannya dengan masalah duniawi seperti percintaan, ekonomi, dan lain-lain.

Saksikan juga video berikut ini:

Kisah Depresi Angkie

Angkie juga berkisah, ia sempat marah sampai membawa-bawa pisau dan berteriak pada ibunya. Esoknya, ibu Angkie membawa dia ke pesantren kilat selama dua minggu.

“Spiritual itu sangat utama, kita mesti takut sama Tuhan. Kalau mati pertanggungjawabannya bagaimana. Coba set up mimpi, tentukan tujuan, kalau tujuan belum tercapai jangan buru-buru mati,” kata Angkie.

Angkie menambahkan, tidak hanya disabilitas, semua orang juga bisa stress. Kita harus tetap berjuang untuk hidup.

Sedang Vanessa sedikit memberi pendapat, melalui juru penerjemah bahasa isyaratnya Vanessa berkata, “Kematian itu tak bisa lebih baik dari apa pun yang ada,” kata Vanessa.  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya