Tes Darah pada Bayi Baru Lahir Bisa Deteksi Cerebral Palsy

Para peneliti menemukan bahwa tes darah dini dapat mendeteksi bayi baru lahir yang kekurangan oksigen, yang berisiko pada kondisi cerebral palsy dan epilepsi.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 07 Agu 2020, 10:00 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2020, 10:00 WIB
Bayi Meninggal
Ilustrasi Foto Kematian Bayi (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Para peneliti menemukan bahwa tes darah dini dapat mendeteksi bayi baru lahir yang kekurangan oksigen, yang berisiko pada kondisi cerebral palsy dan epilepsi.

Tes ini bertujuan mencari gen tertentu yang "hidup-mati" terkait dengan masalah neurologis jangka panjang. Misalnya pada kasus bayi asfiksia (kekurangan oksigen). Bayi baru lahir bisa mengalami kekurangan oksigen saat lahir karena beberapa alasan, termasuk jika ibunya memiliki kadar oksigen yang terlalu sedikit dalam darahnya, atau memiliki infeksi, atau akibat komplikasi tali pusar saat proses melahirkan.

Saat bayi kekurangan oksigen saat lahir, cedera otak dapat berkembang selama berjam-jam hingga berbulan-bulan dan memengaruhi berbagai daerah di otak, yang mengakibatkan berbagai potensi gangguan saraf seperti cerebral palsy, epilepsi, tuli, atau kebutaan. Studi lebih lanjut diharapkan dapat menargetkan dalam pengobatan kerusakan otak sebelum menjadi permanen.

Penelitian ini dipimpin oleh para peneliti dari Imperial College London yang berkolaborasi dengan kelompok peneliti India, Italia, dan Amerika Serikat dan telah diterbitkan dalam jurnal Scientific Reports.

 

Simak Video Berikut Ini:

Penelitian di India

karakter zodiak
ilustrasi anak bayi/Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Adapun penelitian yang dilakukan di rumah sakit India, yang memiliki jumlah kasus bayi asfiksia (kekurangan oksigen) sekitar 0,5-1 juta kasus per tahun. Peneliti mengidentifikasi perubahan pada rakitan gen dalam darah yang dapat mengidentifikasi perkembangan kecacatan saraf pada studi pendahuluan terhadap 45 bayi asfiksia.

Bayi-bayi tersebut diambil darahnya dalam waktu enam jam setelah kelahiran dan ditindaklanjuti setelah 18 bulan untuk melihat mana yang mengalami cacat saraf. Dan jenis darah dikelompokkan antara bayi yang mengalami cacat dan yang tidak.

Peneliti menemukan 855 gen diekspresikan secara berbeda antara kedua kelompok.

Kemudian peneliti memeriksa kedua gen dan prosesnya bagaimana bisa mengalami perubahan untaian gen berdasarkan penyebab kecacatan saraf akibat kekurangan oksigen.

Dr. Paolo Montaldo, penulis utama dari Centre for Perinatal Neuroscience di Imperial mengatakan: “Kami tahu bahwa intervensi dini adalah kunci untuk mencegah hal buruk pada bayi setelah mengalami kekurangan oksigen. Tetapi dalam mengetahui bayi mana yang membutuhkan bantuan ini dan cara terbaik untuk membantu mereka, tetap menjadi tantangan."

Penulis senior Profesor Sudhin Thayyil, dari Centre for Perinatal Neuroscience di Imperial mengatakan: "Dari hasil tes darah ini memungkin kami untuk menambah wawasan lebih banyk tentang mekanisme penyakit yang bertanggung jawab atas cedera otak dan an memungkinkan kita untuk mengembangkan intervensi terapi baru atau meningkatkan yang sudah tersedia."

Adapun bayi-bayi tersebut masih merupakan kelompok HELIX (Hipotermia untuk Ensefalopati di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah) yang juga diteliti untuk menemukan dampak hipotermia (kedingingan ekstrem) pada bayi untuk mencegah cedera otak yang berkembang setelah kekurangan oksigen.

Di negara-negara berpenghasilan lebih tinggi, para bayi melalui proses pendinginan untuk mengurangi risiko neuro-disabilitas. Tetapi pada negara-negara berpenghasilan rendah cara ini tidak berfungsi, bahkan dengan pengdinginan 30 persen, bayi dengan kondisi tertentu harus menjalani terapi.

Tim peneliti ini berencana memperluas studi tes darah mereka ke sejumlah besar bayi dan memeriksa gen dalam perbedaan dua kelompok.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya