Liputan6.com, Jakarta Koordinator Advokasi dan Jaringan Lembaga Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Sipora Purwanti menilai proses peradilan hukum bagi disabilitas belum inklusif salah satunya dalam kasus kekerasan seksual.
Menurutnya, dalam membangun proses peradilan inklusi dibutuhkan bantuan dari lembaga-lembaga pendukung. Lembaga-lembaga dukungan berkaitan langsung dengan proses pemulihan disabilitas yang menjadi korban.
Baca Juga
“Misalnya, ketika disabilitas intelektual mengalami kekerasan seksual hingga terjadi kehamilan, lalu anak ini siapa yang akan merawat?” ujar Purwanti dalam bincang-bincang bersama Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia, ditulis Selasa (9/2/2021).
Advertisement
Dalam kasus serupa, sejauh ini mekanisme hukum menyebut bahwa anak dapat dirawat sendiri kemudian diserahkan ke orang lain, lanjutnya. Namun kenyataanya, ketika anak mau diserahkan ke orang lain sang ibu kerap tidak dapat merelakan karena ada ikatan batin.
“Walaupun ibunya disabilitas intelektual tapi hubungan antara ibu dan anak ini terbangun sejak dalam kandungan. Dia tetap merasa sayang terhadap anaknya.”
Maka dari itu, diperlukan mekanisme yang dapat membuat ibu tersebut mampu menjadi seorang ibu di tengah keterbatasannya. Sang ibu tidak akan mampu mengurus berbagai persyaratan penting terkait anaknya.
Karenanya, diperlukan pihak yang dapat membantu misal dalam mengurus hak identitas anak, akte, kartu keluarga, dan sebagainya.
“Kemudian siapa yang akan menguruskan jaminan kesehatan untuk ibu dan anaknya serta memantau kesehariannya.”
Simak Video Berikut Ini
Bekerja Sama dengan Pihak Desa
Dalam mengatasi hal ini, pihak SIGAB biasanya melakukan kerja sama dengan desa. Baik bidan desa, petugas puskesmas, RT/RW, yang dapat memantau perkembangan keduanya.
“Dia (ibu dengan disabilitas intelektual) tidak bisa dipisahkan dengan anaknya sehingga sistem dukungan di lingkungan perlu dibangun agar dia mampu.”
Lebih jauh, jika ibu itu masih sekolah maka perlu dipikirkan masalah pendidikannya, jika tidak sekolah maka perlu diusahakan bagaimana agar hal-hal ini tidak terjadi lagi, kata Purwanti.
“Preventifnya harus berjalan, kemudian pemulihan ekonomi, kalau dia masih bisa dikembangkan untuk bekerja atau berwirausaha ya kita dorong, tapi kalau tidak, dorongan apa yang harus kita lakukan untuk keluarganya,” tutup Purwanti.
Advertisement