Liputan6.com, Jakarta Tindakan Menteri Sosial Tri Rismaharini dalam memaksakan anak Tuli berbicara pada acara peringatan Hari Disabilitas Internasional 2021 dianggap menyinggung sejumlah kalangan.
Ibu dari anak Tuli, Iis Arum Wardhani mengatakan, orang Tuli memiliki beragam cara berkomunikasi. Ada yang memang diajarkan atau bisa berbahasa isyarat ada yang tidak, ada yang bisa mendengar dengan Alat Bantu Dengar (ABD) ada pula yang tidak. Ada yang Tuli dari lahir ada pula yang Tuli karena suatu hal.
"Dalam berkomunikasi, ada etika Tuli yang mestinya ditawarkan Bu Risma, apakah dia ingin bicara langsung, menulis atau menggunakan bahasa isyarat. Bukan dengan memaksakan anak Tuli bicara," katanya, dalam konferensi pers, Jumat (3/12/2021).
Advertisement
Baca Juga
Aktivis Tuli Surya Sahetapy yang turut hadir dalam acara tersebut menjelaskan, bentuk pemikiran seseorang yang menganggap orang yang dapat mendengar lebih superior dibanding orang Tuli disebut juga Audism. (Tom Humphries, 1975)
Contoh-contoh sikap Audism, seperti dimuat dalam instagram @suryasahetapy:
- Tuli tidak mampu mencapai level orang dengar dalam berintelektual, berbahasa, berkarir, berkemampuan finansial, berkomunikasi dll
- Tuli tidak bisa jadi guru, pilot, pengacara, dokter dll.
- Tuli tidak bisa bawa mobil
- Tuli tidak bisa kuliah
- Tidak bisa berbicara, maka tidak punya masa depan
- Bahasa Isyarat membuat orang malas berbicara
- Tidak bisa berbaur dengan orang dengar
- Tidak pakai alat bantu dengar, maka tidak sukses
- Semua orang Tuli harus dipaksa latihan berbicara supaya pintar dan sukses
- Banyak pemikiran lainnya yang menghambat kemajuan Tuli-HoH sendiri
Tipe orang memiliki sikap diskriminatif seperti ini biasa disebut audist.
Simak Video Berikut Ini:
Penyebab Audism
Menurut Surya, Audism ini terjadi karena sistem pendidikan dan sosial memisahkan Tuli-HoH (Hard of Hearing) dan non disabilitas dalam kehidupan
"Audismn ini terjadi karena sistem pendidikan dan sosial yang ekslusif. Banyak yang tahu tentang disabilitas ketika dewasa. Padahal akan lebih baik jika mereka belajar atau bertemu disabilitas sejak masih anak-anak," kata Surya.
Surya juga mengungkapkan, ada baiknya guru-guru disabilitas mengajari anak -anak di sekolah umum. Sehingga ketika akhirnya beranjak dewasa mereka lebih bisa berkomunikasi baik dengan disabilitas.
"Mungkin bisa juga pertukaran pelajar dengan sekolah umum. Jadi tidak ada lagi diskriminasi kalau sudah terbiasa/ terekspos, akhirnya terasa sama sama manusia. Inilah yang mempengaruhi cara pikr masyarakat, ketika bertemu disabilitas pas dewasa jadi aneh," ujarnya.
Surya mengatakan, tidak semua anak bisa berbicara. Faktor bicara itu berdasarkan tingkat pendengaran mereka, investasi alat bantu dengar yang nilai puluhan-ratusan juta, terapi wicara yang berkesinambungan yang biayanya tidak murah serta waktu orangtua untuk anaknya sendiri juga terutama sedang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi pendidikan luar biasa saat ini belum humanis.
"Seharusnya digantikan pertanyaan: Nak, mau sampaikan pakai apa? Boleh tulis boleh bahasa isyarat boleh berbicara dll. Biar ibu yang belajar memahamimu. (Tanyakan komunikasi mereka bukan kita menentukan komunikasi mereka demi kepuasan kita tanpa memahami kenyamanan mereka)," ujarnya.
Advertisement
Tanggapan Komisi Nasional Disabilitas
Rachmita Maun Harahap yang kini menjabat sebagai anggota Komisi Nasional Disabilitas mengatakan, upaya lingkungan inklusif bisa menghapus diskriminasi bagi penyandang disabilitas.
"Masyarakat berpikir, Tuli itu hanya fokus pada audiologi, padahal konsep di luar negri, ada Tuli tidak bicara, Tuli yang berkomunikasi lewat tulisan, Tuli yang pendengaran menurun seiring usia, Tuli tidak berbahasa isyarat. Masyarakat tidak paham jenis tuli itu sendiri. Jadi tidak bisa dipaksakan berkomunikasi dengan salah satu cara," jelasnya.
Rachmita mengatakan, sebagai penyandang Tuli ia bisa berbicara namun orangtua harus diberi pemahaman beda untuk berkomunikasi dengan orang tuli.
"Saya juga tidak pernah dipaksa untuk satu cara saja. Ini harus hati-hati. Kedepannya, bu Risma dan masyarakat bisa mempelajari dan mendekati masyarat tuli supaya paham dan belajar bahasa isyarat," pungkasnya
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Advertisement