Liputan6.com, Jakarta - Orangtua dari anak-anak yang mulai belajar puasa Ramadhan perlu memutar otak dan berpikir kreatif agar buah hati bisa mulai membiasakan diri dengan ibadah tersebut.
Pasalnya, anak-anak perlu mengenal kewajiban mereka sebagai umat Islam sejak dini. Baik anak-anak secara umum maupun anak-anak dengan disabilitas atau kebutuhan khusus.
Salah satu anggota Indonesia Rare Disorder (IRD) Wahyuni, membagikan cerita saat dirinya mengajarkan puasa pada buah hati yang menyandang suspect duchenne muscular dystrophy (DMD), Xavier.
Advertisement
DMD adalah kondisi melemahnya fungsi otot rangka dan otot jantung dalam tubuh yang dapat memburuk dengan cepat seiring waktu. Namun, karena diagnosis Xavier belum tegak, maka disematkan kata “suspect” atau baru dugaan berdasar kondisi klinisnya.
Wahyuni berkisah, dirinya mulai mengenalkan puasa pada putranya sejak menginjak umur 5 tahun. Berbagai cara pun dilakukan agar sang anak bisa berpuasa setidaknya setengah hari.
Salah satu cara yang ia lakukan adalah membawa serta sang anak untuk ikut mengantar paket.
“Waktu Xavier umur 5 tahun diajak puasa pertama kali. Biar lupa minta susu, dari pagi sampai siang ikut ngojek ngaterin paket. Zuhur diajak pulang terus buka. Habis itu, jam 14.00 diajak tidur sampai sore, Alhamdulilah satu bulan full (puasa setengah hari),” kata Wahyuni kepada Disabilitas Liputan6.com melalui pesan teks, Selasa, 12 Maret 2024.
Kini, di umur 10 tahun tepatnya pada puasa pertama di Ramadhan tahun ini, Xavier sudah bisa puasa hingga magrib. Wahyuni berencana dan berharap agar tahun ini puasa putranya bisa penuh selama satu bulan.
Belajar Puasa Kerap Dibumbui Drama
Selain Wahyuni, anggota IRD lainnya turut berbagi cerita. Kali ini cerita datang dari Herlina, ibu dari anak dengan Apert Syndrome, Wildan.
Melansir Cleveland Clinic, Apert Syndrome adalah kondisi genetik langka yang terjadi ketika sendi di tengkorak bayi menutup terlalu cepat selama perkembangan janin.
Hasilnya, tengkorak, wajah, tangan, dan kaki bayi menunjukkan karakteristik berbeda yang mendiagnosis kondisi tersebut, termasuk jari tangan dan kaki berselaput serta memiliki dahi yang lebar dan tinggi.
Herlina berharap, Ramadhan tahun ini putranya yang menginjak umur 8 tahun bisa puasa hingga magrib.
“Insyaallah ingin saya acarain full sampai maghrib. Tahun kemarin kadang magrib, kadang zuhur bisa drama dia.
Advertisement
Mengalihkan Drama Wildan
Seperti ibu lain, Herlina juga kerap menghadapi drama-drama dari sang anak ketika belajar puasa. Untuk itu, ia berupaya mengalihkan drama yang ada dengan berbagai cara.
“Mengalihkan drama Wildan minta minum haus saya ajak nonton TV Upin Ipin. Dengan nasihat kalau udah mau 11 tahun puasa harus magrib tidak boleh zuhur. Kalau puasa zuhur itu waktu Wildan TK.”
“Alhamdulillah dia nurut sambil nonton Upin Ipin, saya ajarin baca karena Wildan sudah kenal huruf tapi belum bisa baca InsyaAllah saya yakin Wildan bisa. Selesai baca, menulis angka, Alhamdulillah nurut.”
Jika bosan di rumah, Wildan senang main di sekitar rumah misalnya ke kandang ayam.
“Pulang zuhur baju pada kotor, saya mandiin, sholat terus tidur. Kalau sore Wildan pasti minta jalan -jalan ke taman main perosotan dan lain-lain,” ucapnya.
Menikmati Semua Prosesnya
Anggota IRD lainnya turut menyampaikan pandangannya. Ia adalah Vera, ibu dari anak dengan Angelman Syndrome, Kaisar.
Melansir Mayo Clinic, Angelman Syndrome adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh perubahan gen, yang disebut perubahan genetik. Sindrom Angelman menyebabkan keterlambatan perkembangan, masalah bicara dan keseimbangan, disabilitas mental, dan terkadang kejang.
Di bulan Ramadhan ini, Vera lebih memilih untuk menikmati semua prosesnya.
“Terus terang kalau saya cuma satu, mencoba menikmati aja semuanya. Enjoy aja meski kadang begadang sampe pagi, Kaisar juga ikut sahur, tapi belum bisa puasa,” katanya.
Advertisement