Liputan6.com, Jakarta - Tidak semua penyandang disabilitas harus mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa (SLB). Hal ini diyakini oleh Priyaka Irfan Astama, atau yang akrab disapa Ipang.
Ia adalah penyandang tuli yang sempat memulai pendidikan di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Santi Rama Cipete, Jakarta Selatan. Namun, dorongan besar dalam dirinya untuk belajar lebih luas dan bergaul dengan teman-teman non-disabilitas membuatnya memutuskan untuk pindah ke sekolah umum.
Baca Juga
Ini bukan langkah yang mudah baginya, pria kelahiran 24 Januari 1995 ini harus mengejar banyak hal yang sebelumnya tidak ia pelajari di SDLB. Meski demikian, dengan semangat luar biasa, ia mampu menyesuaikan diri dan bahkan melampaui ekspektasi.
Advertisement
“Aku ingin menunjukkan bahwa tuli bukanlah hambatan. Aku ingin belajar, berkembang, dan setara dengan teman-teman lainnya,” ujar Ipang mengutip laman Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Senin (20/1/2025).
Tekadnya semakin kuat saat ia melanjutkan pendidikan ke SMPN 240 Jakarta. Di sana, ia terus membuktikan bahwa disabilitas tidak membatasi kemampuannya. Sikap pantang menyerah ini berlanjut hingga ia melanjutkan pendidikan di SMKN 6 Jakarta dengan jurusan animasi.
Saat SMK, Ipang bahkan berani mengkritisi sistem pendidikan nasional terkait aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan langsung datang ke kantor walikota untuk mengajukan usulan.
Usulannya saat itu adalah penggunaan headset khusus dalam ujian listening atau diganti dengan tes lainnya yang lebih mudah diakses oleh siswa dengan disabilitas rungu.
Atlet Taekwondo Tuli
Tak hanya bertekad sungguh-sungguh dalam belajar di bangku sekolah, Ipang juga berhasil mengukir prestasi di bidang olahraga.
Sejak usia 16, ia telah mengharumkan nama DKI Jakarta sebagai atlet taekwondo tuli pertama yang bertanding di ajang nasional dan internasional.
Banyak prestasi yang diraihnya kala itu. Salah satu yang paling membanggakan adalah menjadi perwakilan Indonesia di Deaflympics 2013.
Prestasi-prestasi tersebut tentu bukan hasil instan. Ipang harus berlatih keras, menghadapi keterbatasan komunikasi dengan pelatih dan tim, serta membangun kepercayaan diri di tengah banyaknya tantangan.
“Aku selalu percaya bahwa usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Jika kita terus berjuang, kesuksesan pasti akan datang,” ujarnya.
Advertisement
Jadi Pelatih Taekwondo untuk Non-disabilitas
Tak hanya menjadi atlet, Ipang juga berbagi ilmu sebagai pelatih taekwondo untuk anak-anak non-disabilitas.
Kemudian, Ipang melanjutkan pendidikannya di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dengan mengambil program studi S-1 Ilmu Keolahragaan. Hal ini merupakan keinginannya untuk mempelajari lebih dalam dunia olahraga dan menjadi pelatih taekwondo.
Berkuliah dan berbaur dengan teman-teman non-disabilitas lainnya bukanlah hal yang mudah, banyak tantangan yang dihadapi Ipang. Salah satu tantangan utamanya adalah komunikasi.
Ia kesulitan untuk berkomunikasi dengan dosen dan teman-temannya hingga terkadang harus menggunakan bahasa isyarat agar dapat dimengerti oleh yang lainnya. Beruntung saat itu UNJ telah memiliki relawan disabilitas yang siap membantu teman-teman disabilitas.
Bantuan Relawan Disabilitas
Ipang mengakui bahwa Relawan Disabilitas UNJ telah banyak membantunya selama masa studi.
“Relawan di UNJ sangat membantu saya, terutama dalam memahami materi kuliah dan berkomunikasi dengan dosen. Mereka juga membantu saya dalam kegiatan-kegiatan yang saya ikuti,” ujarnya.
Menurut Duta UNJ 2024, Muhammad Saddam Jasir dan Haifa Mujahidah Aulia, sebagai institusi pendidikan, UNJ terus menerus menunjukkan upaya dalam mendukung nilai inklusif.
Sejak 2012, UNJ telah memiliki Relawan Disabilitas (Redis), sebuah komunitas yang didedikasikan untuk membantu mahasiswa disabilitas mengatasi tantangan mereka dalam dunia pendidikan.
Selain itu, UNJ juga rutin mengadakan kegiatan seperti seminar inklusivitas, pelatihan keterampilan, dan diskusi terbuka untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya aksesibilitas di dunia pendidikan.
Dengan adanya Relawan Disabilitas serta berbagai kegiatan dan fasilitas yang ramah disabilitas, UNJ menjadi salah satu kampus yang memberikan kesempatan setara bagi mahasiswa disabilitas untuk berkembang.
Setelah menyelesaikan pendidikan S-1 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dalam waktu 3,5 tahun, Ipang melanjutkan pendidikannya untuk meraih gelar Magister (S-2) di Universitas Negeri Jakarta. Masih menggeluti bidang yang sama yaitu olahraga dan akhirnya Ipang berhasil mengantongi gelar Magister Pendidikan Jasmani.
Advertisement