Liputan6.com, Jakarta Komunitas tuli setidaknya mengenal dua jenis bahasa isyarat di Indonesia. Pertama Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan kedua Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO).
Lantas, apa perbedaan kedua bahasa isyarat ini?
Terkait hal ini, teman tuli sekaligus pengajar di kelas bahasa isyarat Career Development Center (CDC) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Riski Purna Adi, memberi penjelasan.
Advertisement
Menurutnya, SIBI merepresentasikan Bahasa Indonesia pada gerakan atau isyarat tangan. Jenis ini dibuat oleh orang dengar dari pemerintah Indonesia.
Sementara, BISINDO dibuat oleh orang tuli sendiri dari Laboratorium Penelitian Bahasa Tuli.
“Jenis ini lebih mudah dipahami oleh orang tuli dan lebih sering digunakan. Dalam menyampaikan konsep atau makna dari suatu kosa kata, BISINDO mengacu pada visual, sedangkan SIBI mengacu pada urutan,” terang Riski mengutip laman Fisipol UGM, Selasa (28/1/2025).
Selain lebih sering digunakan oleh tuli di kehidupan sehari-hari, BISINDO juga kerap dipakai di acara-acara televisi.
Fakta lainnya, bukan hanya bahasa isyarat Indonesia dan luar negeri yang berbeda, tapi bahasa isyarat di beberapa kota juga memiliki perbedaan. Misalnya, bahasa isyarat Jogja memiliki beberapa perbedaan dengan bahasa isyarat Jakarta.
Meskipun susunan bahasa isyarat memang terbolak-balik apabila dibandingkan dengan susunan atau tata bahasa Indonesia, akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi orang tuli untuk dapat berinteraksi.
Susunan yang terbolak-balik juga tidak menjadikan kemampuan tulis berbahasa Indonesia orang tuli menurun karena menggunakan bahasa isyarat.
Mulai Belajar Bahasa Isyarat
Riski menilai, jika ingin mulai belajar bahasa isyarat maka materi dapat diawali dengan alfabet dan angka. Ini merupakan dasar dari pembelajaran suatu bahasa.
Pembelajaran bahasa isyarat perlu banyak dipraktikkan, bisa mulai dari belajar memperkenalkan nama dan pengucapan nomor telepon.
Dalam kelas bahasa isyarat, peserta juga belajar cara melakukan hitungan dan simbol-simbolnya dalam bahasa isyarat, serta mengucapkan tanggal, hari, bulan, dan tahun dalam bahasa isyarat. Tentu belajar bahasa isyarat ini tidak cukup hanya satu kali pertemuan.
Advertisement
Perbedaan Istilah Tuli dengan Tunarungu
Selain perbedaan SIBI dan BISINDO, Riski juga menerangkan soal perbedaan istilah tuli dengan tunarungu.
Sebagian orang ragu menyebut penyandang disabilitas rungu dengan kata “tuli” karena menganggap bahwa istilah itu kasar. Padahal, menurut Riski, tuli bukan kata kasar.
“Sebaliknya, istilah ‘tunarungu’ dibuat oleh orang dengar dan penggunaan kata tersebut justru dianggap kasar dan menyinggung orang tuli,” ungkap Riski.
Salah Kaprah Soal Tuli
Dia menambahkan, salah kaprah tentang tuli juga kerap datang dari tenaga medis atau tenaga kesehatan. Ada tenaga medis yang memaksa tuli untuk menggunakan bahasa oral dan menyarankan tidak menggunakan bahasa isyarat.
“Orang medis memaksa tuli untuk dapat menggunakan bahasa oral dan tidak menganjurkan kita untuk menggunakan bahasa isyarat. Mereka bilang, bahasa isyarat dapat merusak kemampuan berkomunikasi kami, dan anggapan itu salah,” ujar Riski.
Hingga sekarang, belum ada bukti spesifik yang mengatakan bahwa bahasa isyarat dapat mengganggu kemampuan berbahasa dan berinteraksi orang tuli.
“Fakta bahwa kami tidak bisa mendengar itu tidak apa-apa, selama kami bisa berinteraksi dengan bahasa isyarat. Kami tidak sakit atau bahkan cacat,” ujar Riski.
Advertisement