Fenomena Dejavu: Apa Itu dan Mengapa Terjadi?

Pelajari tentang fenomena dejavu, penyebabnya secara ilmiah, dan berbagai teori yang menjelaskan mengapa kita sering mengalaminya dalam kehidupan sehari-hari.

oleh Liputan6 diperbarui 31 Okt 2024, 17:00 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2024, 17:00 WIB
dejavu adalah
dejavu adalah ©Ilustrasi dibuat Stable Diffusion

Liputan6.com, Jakarta Pernahkah Anda merasakan sensasi aneh seolah-olah pernah mengalami suatu situasi sebelumnya, padahal Anda yakin itu adalah pengalaman pertama? Fenomena ini dikenal sebagai dejavu, sebuah istilah yang berasal dari bahasa Prancis yang berarti "sudah pernah dilihat". Meski umum dialami oleh banyak orang, dejavu masih menyimpan banyak misteri dan menjadi subjek penelitian para ilmuwan hingga saat ini.

Pengertian Dejavu

Dejavu dapat didefinisikan sebagai perasaan familiar yang tiba-tiba muncul terhadap suatu situasi atau pengalaman yang sebenarnya baru pertama kali dialami. Sensasi ini biasanya berlangsung singkat, sekitar 10 hingga 30 detik, namun dapat memberikan kesan yang mendalam bagi yang mengalaminya. Orang yang sedang mengalami dejavu merasa yakin bahwa ia pernah berada dalam situasi yang sama persis sebelumnya, meski secara logika hal tersebut tidak mungkin terjadi.

Fenomena dejavu pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Emile Boirac, seorang psikolog Prancis, pada tahun 1876. Sejak saat itu, berbagai teori dan penelitian telah dilakukan untuk memahami mekanisme terjadinya dejavu dalam otak manusia. Meski demikian, hingga kini belum ada penjelasan tunggal yang dapat diterima secara universal mengenai penyebab pasti terjadinya dejavu.

Siapa Saja yang Sering Mengalami Dejavu?

Meski dapat dialami oleh siapa saja, penelitian menunjukkan bahwa beberapa kelompok orang cenderung lebih sering mengalami dejavu dibandingkan yang lain:

  • Usia muda: Orang berusia 15-25 tahun dilaporkan lebih sering mengalami dejavu dibandingkan kelompok usia lainnya. Frekuensi dejavu cenderung berkurang seiring bertambahnya usia.
  • Tingkat pendidikan tinggi: Mereka yang memiliki latar belakang pendidikan lebih tinggi dan status sosial ekonomi yang lebih baik dilaporkan lebih sering mengalami dejavu.
  • Sering bepergian: Orang yang sering melakukan perjalanan atau mengunjungi tempat-tempat baru cenderung lebih sering mengalami dejavu.
  • Pengidap kondisi tertentu: Beberapa kondisi medis seperti epilepsi, migrain, atau gangguan kecemasan dapat meningkatkan frekuensi terjadinya dejavu.
  • Pemimpi lucid: Mereka yang sering mengalami mimpi sadar (lucid dream) juga dilaporkan lebih sering mengalami dejavu saat terjaga.

Menariknya, sekitar 60-80% populasi orang di dunia diperkirakan pernah mengalami dejavu setidaknya sekali dalam hidup mereka. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena ini merupakan pengalaman yang cukup umum dan bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan secara berlebihan.

Teori-teori Penyebab Dejavu

Para ilmuwan telah mengajukan berbagai teori untuk menjelaskan mekanisme terjadinya dejavu dalam otak manusia. Berikut adalah beberapa teori utama yang sering dikemukakan:

1. Teori Persepsi Terbelah (Split Perception)

Teori ini menjelaskan bahwa dejavu dapat terjadi ketika seseorang melihat suatu objek atau situasi pada dua waktu yang berbeda dalam rentang waktu yang sangat singkat. Pada pengamatan pertama, informasi mungkin hanya ditangkap sekilas atau tidak mendapat perhatian penuh. Namun, otak tetap membentuk ingatan samar tentang apa yang dilihat meski dengan informasi yang terbatas.

Ketika pengamatan kedua terjadi dengan perhatian penuh, otak mengenali kemiripan dengan pengamatan sebelumnya yang tidak disadari. Hal ini menciptakan sensasi seolah-olah situasi tersebut pernah dialami sebelumnya. Misalnya, saat melewati sebuah bangunan sambil bermain ponsel, Anda mungkin tidak memperhatikannya dengan seksama. Namun keesokan harinya saat melewati bangunan yang sama, tiba-tiba muncul perasaan familiar yang sulit dijelaskan.

2. Teori Ingatan yang Muncul Kembali (Memory Recall)

Teori ini berpendapat bahwa dejavu terjadi ketika seseorang menghadapi situasi yang memiliki kemiripan dengan pengalaman masa lalu yang tersimpan dalam ingatan namun tidak dapat diakses secara sadar. Otak mengenali kemiripan tersebut dan menciptakan sensasi familiar, meski individu tidak dapat mengingat kapan tepatnya pengalaman serupa pernah terjadi.

Contohnya, saat mengunjungi kafe bergaya Jepang di kota Anda, tiba-tiba muncul perasaan familiar. Ternyata, interior kafe tersebut mirip dengan kafe asli di Jepang yang pernah Anda kunjungi saat masih kecil. Meski tidak dapat mengingat kunjungan masa kecil itu dengan jelas, otak tetap mengenali kemiripannya dan memicu sensasi dejavu.

3. Teori Gangguan Sirkuit Otak

Beberapa ahli berpendapat bahwa dejavu dapat disebabkan oleh gangguan sementara pada sirkuit neural di otak, khususnya di area yang terkait dengan pembentukan dan penyimpanan memori. Gangguan ini menyebabkan informasi yang seharusnya disimpan di memori jangka pendek langsung ditransfer ke area penyimpanan memori jangka panjang.

Akibatnya, pengalaman yang baru saja terjadi diproses seolah-olah merupakan ingatan lama, menciptakan ilusi bahwa situasi tersebut pernah dialami sebelumnya. Teori ini menjelaskan mengapa sensasi dejavu sering terasa sangat kuat namun sulit untuk diingat detailnya setelah berlalu.

4. Teori Ketidaksinkronan Proses Kognitif

Teori ini mengusulkan bahwa dejavu terjadi akibat ketidaksinkronan sementara antara berbagai proses kognitif di otak. Dalam kondisi normal, persepsi terhadap lingkungan dan proses pembentukan ingatan berjalan selaras. Namun kadang terjadi ketidaksinkronan, di mana proses pengenalan objek atau situasi berjalan lebih cepat dibanding proses pembentukan ingatan baru.

Akibatnya, otak mengalami kebingungan dan menafsirkan pengalaman baru tersebut sebagai ingatan lama yang familiar. Hal ini menciptakan sensasi dejavu yang membingungkan, di mana seseorang merasa pernah mengalami sesuatu padahal itu adalah pengalaman baru.

5. Teori Aktivasi Rhinal Cortex

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa area otak yang disebut rhinal cortex berperan penting dalam fenomena dejavu. Rhinal cortex berfungsi mendeteksi familiaritas terhadap suatu stimulus. Pada kasus dejavu, area ini mungkin teraktivasi tanpa memicu aktivasi hippocampus yang berperan dalam pembentukan ingatan eksplisit.

Akibatnya, muncul sensasi familiar yang kuat namun tanpa disertai ingatan spesifik tentang kapan dan di mana pengalaman serupa pernah terjadi. Teori ini menjelaskan mengapa orang yang mengalami dejavu sering merasa yakin pernah mengalami situasi tersebut namun tidak dapat mengingat detailnya.

Faktor-faktor yang Dapat Memicu Dejavu

Meski mekanisme pastinya masih diperdebatkan, beberapa faktor diketahui dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya dejavu:

  • Kelelahan dan stres: Kondisi fisik dan mental yang lelah dapat membuat otak lebih rentan mengalami gangguan pemrosesan informasi yang memicu dejavu.
  • Kurang tidur: Kekurangan tidur dapat memengaruhi fungsi kognitif dan meningkatkan risiko terjadinya dejavu.
  • Perubahan lingkungan: Bepergian ke tempat baru atau mengalami perubahan rutinitas dapat memicu dejavu karena otak berusaha memproses informasi baru dengan cepat.
  • Konsumsi alkohol atau obat-obatan tertentu: Beberapa zat dapat memengaruhi fungsi otak dan meningkatkan kemungkinan terjadinya dejavu.
  • Gangguan neurologis: Kondisi seperti epilepsi lobus temporal dapat meningkatkan frekuensi terjadinya dejavu.
  • Faktor genetik: Beberapa penelitian menunjukkan adanya kecenderungan genetik dalam mengalami dejavu.

Penting untuk dicatat bahwa mengalami dejavu sesekali adalah hal yang normal dan tidak perlu dikhawatirkan. Namun, jika dejavu terjadi sangat sering atau disertai gejala lain yang mengganggu, sebaiknya berkonsultasi dengan profesional kesehatan.

Jenis-jenis Fenomena Serupa Dejavu

Selain dejavu, terdapat beberapa fenomena serupa yang juga berkaitan dengan persepsi dan ingatan:

1. Jamais Vu

Kebalikan dari dejavu, jamais vu adalah kondisi di mana seseorang merasa asing terhadap situasi atau objek yang sebenarnya familiar. Misalnya, tiba-tiba merasa tidak mengenali jalan yang sehari-hari dilewati atau merasa asing dengan wajah orang yang dikenal dekat. Fenomena ini sering dikaitkan dengan kelelahan mental atau gangguan memori jangka pendek.

2. Presque Vu

Presque vu, yang berarti "hampir melihat" dalam bahasa Prancis, adalah perasaan bahwa seseorang hampir mencapai suatu realisasi atau pemahaman penting, namun gagal menggapainya. Ini sering digambarkan sebagai perasaan "ada di ujung lidah" ketika seseorang berusaha mengingat sesuatu namun tidak berhasil.

3. Deja Entendu

Deja entendu adalah sensasi pernah mendengar sesuatu sebelumnya, padahal itu adalah pengalaman baru. Misalnya, merasa pernah mendengar sebuah lagu atau percakapan, meski itu adalah pertama kalinya.

4. Deja Vecu

Deja vecu, yang berarti "sudah pernah hidup", adalah bentuk dejavu yang lebih intens. Seseorang tidak hanya merasa familiar dengan situasi, tetapi juga yakin dapat memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya berdasarkan "ingatan" tersebut.

5. Deja Senti

Deja senti mengacu pada perasaan bahwa seseorang pernah merasakan emosi yang sama sebelumnya dalam situasi yang identik. Ini bisa berupa perasaan takut, senang, atau emosi lainnya yang terasa sangat familiar.

Penelitian Terkini Seputar Dejavu

Meski telah lama menjadi subjek penelitian, fenomena dejavu masih terus dieksplorasi oleh para ilmuwan. Beberapa penelitian terbaru memberikan wawasan baru tentang mekanisme terjadinya dejavu:

Studi Neuroimaging

Penelitian menggunakan teknik pencitraan otak seperti fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) telah membantu mengidentifikasi area-area otak yang aktif saat seseorang mengalami dejavu. Hasil menunjukkan adanya aktivitas yang meningkat di area temporal medial, termasuk hippocampus dan parahippocampal gyrus, yang terkait dengan pembentukan dan pengambilan ingatan.

Eksperimen Laboratorium

Para peneliti telah berhasil menciptakan kondisi yang memicu dejavu dalam lingkungan laboratorium terkontrol. Salah satu metode yang digunakan adalah dengan menunjukkan serangkaian gambar kepada partisipan, di mana beberapa gambar memiliki kemiripan struktural namun berbeda secara visual. Hal ini memungkinkan studi yang lebih sistematis tentang faktor-faktor yang memicu dejavu.

Analisis Genetik

Beberapa studi telah mengeksplorasi kemungkinan adanya komponen genetik dalam kecenderungan seseorang mengalami dejavu. Meski belum ada gen spesifik yang teridentifikasi, penelitian menunjukkan adanya pola familial dalam frekuensi terjadinya dejavu.

Studi pada Pasien Epilepsi

Penelitian pada pasien dengan epilepsi lobus temporal telah memberikan wawasan berharga tentang mekanisme neural yang mendasari dejavu. Beberapa pasien melaporkan mengalami sensasi dejavu sebelum serangan epilepsi, memungkinkan peneliti untuk mempelajari aktivitas otak yang terkait dengan fenomena ini secara lebih detail.

Mitos dan Kesalahpahaman tentang Dejavu

Seiring popularitasnya, banyak mitos dan kesalahpahaman yang beredar tentang fenomena dejavu. Berikut beberapa di antaranya yang perlu diluruskan:

1. Dejavu Adalah Tanda Kemampuan Paranormal

Meski sering dikaitkan dengan hal-hal mistis, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung anggapan bahwa dejavu merupakan tanda kemampuan paranormal atau kemampuan melihat masa depan. Dejavu lebih tepat dijelaskan sebagai fenomena neuropsikologis yang berkaitan dengan proses memori dan persepsi di otak.

2. Dejavu Selalu Berarti Sesuatu yang Penting

Banyak orang percaya bahwa mengalami dejavu pasti memiliki makna khusus atau merupakan pertanda akan terjadi sesuatu. Padahal, sebagian besar kasus dejavu hanyalah hasil dari proses kognitif normal yang kadang mengalami sedikit gangguan, tanpa makna khusus di baliknya.

3. Hanya Orang Tertentu yang Bisa Mengalami Dejavu

Kenyataannya, dejavu adalah fenomena yang sangat umum dan dapat dialami oleh siapa saja. Meski frekuensinya bervariasi antar individu, mayoritas orang pernah mengalami dejavu setidaknya sekali dalam hidup mereka.

4. Dejavu Adalah Tanda Gangguan Mental

Mengalami dejavu sesekali bukanlah indikasi adanya gangguan mental atau masalah kesehatan serius. Namun, jika dejavu terjadi sangat sering dan mengganggu kehidupan sehari-hari, mungkin ada baiknya untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan.

5. Dejavu Bisa Dipicu atau Dihindari Secara Sengaja

Tidak ada metode yang terbukti efektif untuk memicu atau menghindari dejavu secara sengaja. Fenomena ini umumnya terjadi secara spontan dan di luar kendali sadar seseorang.

Dampak Dejavu pada Kehidupan Sehari-hari

Meski umumnya tidak berbahaya, pengalaman dejavu dapat memiliki berbagai dampak pada kehidupan sehari-hari seseorang:

1. Gangguan Konsentrasi Sementara

Saat mengalami dejavu, seseorang mungkin mengalami kebingungan sesaat yang dapat mengganggu konsentrasi pada tugas yang sedang dilakukan. Namun, efek ini biasanya berlangsung singkat dan tidak signifikan.

2. Peningkatan Kesadaran Diri

Bagi sebagian orang, pengalaman dejavu dapat memicu refleksi diri yang lebih dalam tentang cara kerja pikiran dan persepsi mereka. Hal ini dapat meningkatkan kesadaran akan kompleksitas fungsi otak manusia.

3. Kecemasan atau Ketidaknyamanan

Beberapa individu mungkin merasa cemas atau tidak nyaman saat mengalami dejavu, terutama jika mereka tidak memahami penyebabnya. Edukasi tentang normalitas fenomena ini dapat membantu mengurangi kecemasan tersebut.

4. Inspirasi Kreatif

Dejavu telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak karya seni, literatur, dan film. Sensasi unik yang ditimbulkannya sering digunakan sebagai metafora atau elemen naratif dalam berbagai bentuk ekspresi kreatif.

5. Pengaruh pada Pengambilan Keputusan

Dalam beberapa kasus, pengalaman dejavu yang kuat dapat memengaruhi pengambilan keputusan seseorang. Misalnya, seseorang mungkin merasa lebih yakin atau ragu dalam mengambil tindakan tertentu berdasarkan sensasi familiar yang dirasakan.

Cara Menyikapi Pengalaman Dejavu

Jika Anda sering mengalami dejavu, berikut beberapa saran untuk menyikapinya:

  • Jangan panik: Ingat bahwa dejavu adalah fenomena normal yang dialami banyak orang.
  • Catat pengalaman Anda: Mencatat detail pengalaman dejavu dapat membantu Anda mengidentifikasi pola atau pemicu potensial.
  • Diskusikan dengan orang lain: Berbagi pengalaman dengan teman atau keluarga dapat memberikan perspektif baru dan mengurangi kecemasan.
  • Pelajari lebih lanjut: Memahami teori ilmiah di balik dejavu dapat membantu Anda melihatnya secara lebih objektif.
  • Perhatikan pola tidur dan tingkat stres: Menjaga pola tidur yang teratur dan mengelola stres dapat membantu mengurangi frekuensi terjadinya dejavu.
  • Konsultasi profesional: Jika dejavu terjadi sangat sering atau mengganggu kehidupan sehari-hari, pertimbangkan untuk berkonsultasi dengan psikolog atau neurolog.

Kesimpulan

Dejavu merupakan fenomena psikologis yang menarik dan kompleks, mencerminkan kerumitan fungsi otak manusia dalam memproses informasi dan membentuk ingatan. Meski telah lama menjadi subjek penelitian, masih banyak aspek dari fenomena ini yang belum sepenuhnya dipahami oleh para ilmuwan.

Yang penting untuk diingat adalah bahwa mengalami dejavu sesekali merupakan hal yang normal dan tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Fenomena ini justru dapat menjadi pengingat akan kompleksitas dan keajaiban cara kerja otak kita.

Seiring berkembangnya teknologi dan metode penelitian, kita dapat berharap akan semakin memahami mekanisme di balik dejavu di masa depan. Hingga saat itu tiba, kita dapat menikmati sensasi unik yang ditawarkan oleh pengalaman dejavu sebagai salah satu aspek menarik dari kehidupan mental manusia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya