Liputan6.com, Jakarta Pernah merasa "ketinggalan zaman" saat lihat teman pegang HP terbaru atau pakai smartwatch mahal? Atau mungkin kamu sendiri pernah beli barang mahal hanya supaya kelihatan "berhasil"? Tenang, kamu tidak sendiri.
Banyak orang, khususnya dari kalangan kelas menengah ke bawah, merasa perlu tampil “mapan” di depan lingkungan sosial dengan menunjukkan gadget mahal. Kadang bukan karena kebutuhan, tapi karena ingin diakui. Fenomena ini bukan cuma soal gaya hidup. Ada penjelasan psikologis di baliknya.
Advertisement
Dalam psikologi, ini dikenal sebagai “impression management”—strategi sadar atau tidak sadar untuk memengaruhi bagaimana orang lain melihat kita. Bahkan, dalam konteks ekonomi sosial, perilaku ini juga berkaitan dengan teori konsumsi mencolok (conspicuous consumption) yang diperkenalkan oleh sosiolog Thorstein Veblen.
Advertisement
Nah, berikut Liputan6.com bahas 8 gadget yang sering dibeli kelas menengah demi terlihat sukses, padahal fungsinya kadang nggak maksimal.
1. Smartphone Flagship Terbaru
Ponsel keluaran terbaru selalu menggoda. Banyak orang rela kredit demi punya iPhone terbaru. Desainnya kece, kameranya tajam, dan logonya bikin gengsi naik. Tapi, apakah semua fiturnya kamu pakai?
Menurut teori konsumsi mencolok, kita cenderung membeli barang mewah sebagai simbol status sosial. Smartphone bukan sekadar alat komunikasi, tapi jadi “pernyataan sosial” — seolah berkata, “Saya sukses, lho!”
Padahal, jika motivasi utamanya hanya untuk dilihat orang lain, itu bisa berdampak negatif pada kesejahteraan finansial jangka panjang.
Coba tanya ke diri sendiri: Butuh upgrade, atau cuma biar dilirik orang?
Advertisement
2. Headphone Mewah
Headphone premium memang punya kualitas suara top. Tapi kalau beli cuma biar kelihatan stylish saat naik kereta atau nongkrong, mending pikir ulang.
Headphone harga terjangkau sekarang juga sudah oke banget, kok. Kalau kamu bukan audio freak, percayalah, suara bass-nya nggak akan terlalu beda.
Teori identitas sosial menjelaskan bahwa kita membentuk citra diri lewat kelompok tempat kita merasa cocok. Jadi, saat kamu pakai headphone mahal, kamu merasa “masuk” ke kelompok elite pecinta audio atau tech-savvy, walaupun sebenarnya hanya dengar lagu dari Spotify.
3. Smartwatch Mahal
Jam tangan pintar bisa bantu pantau kesehatan, cek notifikasi, sampai jadi asisten pribadi. Tapi kenyataannya, banyak orang cuma pakai buat lihat jam atau notif WhatsApp.
Kalau kamu beli cuma biar seragam sama teman-teman, coba pikirkan kembali. Bisa jadi, jam tangan biasa atau fitness tracker lebih cocok dan nggak bikin stres bayar cicilan.
Fenomena ini berkaitan dengan fear of missing out (FOMO)—rasa takut tertinggal tren. Saat orang di sekitarmu punya gadget tertentu, kamu terdorong membeli agar tetap relevan dalam lingkaran sosialmu.
Advertisement
4. Laptop High-End
Laptop premium itu cocok untuk desainer, editor video, atau programmer. Tapi kalau kegunaan kamu cuma buat nonton YouTube dan buka email, ngapain beli spek tinggi?
Kamu bisa hemat jutaan rupiah kalau jujur sama kebutuhanmu. Lagipula, laptop mid-range sekarang performanya juga sudah oke banget.
Ini sering dipengaruhi oleh heuristik representatif, yaitu kecenderungan menilai sesuatu berdasarkan tampilan luar. Orang merasa, “Kalau punya laptop mahal, berarti saya profesional.” Padahal, fungsinya belum tentu maksimal.
5. Mesin Kopi
Espresso machine di dapur memang bikin dapur terlihat ala barista. Tapi kalau akhirnya tetap beli kopi di luar, ya sama aja bohong.
Self-enhancement bias menjelaskan kecenderungan kita untuk membayangkan versi diri yang lebih baik. Memiliki mesin kopi premium dianggap sebagai simbol bahwa kita adalah penikmat kopi sejati, meskipun kenyataannya lebih sering membeli kopi di kafe.
Sebelum membeli mesin kopi premium, pertimbangkan frekuensi penggunaan dan kebutuhan sebenarnya. Apakah mesin kopi tersebut benar-benar akan digunakan secara rutin atau hanya sekadar pajangan?
Advertisement
6. Setup Gaming
Punya PC dengan lampu RGB, kursi gaming, dan monitor tiga biji memang keren buat dipamerin. Tapi kalau main game cuma saat weekend, mending pikir-pikir dulu.Daripada buang uang buat setup yang cuma dipakai sesekali, lebih baik investasi ke hal lain yang lebih sering kamu nikmati.
Ini bisa dijelaskan lewat konsep “projected identity”—kita ingin terlihat sebagai seseorang yang punya passion tertentu, walaupun kenyataannya tidak begitu. Posting di media sosial makin memperkuat ilusi ini.
7. Smart Home Devices
Lampu pintar, speaker pintar, kamera pintar—semua serba “smart.” Tapi banyak orang malas pakai fiturnya, karena ribet atau nggak ngerti cara setting-nya.
Kita sering membeli teknologi sebagai bagian dari “aspirational identity”, membayangkan hidup yang efisien dan modern. Namun, kebiasaan lama seringkali sulit diubah, sehingga fitur-fitur smart home tidak termanfaatkan secara maksimal.
Sebelum membeli perangkat smart home, pertimbangkan kebutuhan dan kemampuan untuk menggunakannya secara efektif. Jangan tergoda oleh fitur-fitur canggih yang mungkin tidak akan digunakan secara rutin.
Advertisement
8. Kamera
Punya kamera mahal memang bikin aura kreatif langsung naik. Tapi kalau cuma pakai mode otomatis dan hasil fotonya cuma disimpan di galeri, lebih baik pakai kamera HP saja.
Kalau memang suka fotografi, silakan. Tapi kalau tujuannya cuma buat terlihat artsy di media sosial, lebih baik tahan dulu sampai benar-benar niat.
Kamu ingin dikaitkan dengan dunia seni atau fotografi, karena dalam hierarki kebutuhan Maslow, pengakuan (esteem) dan aktualisasi diri berada di tingkat atas. Membeli kamera mahal bisa terasa seperti “langkah menuju impian”, walau realitas tak selalu sejalan.
Menurut peneliti kebahagiaan John F. Helliwell, kebahagiaan tidak selalu sejalan dengan jumlah barang yang kita punya. Justru, kepuasan hidup sering datang dari hubungan sosial yang sehat, pengalaman bermakna, dan rasa cukup.
Tips Sederhana:
- Beli karena kamu butuh, bukan karena ingin terlihat sukses.
- Evaluasi fungsi gadget sebelum beli.
- Pikirkan manfaat jangka panjang, bukan sekadar tampilan.
Jadi, nggak ada yang salah dengan punya barang bagus. Tapi jangan sampai itu jadi alat ukur kebahagiaanmu. Bijaklah memilih, dan ingat: kamu lebih dari sekadar gadget yang kamu punya.
