Warga Minoritas Irak Terdampak Pemberontakan

Krisis di Suriah dan Irak tidak hanya berdampak kepada para pihak yang bertikai secara langsung.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 24 Jun 2014, 14:21 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2014, 14:21 WIB
Warga Khaldea Irak

Liputan6.com, Ankawa Krisis di Suriah dan Irak tidak hanya berdampak kepada para pihak yang bertikai secara langsung. Warga yang terjebak di tengah-tengah pemberontakan juga mengalami siksaan luar biasa.

Ketika pemberontak ISIL mulai mengambil alih kekuasaan, kekerasan yang mereka lakukan termasuk rangkaian pemenggalan musuh dan sedikitnya ada tiga peristiwa penyaliban. Tahun lalu, di kota Raqqa di Suriah, warga-warga Kristen diberi pilihan untuk berpindah agama atau dibunuh. Demikianlah yang dilansir dari Vancouver Sun 22 Juni 2014.

Mengetahui reputasi buruk terkait pembunuhan dan kebengisan, ribuan warga Kristen yang tinggal di Mosul dan sekitar Dataran Niniwe mengungsi dalam kepanikan ketika pemberontak ISIL mencaplok kota kedua terbesar di Irak itu pada tanggal 10 Juni lalu.

Kebanyakan mereka yang berhasil lolos lari ke kantong Kristen di kota Irbil di wilayah Kurdi. Kota itu terletak satu jam jauhnya dengan mengemudi mobil.

“Yang tersisa hanyalah segelintir warga Kristen yang cacat atau sakit,” kata seorang biarawati Katholik Khaldea bergaun biru yang mengungsi dengan berjalan kaki dari Mosul. Perjalanan ke utara ditempuh selama 4 jam bersama-sama dengan ribuan pengungsi Muslim dan Kristen lainnya.

Mereka semua takut dengan siksaaan para pemberontak yang mentaati tafsiran kaku keagamaan yang bukan hanya mewajibkan wanita untuk tinggal saja di dalam rumah, tapi juga melarang bunyi lonceng-lonceng gereja, larangan memperlihatkan lambang salib dan keharusan membayar “pajak emas” untuk menjamin nyawa mereka.

Biarawati ini berkali-kali memohon agar namanya dan ordo biarawatinya tidak disebutkan, karena khawatir para pemberontak membaca komentarnya di internet.

“Mereka menurunkan semua monumen di Mosul, baik yang menggambarkan tokoh politik Irak maupun yang bersifat keagamaan,” ujarnya dalam bahasa Prancis yang fasih yang didapatnya selama belajar di Montreal (Kanada) setahun lamanya.

Sekitar 120 jemaat menghadiri misa di Gereja Katholik Khaldea St. Elias di Ankawa di mana Pater Shahar memberikan khotbah tentang perlunya rekonsiliasi. “Saya harap perdamaian akan datang lagi ke Suriah, Baghdad, Mosul, dan Irak,” demikianlah satu-satunya ucapan pastor itu yang berkaitan dengan kekerasan sektarian yang sekarang sedang menyelimuti negeri itu.

Ketakutan merebak di kalangan jemaat sehari sesudah para pejuang ISIL mencaplok satu lagi kota perbatasan dengan Suriah sehingga memudahkan mereka untuk memindahkan senjata ke dua arah karena mereka menguasai sebagian besar daerah di utara Suriah di mana mereka sedang memerangi rejim Bashar Assad.

Warga Kristen di Irak sudah ada sejak abad pertama Masehi ketika dua murid Yesus membawa Injil ke sana. Hingga tahun 2003, Irak memiliki 1,5 juta warga Kristen. Namun sejak adanya lebih dari 70 kali serangan terhadap gereja-gereja dan pembunuhan beberapa orang pastur, jumlah warga Kristen telah menurun hingga kurang dari 500.000 orang saja. Kekerasan yang terjadi baru-baru ini ditengarai akan menyebabkan pelarian tambahan.

Seorang anggota jemaat berusia 72 tahun, yang hanya ingin dikenal sebagai Dominique, mengatakan bahwa ia terpaksa meninggalkan Mosul menuju Baghdad di tahun 1960 setelah ayahnya dibunuh karena agamanya.

Setelah gereja tempatnya beribadah di Baghdad diledakkan tiga tahun lalu, ia, istrinya dan putra mereka mencari pengungsian di pinggiran kota Irbil, yakni Ankawa.

“Menjadi seorang Kristen di Irak berarti harus siap-siap terkena tindakan terorisme,” kata Dominique, yang meraih gelar pascasarjana bidang teknik dari Wayne State University di Detroit (negara bagian Michigan). Sepupu jauhnya, Pastur Agung Paulos Faraj Rahho, diculik dari mobilnya dan dibunuh di Mosul enam tahun lalu.

“Kami berpindah dari kota ke kota di Irak karena kami mempercayai janji-janji pemerintah dan ulama yang mengatakan bahwa kami akan aman,” tambahnya sambil tertawa pahit,” kami sekarang sadar bahwa kami sudah kehabisan tempat untuk bersembunyi.”

Michael, putra Dominique, yang menghadiri pemakaman itu bersama orangtuanya mengatakan bahwa walaupun keluarganya masih aman pada saat ini di wilayah otonomi Kurdi di Irak, “kami tidak dapat melupakan bahwa Mosul jatuh hanya dalam waktu dua jam.”

“Kami percaya bahwa Peshmerga (pasukan Kurdi) kuat adanya dan di atas kertas, warga Kurdi memberikan lebih banyak hak kepada kami daripada yang lain,” kata Michael, yang memiliki gelar Master di bidang ilmu komputer dari suatu universitas Inggris.

“Tetap saja, kami memiliki perasaan bahwa kami ini sekedar tamu di negeri sendiri. Kami tahu bahwa ada satu hal yang menyatukan Sunni dan Syiah yakni bahwa mereka sama-sama muslim.”

Baik biarawati, Michael dan ayahnya mengatakan secara terpisah bahwa kelompok-kelompok warga Katholik, Kristen Orthodoks, dan Koptik (warga asli Mesir beragama Kristen) semuanya menderita di Suriah dan Mesir sehingga sepertinya masa depan warga Kristen adalah untuk hengkang saja dari Timur Tengah.

“Kami tidak berada dalam bahaya sekarang ini, tapi siapa yang tahu di negara ini,” kata biarawati itu. “Kami tidak tahu apa yang akan kami lakukan kemudian. Wilayah Kurdi ini merupakan yang paling tenang di Irak, entah sampai kapan, tiada yang tahu.” (Ein)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya