Liputan6.com, Jakarta Mungkin, Anda malas membaca lebih lanjut, namun, baru-baru ini ditemukan bahwa perbedaan cara kerja otak bisa jadi menjelaskan, mengapa beberapa orang pemalas, apatis dan acuh tak acuh.
Menurut ilmuwan, tingkat motivasi bukan hanya tergantung sikap dan kebiasaan, namun juga alasan biologi.
Hasil pemindaian magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan potongan aktifitas otak pada 40 sukarelawan sehat, ketika mereka memutuskan apakah mereka ingin melakukan usaha yang nantinya akan menghasilkan hadiah.
Advertisement
Pemindaian mengungkapkan perbedaan signifikan di antara kerja otak mereka yang mengaku akan melakukan usaha sedikit dan mereka dengan usaha besar, dalam kuestioner yang secara umum memaparkan tingkat motivasi mereka.
Saat orang-orang memutuskan akan melakukan sesuatu, korteks pre-motor mereka cenderung akan menyala, sebelum area lainnya yang mengontrol pergerakan menjadi aktif, periset studi mengungkapkan, dikutip Live Science, Minggu (22/11/2015).
Di antara para orang-orang 'malas', saat membuat keputusan apakah mereka akan melakukan sesuatu, korteks pre-motor mereka menyala lebih jelas dibanding para orang 'rajin'. Ilmuwan menemukan, bahwa koneksi otak yang bertanggung jawab memproses keputusan yang dibuat dan mengubah menjadi tindakan bekerja dengan lebih tidak efektif pada orang-orang malas. Artinya, otak mereka perlu bekerja lebih keras untuk mulai bertindak. Ironis?
"Semakin banyak energi yang diperlukan untuk merencanakan sebuah tindakan, lebih sulit bagi orang-orang apatis untuk melakukannya," jelas salah satu anggota tim studi, periset ahli saraf Masud Husain dari Universitas Oxford. "Otak mereka perlu membuat usaha lebih besar."
Studi terpisah pernah dilakukan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa level dopamine dalam otak juga bisa memiliki dampak pada motivasi.
Penemuan baru itu, dijabarkan secara detail dalam jurnal Celebral Cortex. Namun, periset telah mewanti-wanti bahwa ada kemungkinan tidak bisa menjelaskan seluruh kasus sifat apatis atau kemalasan. Namun, ada implikasi yang bisa membantu penanganan kasus ekstrem.
"Dengan kami memiliki informasi lebih banyak mengenai proses otak di bawah motivasi, kami bisa mengerti lebih baik bagaimana cara menemukan penanganan untuk kondisi patologis orang-orang yang apatis secara ekstrem." (Ikr/Rie)