Akhirnya ISIS Akui Kematian Algojo Sadis 'Jihadi John'

Jihadi John menjadi orang incaran AS dan tim intelijen Inggris, yang berlomba-lomba memburunya.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 20 Jan 2016, 10:31 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2016, 10:31 WIB
Kisah Siksaan Psikologis Wartawan Spanyol Saat Disandera ISIS
Jihadi John. (Reuters)

Liputan6.com, Raqqa - Untuk pertama kalinya, sebuah majalah propaganda untuk kelompok teror ISIS mengakui bahwa militan yang dikenal sebagai 'Jihad John' sudah mati. Pengakuan itu muncul dalam majalah Dabiq edisi terbaru.

Sebelumnya para pejabat AS telah lebih dulu mengatakan Jihadi John tewas dalam serangan udara di Suriah pada bulan November 2015. Namun kelompok militan tersebut belum mengomentari hal tersebut.

Menurut laporan majalah Dabiq, Jihad John yang dikenal sebagai Mohammed Emwazi itu lahir di Kuwait dan hijrah ke Inggris dalam usia muda. Sosoknya kerap muncul dalam serangkaian video aksi sadis pemenggalan sandera ISIS, dan sejak saat itulah ia menjadi terkenal.

Para analis mengatakan ia akhirnya menjadi orang incaran AS dan tim intelijen Inggris, yang berlomba-lomba memburunya.

"Kekerasannya terhadap orang-orang yang tak sejalan diwujudkan melalui aksi kemarahan terhadap semua bangsa, agama, dan golongan kafir dan seluruh dunia menyaksikannya," demikian potongan tulisan dalam artikel di Majalah Dabiq menurut terjemahan yang disediakan oleh SITE, dikutip dari Fox News, Rabu (20/1/2016). 

Seorang juru bicara militer AS, Kolonel Tentara Steve Warren mengatakan bahwa anak buahnya cukup yakin menyatakan serangan pesawat tak berawak di Suriah telah membunuh Emwazi pada bulan November.

Secara terpisah, seorang pejabat AS mengatakan 3 drone -- 2 AS dan 1 Inggris -- memang ditargetkan ke kendaraan yang diyakini ditumpangi Emwazi saat bepergian ke Raqqa, ibukota kekhalifahan ISIS di Suriah utara. Pesawat tak berawak milik Negeri Paman Sam itu menembakkan rudal Hellfire ke arah mobil tersebut.

Sehari setelah Pentagon mengumumkan serangan udara itu, dilaporkan terjadi teror Paris pada 13 November 2015, menewaskan sekitar 130 orang. Analis mengatakan saat itu sosok Jihadi John tak muncul, padahal ISIS telah menyatakan mengklaim mendalangi serangan tersebut.

Jihad John muncul dalam video yang diposting online oleh ISIS mulai Agustus 2014, yang menggambarkan pemenggalan wartawan AS Steven Sotloff dan James Foley serta pekerja bantuan AS Peter Kassig, pekerja bantuan Inggris David Haines dan Alan Henning, dan wartawan Jepang Kenji Goto.

Ibunda salah satu korban ISIS, Sotloff, Shirley Sotloff mengatakan ia juga tak mendengar kabar terbaru terkait algojo grup militan tersebut. Tetapi ia menduga Emwazi sudah mati setelah kabar serangan udara Angkatan Darat musim gugur lalu.

"Ini bagus," katanya. "Aku senang bahwa dia mati, tetapi hal itu tak bisa menghidupkan anakku kembali".

Sementara juru bicara keluarga Kassig di Indianapolis, Jodi Perras, mengatakan mereka tidak memiliki komentar terkait Jihad John.

Sosok Psikopat

Jihadi John yang kerap muncul dalam video mengerikan itu biasanya bertopeng dan berpakaian serba hitam. Berbicara dengan aksen Inggris, dimulai dengan kritik terhadap politik Barat.

Para sandera dalam balutan kostum penjara ala jumpsuit berwarna oranye, berlutut di depannya menunggu ajal dijemput sebilah pisau oleh Jihadi John. Algojo itu juga muncul sebagai narator dalam video pemenggalan kepala lainnya, termasuk pembunuhan massal tentara tawanan pemerintah Suriah.

Emwazi diyakini berusia di pertengahan 20 tahun ketika tewas. Sosoknya digambarkan oleh sandera yang dibebaskan, sebagai psikopat yang senang mengancam tawanan dari Barat.

Wartawan Spanyol Javier Espinosa, yang pernah ditawan ISIS di Suriah selama lebih dari 6 bulan setelah penculikannya pada September 2013 juga buka suara terkait sosok Emwazi. Ia menyebut, 

"Para sandera menjuluki tiga penculik Inggris dengan 'The Beatles'. 'Jihad John' sebagai John Lennon," kata Espinosa.

Berdasarkan informasi dari aktivis Suriah yang mengenal keluarga Emwazi, ia diketahui lahir di Kuwait dan menghabiskan sebagian masa kecilnya di daerah miskin bernama Taima di Jahra sebelum pindah ke Inggris. Dia bersekolah di London, kemudian mengemban ilmu komputer di University of Westminster sebelum berangkat ke Suriah pada tahun 2013.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya