Liputan6.com, London - Saat ini kubu pendukung Brexit memimpin perolehan suara dengan jumlah mencapai lebih dari 60 %. Lantas, bagaimana kedudukan Perdana Menteri (PM) Inggris David Cameron, jika negara yang dikepalai Ratu Elizabeth itu benar-benar meninggalkan Uni Eropa (UE)?
Perubahan politik signifikan akan terjadi di Inggris, tepatnya kekacauan. PM Cameron yang sejak awal mendukung kampanye Inggris tetap berada di UE akan menghadapi tuntutan mundur -- memicu kontes kepemimpinan Partai Konservatif dan pemilu di negeri itu.
Akankah Cameron mengundurkan diri dari jabatannya? Ia sendiri pernah mengatakan, akan tetap bertahan di Downing Street 10 -- kantor sekaligus kediaman resmi PM Inggris -- meski tanpa dukungan.
Namun sejumlah pengamat dan anggota Partai Konservatif sendiri menegaskan, sikap Cameron yang menolak referendum Brexit akan menyulitkannya bertahan di jabatannya. Meski demikian, Partai Konservatif disebut memiliki mekanisme untuk memaksanya turun dari posisi PM.
Seperti dikutip, Wall Street Journal, Jumat (24/6/2016), jika PM Cameron memutuskan untuk mundur, maka kemungkinan ia akan mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Ketua Partai Konservatif. Sementara sebagai kepala pemerintahan, ia baru akan lengser setelah menemukan penggantinya.
Pandangan alternatif lain menyebutkan bahwa Cameron dapat bertahan sementara di kursi PM, menikmati 'penghormatan' dari warga pendukung Brexit atas referendum yang diselenggarakan di bawah pemerintahannya. Hal serupa diungkapkan oleh mereka yang pro-Brexit, Tony Rebel dan Andrew Bridgen.
"Akankah menarik bila PM Cameron mengundurkan diri pagi ini? Saya pikir tidak. Biarkan semua ketidakpastian ini sejenak. Saya pikir kita bisa memberikan sedikit waktu bagi PM Cameron untuk bernapas," ujar Bridgen kepada BBC Radio seperti dilansir The Guardian.
Hal pertama yang akan dilakukan Partai Konservatif jika Cameron mundur, adalah anggota parlemen Konservatif akan mengajukan calon pemimpin baru partai itu. Proses ini akan memakan waktu selama beberapa bulan. Namun belum dapat dipastikan bahwa lengsernya PM Inggris itu akan memicu pemilu.
Saat ini hukum di Inggris menyebutkan bahwa pemilu akan digelar setiap lima tahun sekali. Aturan hukum ini memiliki dua pengecualian.
Pertama, jika mayoritas anggota parlemen mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap pemerintahan, maka pemerintah baru dapat dibentuk dalam waktu 14 hari. Kedua, jika dua per tiga anggota DPR Inggris mengajukan gerakan yang mendukung pelaksanaan pemilu lebih awal. Â
Sebaliknya, apa yang akan terjadi jika Inggris tetap bertahan di UE. Cameron juga tetap akan menghadapi pilihan sulit antara melakukan rekonsiliasi dengan mereka yang pro-Brexit atau justru menghukum mereka.
Jika Brexit Terjadi, Bagaimana Nasib PM David Cameron?
Bayang-bayang Brexit semakin nyata, menyusul unggulnya perolehan suara dari kelompok yang mendukung perceraian Inggris dari UE itu.
diperbarui 24 Jun 2016, 12:13 WIBDiterbitkan 24 Jun 2016, 12:13 WIB
Advertisement
Live Streaming
Powered by
POPULER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
Negara ASEAN yang Tidak Memiliki Laut Adalah Laos: Fakta Unik dan Menarik
Cuaca Besok Minggu 17 November 2024: Jabodetabek Pagi Hari Seluruhnya Berawan Tebal
Hasil Final Four Livoli Divisi Utama 2024: Petrokimia Gresik Hajar Bank Jatim
Hampir 40 Tahun Terpisah, Kakak-Beradik Korea Bertemu Kembali Berkat Tes DNA
Waktu Sholat Palembang Hari Ini Sabtu 16 November 2024, Lengkap Niat Sholatnya
Top 3: Harga Emas Diramal Terus Anjlok, Sampai Berapa?
Pekerja Jarak Jauh Wajib Tahu! Perangkat Kecil Ini Bisa Jadi Pintu Masuk Malware
Orangtua Wajib Tahu, Komplikasi Gondongan dan Penyakit Infeksi Lain Bisa Picu Disabilitas Fisik
Mudik Saat Pilkada? KAI Daop 9 Jember Beri Diskon 10 Persen Tiket KA
Football Manager 2024 Prediksi 4 Pemain Baru Manchester United Pilihan Ruben Amorim, Siapa Saja?
Film Anime Kompilasi Finale Attack on Titan Debut, Langsung Bertengger di Puncak Box Office Jepang
Dompet Dhuafa Ajak Anak Muda Banda Kembangkan Daerah Sinergi dengan Pemerintah