Para Perempuan CIA: Kisah Rahasia dalam Sejarah Mata-Mata AS

Masih sedikit kaum hawa yang memegang tampuk level eksekutif di CIA, bahkan sebagai mata-mata tak bernama.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 05 Okt 2016, 07:45 WIB
Diterbitkan 05 Okt 2016, 07:45 WIB
Ilustrasi CIA
Ilustrasi Badan Intelijen CIA

Liputan6.com, Virginia - Ada banyak perempuan di Dinas Intelijen AS atau CIA, lebih banyak dari yang diperkirakan. Mereka ada di setiap lantai gedung di Langley, Virginia. Namun, masih sedikit kaum hawa yang memegang tampuk level eksekutif, bahkan sebagai mata-mata tak bernama.

"Anak laki-laki pertamaku adalah bayi yang lahir kala bom World Trade Center pada 1993," kata Gina Bennett, veteran analisis CIA yang menghabiskan kariernya mencari pelaku di balik aksi teror modern. Bennett, bercerai dan ibu dari lima anak, yang tiap tanggal lahir dari anak-anaknya itu persis sama dengan apa yang dikerjakan: mencari pelaku teroris.

Anak keduanya ia sebut "bayi Khobar Towers", lahir tak lama setelah bom tahun 1996 di kompleks militer di AS. Sementara itu, anak ketiga, perempuan ia sebut "African embassy bombing baby", sang bayi lahir beberapa minggu sebelum bom menghancurkan Kedutaan AS di Kenya dan Tanzania tahun 1998.

Anak keempat, laki-laki, ia sebut bayi 9/11. Bennett baru semester awal kala serangan teror itu terjadi. Tak peduli dengan morning sickness, "Kebanyakan orang tak tahu aku sedang hamil," kata Bennett, seperti dikutip Liputan6.com dari Newsweek, Rabu (5/10/2016). Dan anak kelimanya, perempuan, ia panggil "Fallujah baby".

Bennett adalah orang pertama kali yang membuat laporan tentang bahaya  Osama bin Laden di awal 1990-an. Bertahun-tahun sebelum 9/11 dan dia adalah satu dari 6 perempuan CIA yang disebut 'band of sisters'. Mereka berhasil mengendus keberadaan Osama. Aksi keenam perempuan itu menjadi inspirasi film Zero Dark Thirty.

Kala itu, Bennett memberi penjelasan kepada Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice menjelang kelahiran dan membawa bayinya ke kantor sehingga ia tetap bekerja selama krisis berlangsung.

Setelah bom Kedutaan AS di Afrika terjadi, bos Bennett yang ternyata suka dengan bayi "menculik" anak perempuannya yang saat itu masih berusia 3 minggu sementara Bennett bekerja.

Baru beberapa minggu kemudian, Bennett sadar bahwa saat "diculik" sang bayi berada di ruangan Direktur CIA yang tengah rapat membicarakan perintah Presiden Bill Clinton untuk mengebom Afghanistan.

kantor Pusat Central Intelligence Agency (CIA). (sumber: Pinterest)

Perempuan menjadi pusat perhatian di mata-mata AS semenjak tahun 1776. Mereka terus memegang peran penting di Perang Dunia II.

Selain Bennett, ada Maja Lehnus, Wakil Kepala Keuangan CIA yang telah menikah 29 tahun, memiliki dua anak dan perempuan pertama yang memegang enam jabatan penting di biro.

Julia Child, yang terkenal sebagai koki masakan Prancis yang melegenda, mengawali kariernya sebagai mata-mata di Office of Strategis Service, cikal bakal CIA.

Hingga hari ini, ada 45 persen perempuan di CIA, 34 persennya menjabat jabatan tinggi. Kendati demikian, angka itu naik turun dan pekerja perempuan CIA jarang mencapai jabatan tertinggi. Paling tinggi adalah "deputy".

"Saya kerap kali kesal dengan 'deputisasi' perempuan. Jadi wakil adalah hal paling buruk. Anda cuma membawa visi orang lain. Jabatan tinggi bukan sekedar hambatan kaca, tapi sudah jadi hambatan tembok," kata Bennett.

Perkara itu terlihat dari tembok bintang penghargaan bagi agen yang meninggal. Dari 117 bintang, 11 di antaranya agen perempuan.

Salah satunya adalah mendiang Jeniffer Matthews, ahli Al Qaeda yang tewas pada 2009 ketika agen ganda dari Yordania meledakkan dirinya di markas CIA di Khost, Afghanistan. Selain, Matthews, ada enam agen CIA lainnya yang tewas.

Kematian Matthews membawa debat tersendiri. Karena selain ia komandan lapangan, ternyata ia memiliki keluarga.

"Ada banyak orang mengkritik Matthews karena ia memiliki tiga anak di rumah. Namun, jika itu terjadi pada agen pria, tak satupun yang protes. Itu hal paling rendah yang dinilai dari agen perempuan. Kami sadar orang masih menilai seksisme hal itu, bahkan di organisasi kami," jelas Bennett.

Permasalahannya, jika ingin naik pangkat, tak peduli dia perempuan (punya anak atau tidak), wajib jadi agen di lapangan.

Nice Try, Abby...

Ada mitos seksi bagaimana orang bergabung dengan CIA, seperti telepon misterius, tepukan di pundak, dan orang asing tiba-tiba mengatakan telah memperhatikan Anda selama bertahun-tahun.

Namun, inilah kenyataannya.

Seorang perempuan bernama Abby melihat tanda di kampus. "Tertulis, ada biro di sini untuk mewawancarai. Tolong letakkan resume Anda di keranjang ini," kata Abby. Di sampingnya ada tulisan, "wawancara dengan Departemen Luar Negeri."

Abby adalah keturunan Asia Selatan yang mendapat naturalisasi jadi warga negara AS dan empat tahun kemudian bergabung di CIA. Sebagai warga keturunan, tugasnya paling banter jadi penerjemah dan ahli bahasa. Padahal, Abby lulusan program latihan operasi rahasia atau dikenal dengan Farm.

"Linguist sangat penting, tapi Anda tak bisa jadi jabatan lebih tinggi lagi," terang Abby. Kerap kali Abby meminta tugas selain pekerjaannya sebagai ahli bahasa. Namun, selalu dijawab, 'nice try, Abby,... tapi kami memilih Julia untuk pekerjaan ini."

Bagi para perempuan di CIA, mereka merasa perannya penting namun pengorbanan juga besar. Abby memutuskan untuk tetap single, sementara Bennett bercerai.

Untung saja, Bennett bukan agen rahasia. Jadi ia dengan terbuka mengatakan pekerjaannya.

Gina Bennett (Huffington Post)

Anak-anak mereka tahunya sang ibu bekerja mencari penjahat.

Pun demikian, banyak momen-momen pertumbuhan yang terlewati oleh Bennett.

"Aku baru membuat foto album anak laki-laki pertamaku saat dia di usia 18 tahun. Aku ingin menangis, merasa semua terlambat," kenang Bennett.

"Namun, anak pertamaku menjawab, 'Itu bukan yang aku ingat, yang aku ingat Ibu selalu hadir di acara pertandingan basket di mana aku ingin Ibu datang.' Seperti ada rasa kehilangan. Tapi sebagai perempuan aku harus merelakan itu semua," lanjut Bennett lagi.

Namun, ketika anak-anak Bennett semakin dewasa, mereka membaca buku sang ibu, National Security Mom: Lessons for America. Dari buku itu, mereka belajar banyak tentang sang ibu dan para agen perempuan lainnya.

"Anak bungsuku, 11 tahun, menjadikan buku itu sebagai bedah buku di sekolahnya," ujar Bennett.

"Ia berpikir ibunya keren dan aku mendapatkan pekerjaan terbaik di dunia," ujar Bennett.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya