Liputan6.com, Jakarta - Pada Rabu 19 Oktober 2016 pukul 07.25 WIB, gempa dengan kekuatan 6,5 skala Richter mengguncang pantai utara Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Meski pusat gempa berada di Laut Jawa pada kedalaman 120 km dan kedalaman 654 km, lindu lemah dan mengayun bisa dirasakan selama 5 hingga 8 detik. Warga Jakarta yang tinggal di gedung bertingkat dan apartemen merasakan guncangan yang lebih kuat.
"Jabodetabek termasuk daerah rawan gempa yang sumbernya bukan di wilayah itu tetapi dari daerah sekitarnya," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho.
Untuk itulah, dia menambahkan, bangunan-bangunan tinggi harus dibangun dengan konstruksi tahan gempa. "Bukan hanya bangunan yang perlu disiapkan tetapi manusianya juga harus disiapkan agar siap menghadapi gempa yang dapat terjadi kapan saja."
Peringatan Sutopo punya dasar kuat. Wilayah Indonesia berada di lingkaran 'cincin api Pasifik' atau Pacific Ring of Fire dan daerah kedua yang paling aktif di dunia -- sabuk Alpide.
Terjepit di antara 2 wilayah kegempaan berarti, Tanah Air menjadi lokasi sejumlah letusan gunung berapi dan gempa terdahsyat yang pernah terjadi di muka Bumi. Dan, ibu kota Jakarta tak steril dari bencana.
Baca Juga
Encyclopedia of World Geography mencatat, Jakarta, seperti halnya mayoritas kota besar di Indonesia, dibangun di atas tanah relatif tak stabil. Meski jauh dari pusat gempa, kota seperti itu rentan goncangan. Tanah yang tak stabil itu membuat rambatan gempa jadi lebih hebat.
Sejumlah catatan sejarah menyebut, Jakarta pada masa lalu pernah 'rata dengan tanah' akibat bencana. Berikut 2 gempa dahsyat yang pernah mengguncang ibu kota.
Advertisement
1. Gempa 1669
Pada 5 Januari 1699, Batavia -- cikal bakal Jakarta diguncang gempa hebat.
"Lindu berlangsung sangat kencang dan kuat, tak pernah hal seperti itu terjadi sebelumnya. Guncangan berlangsung selama tiga perempat jam," seperti dikutip dari makalah Indonesia’s Historical Earthquakes dari Geoscience Australia.
Gempa tersebut merenggut setidaknya 28 nyawa manusia. Sebanyak 21 rumah dan 29 lumbung hancur.
Saat itu, Gunung Salak meletus. Dari puncaknya setinggi dua ribu meter, gunung itu menyemburkan abu dan batu. Ribuan kubik lumpur muncrat. Puluhan ribu pohon tumbang, menyumbat aliran Sungai Ciliwung, membekap kali dan tanggul di Batavia.
Banjir lumpur tak terelakkan. Oud Batavia mendadak menjadi rawa.
Bencana itu dicatat Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java. "Gempa 1699 memuntahkan lumpur dari perut bumi. Lumpur itu menutup aliran sungai, menyebabkan kondisi lingkungan yang tak sehat kian parah.”
Makalah "Historical Evidence for Major Tsunamis in the Java Subduction Zone" dari Asia Research Institute juga menggambarkan kejadian gempa itu. Pada 5 Januari 1699, Batavia mengalami gempa yang tak pernah terjadi sebelumnya, yang tak pernah dibayangkan.
Kala itu, sejumlah guncangan terjadi selama tiga perempat jam hingga satu jam. Juga beberapa hari sesudahnya. Dilaporkan 28 orang tewas, 49 gedung batu nan kokoh hancur, hampir semua rumah mengalami kerusakan.
Apa penyebab terjadinya gempa tak diketahui pasti. Diduga, pusat gempa saat itu ada di selatan Batavia, gempa seismik.
Namun, beberapa orang menghubung-hubungkannya dengan letusan Gunung Salak. Hingga saat ini apa penyebab pasti gempa kala itu masih jadi misteri.
Advertisement
2. Gempa 1834
Malam itu, 10 Oktober 1834, tanah beberapa kali bergetar di wilayah Batavia (Jakarta), Banten, Karawang, Buitenzorg (Bogor), dan Priangan.
Pagi harinya, giliran guncangan dahsyat terjadi. Saking kuatnya, getaran bahkan dirasakan hingga Tegal, Jawa Tengah dan Lampung di Sumatera.
Gempa tersebut merusak sejumlah rumah dan bangunan kokoh berdinding batu, termasuk sebuah istana di Weltevreden. Paleis van Daendels/Het Groot Huis, nama bangunan itu, kini menjadi Gedung Kementerian Keuangan RI.
Sejumlah gudang dan rumah juga rata dengan tanah, pun dengan bangunan berdinding batu di Cilangkap yang rusak sebagian.
"Guncangan tersebut diyakini sebagai gempa paling parah yang menimpa wilayah tersebut. Kepanikan meluas di Batavia, namun tak ada korban yang dilaporkan jatuh," seperti dikutip dari makalah Indonesia’s Historical Earthquakes dari Geoscience Australia.
Sementara itu di Bogor, sebagian besar Buitenzorg Palace atau Istana Bogor runtuh. "Termasuk bagian utara bangunan utama. Pun dengan tembok luar sayap timur."