Liputan6.com, Tokyo - Jika ingin menyaksikan kekuatan pasukan bersenjata Jepang di masa lalu, datanglah ke Matsumoto Castle. Benteng Gagak, begitu biasa orang-orang menyebutnya.
Penamaan itu merujuk kepada cat serba hitam bangunan, mirip warna burung bersuara parau tersebut.
Baca Juga
5 Pernyataan Erick Thohir, Minta Maaf Timnas Indonesia Kalah dari Jepang dan Harap Menang Lawan Arab Saudi
Jepang Berencana Pakai Trem Otonom Buatan China untuk Angkut Wisatawan ke Kaki Gunung Fuji
Turis Amerika Iseng Garuk Nama di Gerbang Kuil Jepang, Berujung Ditangkap Polisi dan Repotkan Kedutaan Besar
Terletak di kota Matsumoto, Prefektur Nagano, bangunan yang dikeliling kolam berair jenih itu menyimpan siasat pertahanan para pengusa di era shogun masih berkuasa di Negeri Matahari Terbit. Tak hanya kokoh di atas fondasi batu-batu pilihan, bangunan menjulang ini bak senjata mematikan bagi musuh yang nekat mendekat.
Advertisement
"Bangunan ini bukanlah tempat tinggal, tapi benteng yang digunakan untuk menangkal serangan musuh," ujar Bunsai Sato, Sekjen Asosiasi Pariwisata Hakuba Goryu, yang menemani Liputan6.com bersama wartawan-wartawan serta 10 atlet Indonesia saat menyambangi Matsumoto Castle di Prefektur Nagano, Tokyo, Jepang akhir Januari lalu.
Perjalanan ini merupakan bagian dari program pertukaran pemuda JENESYS 2016 edisi kelima, yang digagas oleh Japan International Cooperation Center (JICE) dan pemerintah Jepang.
Sato menambahkan, Matsumoto Castle merupakan benteng tertua yang masih tersisa di Jepang. Usianya sudah 400 tahun dan menjadi cagar budaya bagi Negeri Sakura tersebut.
"Jendela kecil yang terlihat itu dulunya tempat senapan pengintai musuh," kata Sato sembari menunjuk lubang kecil di sisi menara utama.
Sejarah Benteng Matsumoto
Sejarahnya, Matsumoto Castle berawal dari Fukashi Castle yang dibangun di awal Eisho Era. Masa di mana perang saudara melanda Jepang. Era tuan tanah saling serang demi teritori yang lebih luas.
Kisah bermula saat bangsawan Ogasawara di Shinano merasa tidak aman dan memindahkan rumah utamanya dari Igawa ke distrik Hayashi di kaki gunung sebelah barat. Saat itu pusat dari kawasan Matsumoto masih dikenal dengan sebutan Shinano Fuchu.
Ogasawara kemudian membangun Benteng Hayashi dan menempatkan rumah utamanya tak jauh dari sana. Masih merasa belum aman, bangsawan Ogasawara, di saat hampir bersamaan kemudian membangun Fukashi Castle tepat di depannya.
Bertahun-tahun keluarga Ogasawara berdiam di sana, sampai akhirnya terusir saat Takeda Shingen dari Kai berusaha melebarkan pengaruhnya di Shinano.
Shingen atau Tiger Kai juga bangsawan. Namun dia punya pasukan bersenjata bersenjata yang tangguh dan telah memenangkan sejumlah pertempuran di seantero Jepang.
Sepuluh tahun setelah Tensho Era (1582), Sadayoshi Ogasawara, berhasil merebut kembali Fukashi Castle. Dia memanfaatkan lengahnya penjagaan di benteng tersebut pascakudeta yang dilakukan jenderal samurai Akechi Mitsuhide terhadap majikannya, Oda Nobunaga di kuil Hanno-ji, 1582. Nobunaga yang berambisi mempersatukan Jepang di bawah kekuasaannya dipaksa bunuh diri.
Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai insiden Hannoji. Setelah merebut kembali Fukashi Castle, keturunan Ogasawara lalu mengubah namanya menjadi Matsumoto Castle.
Penguasa kembali berganti. Begitu juga dengan penghuni Matsumoto Castle. Penerus Ogasawara, Hidemasa yang menjadi pengikut Ieyasu Tokugawa di era kekuasaan Hideyoshi Toyotomi kemudian ikut pindah ke Kanto. Dia lalu menyerahkan Matsumoto Castle kepada tuan tanah Kazumasa Ishikawa. Kasumasa bersama anaknya, Yasunaga kemudian menata benteng itu dan kotanya.
Sejumlah bangunan baru didirikan untuk menambah kekuatan benteng Matsumoto. Selain tiga menara, yakni tenshu (menara utama), Inui-kotenshu (menara kecil di sebelah barat daya), watari-yagura (rangka penghubung), Yasunaga juga membangun goten (perumahan), taikomon (menara sinyal), kuromon (gerbang batu), yagura (panggung), dan hori atau parit pelindung.
Dia juga membuat honmaru (sayap utama), ninomaru (sayap sayap kedua), tempat berkumpul para pejuang, sannomaru (sayap ketiga), hingga berbagai infrastruktur di kota. Diperkirakan seluruhnya dibangun tahun kedua sampai ketiga dia berkuasa (1593-1594).
Nyaris Punah
Pada era restorasi Meiji, Benteng Matsumoto sempat nyaris rata dengan tanah. Pasalnya, pemerintahan yang sudah dipengaruhi budaya asing berusaha menghapus jejak ke-shogunan dan mengubah Jepang ke arah yang lebih modern.
Adalah Ryozo Ichikawa dan beberapa warga Matsumoto yang berjuang mati-matian untuk melindungi benteng tersebut. Mereka berusaha meyakinkan pemerintah agar tidak menjual bangunan utama (tenshu) yang masih tersisa untuk lokasi perbelanjaan. Upaya ini membuahkan hasil, dan pemerintah kota akhirnya mengakuisisi pengelolaan benteng itu.
Berpuluh tahun kemudian, seorang kepala sekolah di Matsumuto berinisiatif membangun kembali benteng tersebut. Dia kemudian mengumpulkan dana dari masyarakat setempat.
Satu per satu bagian benteng yang sempat hancur didirikan lagi dan terus berlanjut hingga tahun 2002. Benteng ini sempat rusak akibat gempa 5,4 SR yang terjadi pada 30 Juni 2011.
Benteng Mematikan
Matsumoto kini dikelilingi perumahan penduduk. Meski demikian, 'keangkeran' Benteng Gagak masih terasa saat memasuki gerbang batu yang menjadi lapis pertama menuju bangunan inti.
Kuro-Mon, begitu bangunan ini dinamai dalam bahasa Jepang. Batu-batu berukuran besar menjadi fondasi bagi tiang dan atap kayu yang ditopangnya. Sebuah papan berhuruf kanji terpampang di sana.
Meski sudah tidak berfungsi lagi, wibawa Benteng Matsumoto tetap dijaga. Pengunjung yang ingin masuk tidak diperbolehkan menggunakan sepatu. Di depan gerbang utama, masing-masing wisatawan dibekali plastik untuk menyimpannya. Sebagai gantinya pengunjung boleh menggunakan sandal yang disediakan pengelola.
Perjalanan dilakukan satu arah. Memasuki lantai 1, pengunjung akan bertemu dengan pilar-pilar raksasa yang terbuat dari pohon hemlock, cypres, dan pinus. Ruangan ini tampak luas dan dulunya digunakan sebagai tempat untuk menyimpan makanan dan senjata.
Memasuki lantai dua, suasana akan terasa lebih terang. Ini disebabkan kehadiran jendela-jendela khusus di bagian timur, barat, dan selatan. Ruangan ini memiliki empat bilik yang dipercaya menjadi tempat samurai berkumpul saat perang mereda.
Di lantai dua menara utama, terdapat koleksi senjata-senjata api yang pernah digunakan pejuang di Matsumoto Castle. Sebagian merupakan sumbangan dari Michishige and Kayoka Akabane dari kota Matsumoto. Saat pemberontakan Shimabara pecah, Jepang juga mendapat bantuan senjata api dari Belanda. Sebagian koleksinya ditempatkan di Matsumoto Castle.
Beragam senjata dipajang di lokasi ini. Mulai laras panjang hingga pendek. Meriam dengan ukuran kecil juga terdapat di sana.
Suasana berubah drastis saat memasuki lantai ketiga. Tempat ini terasa lebih gelap. Dulunya, tidak ada cahaya yang masuk. Ruangan sengaja dibuat gelap agar tidak terlihat musuh dari luar. Saat perang, para pejuang atau samurai penjaga ditempatkan di sini.
Menariknya, sebagian atap pada beberapa lantai di Matsumoto Castle sengaja dibuat rendah. Tujuannya agar musuh yang berhasil masuk sulit menggunakan pedang atau katana yang panjang.
"Tangga-tangga di sini juga sengaja dibuat jarang-jarang dan curam, agar musuh-musuh dengan kaki yang pendek tidak bisa naik," kata Sato menjelaskan kepada para rombongan.
Matsumoto Castle juga dilengkapi dengan ishiotoshi, bagian lantai yang bisa dibuka untuk menjatuhkan batu. Ini digunakan untuk menghalau musuh yang berusaha memanjat tembok.
Selain itu, masih ada 25 yazama, atau lubang di dinding yang bisa dibuka-tutup. Fungsinya sebagai tempat untuk melepaskan anak panah dan menembakkan senjata api. Lubang-lubang rahasia ini tersebar di bagian-bagian pendukung hingga menara utama.
Sementara itu, menara pengintai atau tenshu terletak di lantai 6. Atapnya berbentuk kurva atau akrab disebut dengan teknik igeta-bari. Tulisan dewa Nijoruku-ya-shin yang dipercaya sebagai penjaga Matsumoto Castle tampak menghiasi bagian tengah atap tersebut.
Namun saat ini, dari menara pengintai maupun yazama, pemandangan bukan lagi memperlihatkan posisi musuh yang ingin menyerang. Objek pengintaian kini berganti dengan kota matsumoto yang indah dengan latar belakang pegunungan Alps Utara.
Advertisement
Kutukan Aktivis Petani?
Selain kisah-kisah pertempuran, perjalanan Matsumoto Castle, juga diselimuti cerita kutukan Tada Kasuke, petani yang mati saat memperjuangkan keringanan pajak.
Pada tahun 1630-an, Keisuke dan ribuan petani di Matsumoto keberatan dengan kenaikan pajak yang ditetapkan oleh para shogun. Mereka lalu melakukan protes dengan aksi damai melalui surat.
Saat keinginan mereka tidak digubris, Kasuke dan ribuan petani mengepung Matsumoto Castle. Desakan ini membuat lima petinggi shogun meneyetujui untuk mengurangi beban pajak petani. Ini merupakan akhir yang damai untuk sebuah pemberontakan petani.
Namun sebulan kemudian, Kasuke ditangkap bersama pengikutnya. Dokumen pengurangan pajak yang telah ditandatangani kemudian disita.
Bersama 20 petani lainnya, Kesuke pun dihukum mati tanpa proses pengandilan. Saat dieksekusi, kata-kata terakhir Kasuke tetaplah seruan untuk menurunkan pajak.
Aksi ini membawa dampak bagi masyarakat yang menyaksikan hukuman mati itu.
Di awal restorasi Meiji, Matsumoto Castle tampak miring ke satu sisi. Banyak yang menganggap hal itu disebabkan oleh kutukan Kasuke kepada penguasa benteng.
"Kami tidak pernah mendengar cerita seperti itu. Yang kami tahu, ini merupakan benteng bersejarah yang berusia ratusan tahun," kata Sato menanggapi cerita rakyat itu.
Sebagai tempat wisata, Matsumoto Castle sangat banyak dikunjungi turis baik lokal maupun manca negara. Benteng ini satu dari sederet lokasi menarik yang terdapat di prefektur Nagano. Tiket masuk bagi wisatawan dipatok 550 yen atau setara Rp 65 ribu.