Liputan6.com, London - Penumpang Kapal Titanic yang megah dan konon tak bisa tenggelam itu dibagi menjadi tiga kelas. Tak hanya berdasarkan harga tiket, jumlah kekayaan dan kelas sosial jadi faktor penentu utama.
Kelas pertama ditempati mereka yang tajir: kaum darah biru, pengusaha, politisi, petinggi militer, industrialis, bankir, artis ternama, sosialita, dan para atlet profesional -- yang menikmati fasilitas mewah termasuk restoran kelas atas dan kabin setara suite hotel berbintang.
Advertisement
Advertisement
Kelas dua ditempati kelas menengah. Ada dosen, penulis, pendeta, dan wisatawan. Sementara, kelas geladak disesaki para imigran yang hendak mengadu nasib ke Amerika Serikat atau Kanada.
Sebanyak 1.512 awak dan penumpang tewas setelah Titanic menabrak gunung es dan tenggelam di Laut Atlantik yang beku pada Minggu 14 April 1912.
Baca Juga
Seperti dikutip dari Daily Mail, Senin (27/2/2017), siapa sangka, status sosial tak hanya berlaku ketika mereka berada di dalam Titanic. Tapi hingga nyawa tak lagi dikandung badan.Â
Baru-baru ini terkuak, jasad penumpang kelas tiga yang berhasil dievakuasi dilemparkan kembali ke lautan oleh tim penyelamat. Tujuannya, untuk memberikan ruang bagi jenazah penumpang kelas satu dan dua.
Fakta mengejutkan tersebut terkuak dari koleksi telegram, hasil korespondensi kapal evakuasi Mackay-Bennett dan White Star Line -- perusahaan pelayaran yang mengoperasikan Titanic.
Mackay Bennet adalah kapal berbendera Kanada yang dikontrak pihak pemilik Titanic, White Star Line seharga 300 poundsterling per hari untuk mengangkat jasad para korban. Sementara Kapal Carpathia berhasil menyelamatkan lebih dari 700 korban selamat dari sekoci-sekoci.
Dalam sebuah telegram, awak Mackay-Bennett mengaku kewalahan dengan jumlah jasad korban Titanic dan hanya memiliki ruang terbatas di kapal mereka. Alasan lain, perlengkapan pengawetan jenazah terbatas.
Sang Kapten, Frederick Larnder kemudian memutuskan untuk memprioritaskan jasad penumpang kelas satu dan kelas dua -- yang dibalsem dan dikembalikan ke keluarga mereka yang berduka.
Karenanya, jasad-jasad penumpang kelas tiga diceburkan ke lautan beku Atlantik Utara.
Pun dengan jasad para awak Titanic. Bedanya, bukan lagi pertimbangan kelas yang diambil. Sudah jadi tradisi maritim bahwa para perwira dan kelasi yang tewas dimakamkan di laut lepas.
Pakaian dan Harta Jadi Penentu
Dari 334 jasad yang ada di Mackay-Bennett, 116 di antaranya dikembalikan ke lautan.
Bagaimana cara menentukan mana penumpang kelas satu, dua, atau tiga?
Jasad-jasad tersebut dipisahkan berdasarkan pakaian dan barang-barang pribadi yang masih menempel.
Instruksi Kapten Larnder tersebut bisa terlihat dalam 181 lembar telegram yang akhirnya terkuak lebih dari 100 tahun setelah tragedi Titanic.
Salah satunya berisi pesan yang dikirim ke Kapal Mackay-Bennett dari Pelabuhan Halifax, Kanada di mana jasad-jasad korban dibawa.
"Penting artinya Anda membawa semua jasad, sebanyak mungkin yang bisa dibawa, ke pelabuhan," demikian tertulis dalam telegram.
Tak lama kemudian Mackay-Bennett menjawab, "Pencatatan secara hati-hati telah dilakukan pada semua uang kertas dan barang berharga yang ditemukan pada jasad. Apakah tidak lebih baik untuk menguburkan semua jenazah di dalam laut kecuali ada permintaan khusus dari pihak keluarga?"
Kapten Frederick Larnder kemudian mengirimkan pesan tambahan. "...Kami bisa membawa 70 (jasad) ke pelabuhan jika diminta."
Telegram lain menunjukkan frustasi karyawan White Star Line di darat yang berusaha menangani jasad-jasad korban yang berdatangan. Ada puluhan setiap harinya.
Operasi evakuasi korban Titanic berakhir pada Mei 1912, sebulan setelah tenggelamnya bahtera paling besar dan mewah pada zamannya itu.
Telegram-telegram itu disimpan mantan pegawai Cunard Line, yang merger dengan White Star Line yang goyah pada 1934.
Dokumen-dokumen itu nyaris hilang untuk selamanya sebelum dikumpulkan oleh karyawan tersebut dan diwariskan pada putrinya.
Lembaran-lembaran lawas itu kemudian diserahkan pada sejarawan Titanic, Charles Haas pada 1980.
"Koleksi tersebut memberikan rincian luar biasa tentang bagaimana sulitnya proses yang harus dilalui setelah tenggelamnya Titanic," kata Haas (69). "Menunjukkan tekanan luar biasa yang dirasakan semua orang yang terlibat."
Kapal Mackay-Bennett yang tak seberapa besar mungkin bisa menampung puluhan korban. Namun, 200-300 jasad yang mereka terima sudah di luar batas.
Haas menambahkan, sang kapten menghadapi pilihan sulit. "Keputusannya, mengidentifikasi jasad penumpang kelas satu dan dua untuk dibawa, dan menguburkan sisanya di laut, mungkin adalah cara terbaik untuk menangani situasi yang tak terkendali itu."
Andrew Aldridge, spesialis pelelang barang-barang Titanic berpendapat, telegram-telegram itu tak bisa dinilai dengan kaca mata struktur sosial pada 2017 ini.
"Dunia adalah tempat yang sangat berbeda pada tahun 1912, ketika struktur kelas masih berlaku. Kala itu sudah biasa mengutamakan mereka yang kaya daripada si miskin, hidup atau mati." Itu juga berlaku di Titanic.
Pemakaman massal para korban Titanic dilakukan dari atas Kapal Mackay Bennett terkuak dari sebuah foto yang diambil kru kapal.
Awak melakukan penguburan di laut pada malam hari tanggal 21 April, 22, dan 23 dan kemudian dari sore hari tanggal 24 April -- saat foto diambil. Seorang pemuka agama, Pendeta Hind memimpin upacara pemakaman.
Foto ini menyingkirkan mitos bahwa pemakaman korban Titanic dilakukan secara teratur dan bermartabat," kata juru lelang Andrew Aldridge.
"Anda dapat dengan jelas melihat mayat dalam karung coklat menumpuk di dek, ada 2 sampai 3 tumpukan."
Dalam penjelasannya soal pemakaman, Pendeta Hind menulis, siapapun yang menghadiri pemakaman di laut pasti akan merasakan kesan berbeda dari pemakaman di darat.
Namun kata dia, "Atlantik mungkin ganas, tapi mereka yang dimakamkan di dalamnya akan beristirahat dalam damai."Â
Advertisement