Kisah Pria Gaza Pembuat Topi untuk Kaum Yahudi

Pria asal Gaza, Palestina, telah mengirim 400 topi yang disebut kippah dan 1.000 dasi kupu-kupu kepada kliennya di Israel.

oleh Citra Dewi diperbarui 14 Mar 2017, 18:20 WIB
Diterbitkan 14 Mar 2017, 18:20 WIB
Ilustrasi pria Yahudi
Ilustrasi pria Yahudi

Liputan6.com, Gaza - Meski tak mudah menjalankan bisnis di Gaza, Palestina, seorang penjahit bernama Mohammad Abu Shanad menerima pesanan untuk membuat topi yang dikenakan umat Yahudi, atau dikenal dengan kippah.

Sejak Israel kembali mengimpor pakaian dari Gaza pada 2015, Abu Shanab telah memperpanjang kontrak dagang untuk menjual barang dagangannya ke Israel.

"Kami membuat beragam pakaian dan baru-baru ini membuat penutup kepala yang digunakan oleh rabi Israel dan pendeta Kristen," ujar Shanab yang menyebut bahwa agama bukanlah penghambat.

"Dalam dasar agama kami (Islam), kami meyakini adanya ajaran Kristen dan Yudaisme, kami meyakini Nabi Musa dan Isa, jadi kami tak memiliki masalah meski itu untuk Umat Yahudi dan Kristiani," jelas Shanab seperti dikutip dari Al Arabiya, Selasa (14/3/2017).

Pria berusia 61 tahun itu menambahkan lini produksi baru untuk memenuhi peningkatan permintaan, meski mengekspor barang dari wilayah yang diblokade penuh dengan birokrasi dan membutuhkan biaya tinggi.

Sejauh ini, Shanab telah mengirim 400 kippah dan 1.000 dasi kupu-kupu kepada kliennya di Israel. Pabrik di Gaza juga membuat barang sesuai dengan spesifikasi desain perusahaan Israel yang mengirimkan mereka kain.

Shanab juga mengatakan, dirinya tengah berdiskusi dengan pembeli asal Israel untuk membuat mantel panjang yang digunakan oleh penganut Yahudi Ultra Ortodoks.

Sebelum Hamas mengambil alih Gaza pada 2007, sektor tekstil di Gaza merupakan salah satu yang terbesar, dengan lebih dari 900 pabrik yang mempekerjakan sekitar 40.000 orang.

Namun 10 tahun lalu, Israel dan Mesir telah memberlakukan blokade di Gaza dan dua juta warganya. Menurut PBB, akibat hal tersebut angka pengangguran mencapai 43 persen dan 80 persen warga bergantung pada bantuan.

"Sebelum (2007) saya biasanya mempekerjakan 70 orang, namun setelahnya hanya 10 hingga 15," ujar pemilik pabrik lain, Hassan Shehada.

"Saat ini saya memiliki 50 pekerja dan jumlahnya dapat meningkat hingga 100." ujar Shehada.

Meski demikian, Shehada mengatakan bahwa kliennya di Israel masih memiliki rasa ketakutan untuk berdagang dengan produsen di Gaza karena khawatir peperangan akan meletus sehingga menyebabkan jalur transportasi ditutup dan menimbulkan kerugian keuangan.

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya