Baju Koko Dipakai dalam Acara Islam di Indonesia, Aslinya dari Mana?

Asal-usul baju koko ternyata bukan dari Arab, melainkan dari tradisi Tionghoa yang kemudian diadaptasi Muslim Indonesia.

oleh Andre Kurniawan Kristi Diperbarui 11 Apr 2025, 09:33 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2025, 09:33 WIB
Dennis Lim
Pendakwah Dennis Lim saat berkolaborasi dengan salah satu brand baju koko. (IST)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Baju koko sering kali dianggap sebagai simbol keislaman di Indonesia. Busana ini banyak dikenakan oleh pria Muslim, terutama saat menjalankan ibadah, menghadiri acara keagamaan, hingga merayakan momen hari raya. Penampilannya yang sederhana, sopan, dan nyaman membuat baju koko identik dengan identitas religius kaum pria Muslim Indonesia.

Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa baju koko sebenarnya bukan berasal dari Arab atau budaya Islam Timur Tengah. Dalam sejarahnya, busana ini justru lahir dari tradisi pakaian masyarakat Tionghoa, yang kemudian mengalami proses akulturasi budaya hingga menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Muslim Indonesia. Perjalanan sejarah inilah yang menarik untuk ditelusuri.

Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya Islam yang Disalahpahami, baju koko yang kini dianggap sebagai baju Muslim pria sejatinya adalah modifikasi dari baju pria Tionghoa yang tanpa kerah. Dalam perkembangannya, baju ini memang mengalami pergeseran makna dan fungsi.

 

Asal-usul Nama dan Bentuk Baju Koko

Istilah "baju koko" diyakini berasal dari penyebutan khas masyarakat Indonesia terhadap baju yang dikenakan oleh “engkoh-engkoh” — panggilan akrab untuk pria Tionghoa. Baju ini awalnya disebut “tui-khim” dalam dialek Hokkian, yaitu sejenis kemeja dengan lima kancing di bagian depan dan tanpa kerah, biasanya dipadukan dengan celana longgar atau celana komprang.

Seiring waktu, masyarakat Betawi mulai mengenakan busana ini dalam kehidupan sehari-hari. Gaya berpakaian ini kemudian diadopsi oleh komunitas Muslim, terutama karena kesesuaian modelnya yang tertutup dan sopan. JJ Rizal, seorang sejarawan, menyebut bahwa “baju koko” merupakan hasil pelafalan yang berubah dari istilah “baju engkoh-engkoh” ke “koko”, dan akhirnya menjadi nama yang kita kenal sekarang.

David Kwa, seorang pengamat budaya Tionghoa, mengungkapkan bahwa baju tui-khim kerap dikenakan pria Tionghoa di Indonesia hingga awal abad ke-20. Bahkan saat Dinasti Cheng runtuh dan organisasi Tiong Hoa Hwe Koan didirikan pada 1911, penggunaan baju ini mulai berkurang. Namun di kalangan Muslim Indonesia, justru baju ini mulai diadopsi luas.

 

Masuknya Baju Tionghoa ke Lingkungan Muslim

Ketika komunitas Tionghoa mulai menetap di Batavia dan wilayah-wilayah lain di Nusantara untuk berdagang, pakaian khas mereka ikut tersebar. Busana seperti tui-khim dan celana pangsi (phang si) lambat laun mulai dikenakan masyarakat Betawi. G.J. Nawi dalam bukunya Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi menulis bahwa baju ini juga dikenal sebagai "baju sadariah", cikal bakal baju koko yang dikenal sekarang.

Busana yang dulunya hanya dipakai untuk kegiatan sehari-hari ini mulai digunakan oleh tokoh-tokoh agama Islam karena dinilai pantas dan sesuai dengan adab berpakaian Muslim. Selain menutup aurat, bentuk baju ini pun tidak mencolok, sehingga cocok dikenakan dalam kegiatan ibadah dan pengajian.

Emha Ainun Nadjib juga menyebutkan dalam bukunya Hidup Itu Harus Pintar Ngegas Ngerem bahwa kiai selalu memakai baju koko. Baju koko itu sebenarnya baju Tionghoa, lantas diklaim ustaz dan dinamai: baju takwa. Sejak saat itu, identitas baju koko mulai lekat dengan kehidupan religius umat Islam di Indonesia.

 

Baju Koko sebagai Identitas Keislaman

Meski tidak berasal dari ajaran Islam ataupun budaya Arab, baju koko kini identik sebagai simbol keislaman di Indonesia. Hal ini terjadi karena peran besar para kiai dan santri yang mengenakan baju tersebut dalam kegiatan keagamaan. Setelah digunakan para tokoh agama, masyarakat pun mengikuti jejak mereka.

Lambat laun, baju koko tidak hanya menjadi pakaian sehari-hari, tetapi juga dikenakan pada momen-momen penting seperti salat Id, pernikahan, dan acara keagamaan lainnya. Perubahan fungsi ini memperkuat posisi baju koko sebagai bagian dari busana Muslim pria.

Uniknya, di era modern, baju koko bahkan digunakan oleh berbagai kalangan—termasuk yang ironisnya memiliki pandangan anti-Tionghoa. Padahal akar sejarah baju ini justru berasal dari budaya Tionghoa yang dulu sempat dianggap asing.

 

Perkembangan Komersial Baju Koko di Indonesia

Seiring meningkatnya permintaan pasar, baju koko kini menjadi komoditas fesyen yang menguntungkan. Puncak permintaan terjadi menjelang Ramadan dan Idulfitri, ketika masyarakat Muslim berburu pakaian baru untuk merayakan hari besar tersebut.

Bahannya yang ringan dan murah menjadikan baju koko mudah dijahit dan diproduksi secara massal. Modelnya pun berkembang dari versi klasik tanpa kerah hingga model modern dengan variasi bordir, motif batik, hingga bahan linen premium.

Harga baju koko pun cukup terjangkau, menjangkau berbagai lapisan masyarakat, mulai dari kelas bawah hingga menengah. Tidak heran jika baju ini tetap eksis dan terus berinovasi mengikuti tren fashion Muslim pria di Indonesia.

 

Popular Questions (PAA) Seputar Baju Koko

Apakah baju koko berasal dari Arab?

Tidak, baju koko berasal dari budaya Tionghoa, bukan dari Arab.

Kenapa baju koko disebut baju koko?

Karena awalnya disebut “baju engkoh-engkoh” yang kemudian disingkat menjadi “baju koko”.

Siapa yang pertama kali memakai baju koko di kalangan Muslim?

Tokoh-tokoh agama seperti kiai dan santri yang pertama kali mengadopsinya.

Apakah baju koko wajib untuk salat?

Tidak wajib, tetapi baju koko memenuhi syarat kesopanan untuk salat.

Apakah baju koko masih dipakai pria Tionghoa?

Saat ini jarang, karena komunitas Tionghoa telah beralih ke gaya busana modern.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya