Atas Nama Sains Kapal Jepang Tangkap 333 Paus, untuk Dikonsumsi?

Tiga kapal kargo Jepang kembali berlabuh setelah menangkap 333 paus minke dari Samudera Antartika.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 01 Apr 2017, 07:36 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2017, 07:36 WIB
Paus Minke
Paus Minke (NOAA)

Liputan6.com, Shimonoseki - Satu armada yang terdiri dari tiga kapal kargo Jepang pulang berlabuh membawa 333 bangkai paus minke, hasil tangkapan di Samudera Antartika. 

Armada itu terdiri dari satu kapal Nisshin Maru seberat 8,145 ton, satu-satunya kapal penangkap paus di dunia, dan didampingi dua kapal penangkap.

Ketiganya disambut pulang oleh kru pelabuhan Shimonoseki, wilayah komunitas nelayan paus di barat laut Jepang.

Badan Perikanan Jepang mengklaim tangkapan itu sebagai hasil misi selama empat bulan dengan tujuan untuk mempelajari ekosistem di Samudera Antartika. Demikian seperti yang dilansir Telegraph, Jumat, (31/3/2017).

Aktivis menilai bahwa Jepang memanfaatkan celah moratorium Whaling Commission tahun 1986 mengenai penangkapan paus untuk kepentingan komersil.

Pada moratorium itu dijelaskan bahwa penangkapan paus hanya dapat dilakukan untuk kepentingan riset dan akademik. Hasil sampingannya dapat digunakan untuk kepentingan pribadi lembaga riset dan akademik itu.

Aktivis lingkungan mengklaim bahwa misi ilmiah itu hanya kedok untuk menutupi tujuan yang sebenarnya, yakni melakukan tangkapan besar-besaran paus minke guna kepentingan konsumsi.

Paus minke terkenal di sebagai salah bahan makanan eksklusif di Jepang.

"Setiap tahun, Jepang selalu berdalih tangkapan itu untuk tujuan riset dan akademik. Namun, tiap tahun tujuannya tetap sama, untuk kepentingan komersil," ujar Kitty Block, wakil presiden Human Social International. "Itu adalah kekejaman kepada hewan yang mengatasnamakan sains", tambahnya.

Tahun 2016 lalu, Jepang juga melakukan tangkapan paus minke dengan jumlah yang sama. Padahal, pada tahun 2015, operasi itu sempat dihentikan oleh Mahkamah Peradilan Internasional yang menyebut bahwa penangkapan tersebut merupakan bentuk komersialisasi alam.

Negara-negara Uni Eropa dan AS juga mendesak agar Jepang menghentikan misi tersebut -- yang diklaim sebagai bagian dari kebudayaan Negeri Sakura.

 

 

 

 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya