Liputan6.com, Singapura - Setiap tahunnya, Singapura menyelenggarakan National Day Rally atau Rapat Umum Hari Kebangsaan. Acara itu merupakan perayaan nasional yang diselenggarakan pada Minggu kedua Agustus, untuk merayakan kemerdekaan Singapura pada tanggal 9 Agustus.
Sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 1966, acara tersebut selalu ditandai dengan pembacaan pidato kebangsaan yang disampaikan oleh Perdana Menteri Singapura. Pembacaan pidato tersebut setara dengan State of the Union Address yang disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat.
Menjelang hari kemerdekaan Singapura pada 9 Agustus 2017 yang sebentar lagi tiba, Liputan6.com menyegarkan memori pembaca tentang pidato kenegaraan Perdana Menteri Singapura pada National Day Rally 2016.
Advertisement
Pada acara yang diselenggarakan di ITE College Central, PM Singapura Lee Hsien Loong menyampaikan sejumlah topik pada pidato kenegaraannya, seperti isu ekonomi, saintek, edukasi, hubungan internasional, keamanan, infrastruktur, masyarakat multi-ras dan multi-agama, serta pemerintahan. Demikian seperti dilansir dari pmo.gov.sg, halaman elektronik resmi Kantor Perdana Menteri Singapura pada Minggu (23/4/2017)
Pidato PM Lee pada perayaan yang diselenggarakan tanggal 21 Agustus 2016 itu dinilai relevan dengan situasi dan kondisi sosial-politik di Asia Tenggara pada tahun 2017 ini. Khususnya, mengenai persoalan pluralisme dan toleransi pada aspek suku, agama, dan ras.
Purnawirawan jenderal itu membuka topik pidato tentang isu pluralisme dan toleransi suku serta agama dengan menyatakan bahwa Singapura sungguh beruntung menjadi negara dengan keberagaman yang tinggi. Status Singapura sebagai negara dengan yang beragam turut diiringi dengan upaya masyarakatnya untuk menjaga toleransi.
"Di Singapura, sebenarnya kita beruntung karena semua kaum dan kumpulan agama, satu suara mendukung usaha untuk memberantas kekerasan. Mereka bekerjasama untuk memperkukuh keyakinan antara agama. Pemimpin Melayu/Islam secara terang-terangan menolak keras paham kekerasan," kata alumni Cambridge University itu.
Lee juga menyampaikan bahwa, wilayah negara Singapura yang kecil membuat masyarakatnya yang beragam status benar-benar hidup bersandingan dan bersebelahan.
"Masyarakat Islam dan bukan Islam duduk bersebelahan. Mereka menunggu azan untuk berbuka dan menikmati hidangan yang disajikan. Saya yakin Anda juga ada pengalaman yang sama. Ini hanya berlaku di Singapura!", lanjut PM Lee.
"Saya menyambut baik usaha dan niat masyarakat Melayu/Islam kita. Ini akan memberi jaminan bahwa semua guru agama di sini dapat membimbing para pelajar mereka untuk mengamalkan Islam sejajar dengan konteks yang sama dengan masyarakat Singapura lainnya," ujar Lee bangga diikuti tepuk tangan meriah para hadirin.
Menurut ayah 4 anak itu, pluralisme dan toleransi di masyarakat Singapura disebabkan oleh pemerintah yang memberi contoh serupa. Riwayat sejarah menunjukkan, Singapura memiliki PM yang berasal dari status suku, ras dan agama yang berbeda-beda.
"Kita boleh pastikan bahawa semua kaum di Singapura menjadi Presiden dari masa ke masa. Sebab itu, mantan Presiden kita termasuklah Encik Yusof Ishak, Profesor Benjamin Sheares, Encik Devan Nair dan Encik Wee Kim Wee," imbuh pria 65 tahun itu.
Menurut Lee, perjuangan untuk mencapai pluralisme dan toleransi adalah dengan melalui semangat persatuan dan kebangsaan. Perbedaan ras dan agama dapat disetarakan dengan status kebangsaan, yakni bangsa Singapura.
"Hakikatnya, kita hidup bersatu padu walaupun kita tidak serupa. Bak kata pepatah: Kuat lilit kerana simpulnya. Oleh itu, kita perlu terus bekerja keras, bertolak ansur dengan penuh muhibah supaya kita lebih bersatu hati. Kita juga mesti pastikan bahawa semua warga diwakili secara adil di Singapura," tutup PM Singapura ke-3 itu.
Video pidato PM Lee dapat disaksikan pada link berikut: