Liputan6.com, Beijing - Sejumlah kepala negara berkumpul di Beijing, China, untuk menghadiri KTT Belt and Road. Konferensi internasional yang dijadwalkan berlangsung 14-15 Mei itu merupakan bagian dari upaya China untuk menghidupkan kembali Jalur Sutra kuno.
Belt and Road Initiative (BRI) yang dicetuskan oleh Presiden Xi Jinping tersebut bertumpu pada dua komponen, yakni Jalur Sutra Darat (Silk Road Economic Belt) dan Jalur Sutra Maritim (21st Century Maritime Silk Road).
Gagasan Belt and Road telah berjalan selama empat tahun, menjangkau lebih dari 68 negara dan 40 persen dari GDP global. KTT Belt and Road ini berlangsung di tengah kondisi Amerika Serikat yang mengambil pendekatan proteksionisme dan menjauh dari globalisasi.
Advertisement
Baca Juga
Setidaknya 29 kepala negara dikabarkan berpartisipasi dalam KTT Belt and Road, di antaranya adalah Presiden Joko Widodo, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Delegasi kecil dari Korea Utara dikabarkan juga turut bergabung dalam KTT Belt and Road di tengah laporan bahwa negara itu kembali melakukan uji coba rudal.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump diketahui absen dan memutuskan untuk mengirim Matt Pottinger, staf khususnya. Sejumlah pemimpin Eropa juga tidak bergabung dalam hajatan besar Tiongkok tersebut.
Melalui sebuah pernyataan yang dirilis Kamis, AS mengumumkan kesepakatan baru dengan China. Negeri Paman Sam mengatakan, mereka menyadari pentingnya Belt and Road Initiative namun tidak terlibat dalam proyek tersebut atau yang terkait dengan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang dipimpin Tiongkok.
Meski demikian, Presiden AAIB Jin Liqun menyebutkan bahwa AS masih dapat memainkan peran dalam proyek-proyek China, terlepas dari bergabung atau tidaknya Washington dalam kerja sama Belt and Road.
"Pintu terbuka, siapa saja silahkan bergabung," terang Jin seperti dilansir CNN, Minggu (14/5/2017).
China sendiri melihat Belt and Road sebagai inisiatif yang menguntungkan seluruh dunia dan mampu mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan. Namun di mancanegara, gagasan ini menuai berbagai reaksi.
Sejumlah pihak, seperti mantan presiden Kamar Dagang Uni Eropa di China, Jörg Wuttke mengklaim bahwa inisiatif Belt and Road menguntungkan perusahaan Tiongkok.
Sikap skeptis yang sama ditunjukkan India. Menteri Keuangan dan Pertahanan India Arun Jaitley mengatakan, pihaknya memiliki pertimbangan serius mengenai proyek tersebut, terutama tentang pembangunan yang didanai China di wilayah yang dikelola Pakistan di Kashmir.