Liputan6.com, Washington DC - Perbedaan pendapat berlangsung antara dua orang penting di Amerika Serikat: Presiden Donald Trump dan Menteri Luar Negeri Rex Tillerson.
Trump dan Tillerson punya pandangan berbeda terhadap krisis diplomatik Qatar. Negara tersebut tengah "dimusuhi" Arab Saudi cs karena diduga mendanai aksi terorisme.
Trump memilih jalan lebih kontroversial. Ia mengkritik Qatar dengan tajam dan sependapat dengan Saudi bahwa negara itu mendanai terorisme.
Advertisement
“Negara Qatar, sayangnya, punya sejarah jadi penyandang dana untuk terorisme pada tingkat tinggi,” kata Trump seperti dikutip dari VoA Indonesia, Sabtu (10/6/2017).
Komentar Trump datang tak berapa lama usai Tillerson menyerukan negara Teluk harus meringankan sanksi yang diberikan kepada Qatar.
Baca Juga
Tillerson punya alasan kenapa blokade mesti diperingan. Ia melihat tindakan beberapa negara Teluk berimbas pada sisi kemanusiaan.
"Kami melihat mulai ada kekurangan makanan, keluarga terpaksa terpisah dan anak-anak keluar dari sekolah," sebut Tilllerson seperti dikutip dari BBC, Sabtu (10/6/2017).
Ia melihat Emir Qatar sebenarnya punya peran untuk menghentikan pendanaan terorisme. Namun, perannya tidak cukup besar dan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Blokade tersebut pun, dijelaskan Tillerson, cukup berimbas pada negaranya. Termasuk kegiatan bisnis yang dilakukan AS di wilayah Timur Tengah.
"Ini mengganggu aktivitas bisnis kami di kawasan itu dan AS mendukung upaya mediasi yang dilakukan Kuwait," ujar dia.
Krisis diplomatik di Qatar telah memasuki babak baru. Menlu negara itu, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, melihat negaranya diisolasi karena alasan politis.
"Kami diisolasi karena kami sukses dan progresif. Kami adalah platform untuk perdamaian, bukan terorisme...Perselisihan ini mengancam stabilitas seluruh kawasan," ujarnya.
Sheikh Mohammed menambahkan, Qatar belum menerima daftar tuntutan dari negara-negara yang kini memusuhinya. Namun, Menlu Qatar itu menyatakan, konflik harus diselesaikan dengan damai.
"Tidak pernah ada solusi militer atas masalah ini."