Liputan6.com, Doha - Krisis Teluk yang melibatkan Qatar dan Arab Saudi cs belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Pada Kamis waktu setempat, Doha menegaskan tidak siap mengubah kebijakan luar negerinya demi menyelesaikan konflik. Selain itu, mereka juga tidak akan pernah berkompromi atau menyerah atas tekanan sejumlah negara.
"Kami belum siap untuk menyerah dan tidak akan pernah siap untuk menyerah atas kemerdekaan kebijakan luar negeri kami," ujar Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani seperti Liputan6.com kutip dari France24, Jumat (9/6/2017).
"Kami diisolasi karena kami sukses dan progresif. Kami adalah platform untuk perdamaian, bukan terorisme...Perselisihan ini mengancam stabilitas seluruh kawasan," ujarnya.
Advertisement
Sheikh Mohammed menambahkan, Qatar belum menerima daftar tuntutan dari negara-negara yang kini memusuhinya. Namun, Menlu Qatar itu menyatakan, konflik harus diselesaikan dengan damai. "Tidak pernah ada solusi militer atas masalah ini."
Sejak 5 Juni, sejumlah negara seperti Arab Saudi, Bahrain, Mesir, Uni Emirat Arab, Mauritius, Mauritania, Yaman, Libya, dan Maladewa memutuskan hubungan dengan Qatar. Mereka kompak menuding Doha mendukung terorisme dan musuh mereka, Iran.
Bagi Qatar sendiri, tuduhan tersebut tidak masuk akal.
Sheikh Mohammed mengakui, Iran telah menawarkan bantuan untuk mengamankan pasokan makanan ke Qatar. Karena meski tergolong negara kaya, Qatar yang termasuk negara kecil sangat bergantung pada impor.
Satu-satunya perbatasan darat Qatar adalah dengan Saudi dan fakta ini memicu kekhawatiran akan kenaikan harga dan kekurangan pangan. Antrean panjang dilaporkan telah terjadi menyusul stok di sejumlah pusat perbelanjaan mulai habis.
Baca Juga
Di tengah terganggunya pasokan dan kecemasan tentang gejolak ekonomi yang terus meningkat, sejumlah bank dan perusahaan di negara-negara Teluk masih berusaha menjaga hubungan bisnis dengan Qatar.
Tak hanya Teheran, Turki juga berniat membantu Qatar. Negara itu berencana untuk mengirim pasukan dan menyediakan pasokan makanan dan air bagi Qatar, tuan rumah pangkalan militernya. Presiden Recep Tayyip Erdogan menegaskan, mengisolasi Qatar tidak akan menyelesaikan masalah.
Pernyataan keras datang dari Uni Emirat Arab. Seorang pejabat senior UEA menuding Qatar telah meningkatkan ketegangan dengan meminta bantuan ke Iran dan Turki.
"Eskalasi besar dari negara tetangga yang tengah bingung dan permintaan perlindungan politik dari dua negara non-Arab dan perlindungan militer dari salah satu mereka dapat menjadi babak baru yang tragis," demikian kicauan Menteri Luar Negeri UEA Anwar Gargash di media sosial Twitter.
Trump Tawarkan Diri sebagai Juru Damai
Di Benua Amerika, Presiden Donald Trump yang pada awalnya memihak Saudi cs belakangan memilih bersikap "lebih datar". Perubahan ini terjadi setelah pejabat AS memuji Qatar, mengingat negara kecil tersebut merupakan rumah bagi pangkalan militer AS yang berperan dalam perang melawan ISIS.
Dalam pernyataan Gedung Putih, Trump disebut menelepon Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani dan mengajaknya melawan terorisme. Trump pun menyinggung pertemuan di Gedung Putih dapat dilakukan jika itu dibutuhkan.
Presiden AS itu juga menghubungi Pangeran Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahayan. Dalam kesempatan tersebut, ia menyerukan persatuan di antara negara-negara Teluk tanpa mengesampingkan isu-isu ekstremisme dan terorisme.
Saat ini, Qatar dan negara-negara tetangganya yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) tengah mengupayakan diplomasi "antar-jemput". Sejumlah pihak tengah bergerak mencari solusi, Menlu Qatar diketahui berkunjung ke Rusia dan Brussels, sementara raja Bahrain mendatangi sekutunya, Mesir, untuk membahas krisis ini.
Adapun Menlu Oman dikabarkan bertemu dengan penguasa Kuwait Sheikh Sabah Al-Ahmad Al-Jaber Al-Saba untuk membahas konflik ini. Kuwait berdiskusi pula dengan UEA dan Qatar.
Duta Besar Qatar untuk AS Meshal Hamad al-Thani berkicau di Twitter, pilar utama kebijakan luar negeri Doha adalah mediasi.
Entah tertuju ke pihak mana, namun Menteri Luar Negeri Saudi Adel al-Jubeir menekankan, negara-negara Teluk dapat menyelesaikan perselisihan di antara mereka sendiri tanpa bantuan pihak asing.
Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Duta Besar UEA untuk Rusia Omar Saif Ghobash mengatakan, Qatar harus memilih antara mendukung ekstremisme atau mendukung negara-negara tetangganya.
"Kami memiliki rekaman yang menunjukkan mereka (Qatar) berkoordinasi dengan al-Qaeda di Suriah," ujar Dubes Omar.
Qatar selama ini mendukung kelompok Islam yang anti-Barat, seperti Taliban di Afghanistan, Hamas di Palestina, dan Salvation Front di Algeria. Namun, mereka tegas membantah menyokong terorisme.
Negara yang hanya memiliki luas 11.571 kilometer persegi itu menentang pandangan sejumlah tetangganya yang menyebut bahwa setiap kelompok yang berlatar Islam adalah teroris. Emir Qatar menilai pendapat seperti itu merupakan kesalahan besar.
Sheikh Khalid Abdullah al-Khalifa, anggota keluarga penguasa Bahrain yang juga Wakil Perdana Menteri, dalam wawancaranya yang diterbitkan surat kabar Asharq al Awsat menyebut persyaratan yang harus dilakukan Qatar untuk meredam konflik.
"Qatar harus memperbaiki sikapnya dan kembali ke komitmen sebelumnya. Mereka harus menghentikan kampanye melalui media dan menjaga jarak dengan musuh nomor satu kami, Iran," ungkap Sheikh Khalid.
Dampak ekonomi ikut "menyandera" Qatar akibat krisis Teluk. Mata uang negara itu dikabarkan anjlok ke level terendah dalam 11 tahun terakhir.
Advertisement