Presiden Trump Resmi Larang Transgender Jadi Tentara AS

Presiden AS sahkan memo, melarang kaum transgender menjadi anggota militer dan membatasi hak serta kewajiban tentara transgender.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 27 Agu 2017, 13:02 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2017, 13:02 WIB
Trump Larang Transgender Jadi Tentara AS
Pengawas Kota New York Scott Stinger mengemukakan pendapatnya saat demonstrasi di Times Square, Rabu (26/7). Kebijakan kontroversial Donald Trump mengejutkan berbagai pihak, yang mana sebelumnya ia bersumpah memperjuangkan kaum LGBT (AP/Frank Franklin II)

Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi telah menandatangani memorandum kepresidenan yang berisi kebijakan pelarangan merekrut kaum transgender untuk menjadi anggota militer AS.

Memorandum kepresidenan itu juga memerintahkan kementerian terkait untuk berhenti memberikan dana operasi pergantian seksual bagi individu yang telah berdinas di militer AS, terkecuali bagi personel yang --berdasarkan pertimbangan medis-- benar-benar membutuhkan. Demikian seperti dikutip dari Vox, Minggu (25/8/2017).

Presiden Trump memerintahkan Kementerian Pertahanan (menaungi AD, AL, AU, dan Korps Marinir) serta Kementerian Keamanan Dalam Negeri (menaungi US Coast Guards) merumuskan detail dan melaksanakan kebijakan yang terkandung dalam memorandum tersebut. 

Sejumah media di AS memprediksi, kebijakan itu akan efektif berlaku pada awal 2018. Akan tetapi, kebijakan itu masih harus melalui proses peninjauan dari lembaga legislatif dan yudikatif AS, sebelum efektif diberlakukan.

Selain itu, memo kepresidenan tersebut juga memberikan mandat kepada kementerian terkait untuk mempertimbangkan pembatasan penugasan hingga pemecatan para personel transgender yang telah berdinas. Pertimbangan itu didasari atas tingkat kecakapan serta kesiapan bertugas (military readiness) para personel transgender yang telah berdinas.

Berdasarkan keterangan dari Menhan AS James Mattis beberapa pekan lalu, 'military readiness' meliputi kesiapan dan kecakapan untuk berdinas di medan tempur atau tugas lain yang membutuhkan jangka waktu operasi yang panjang, seperti penempatan di dalam kapal perang atau kapal selam.

Maka, jika ada sejumlah personel militer transgender yang tidak memenuhi standar 'military readiness' itu, mereka terancam mengalami pembatasan penugasan hingga pemecatan.

Akan tetapi, memo itu tidak menyebut secara detail terkait kebijakan pembatasan penugasan hingga pemecatan para personel transgender yang telah berdinas tersebut.

Anehnya, memo itu juga nampak menunjukkan bahwa Presiden Trump mungkin terbuka untuk mengubah kebijakan tersebut.

Seperti yang terkandung dalam memo, presiden ke-45 AS itu menyatakan, "Menteri Pertahanan, dan berkonsultasi dengan Menteri Keamanan Dalam Negeri, dapat memberi tahu saya kapan pun, secara tertulis, jika kebijakan ini memerlukan perubahan."

Sementara itu, sejumlah pakar dan pengamat politik menilai bahwa kebijakan yang menuai banyak protes itu akan menghadapi hambatan besar dari lembaga legislatif (baik dari Partai Demokrat serta Republik) maupun yudikatif di AS, sebelum akhirnya dapat diberlakukan.

Menurut data lembaga riset RAND (yang kerap bekerja sama dengan Kemhan AS), pada 2016, diperkirakan ada 2.150 - 10.790 personel militer AS yang berstatus transgender.

Nasib Tentara Transgender di Militer AS

Sebelum Trump menjabat, Presiden Barack Obama pada 2016 telah mensukseskan kebijakan agar para 'kaum transgender dapat berdinas di militer secara terbuka, dan mereka tidak dapat lagi dipecat dari atau disegregasikan dalam militer hanya semata-mata status mereka sebagai seorang transgender'. Demikian seperti yang dikutip dari laman elektronik resmi Kemhan AS.

Namun pada Juli lalu, Donald Trump berbalik sikap. Melalui akun Twitter pribadinya, ia menyatakan rencananya untuk membatasi hingga melarang kaum transgender berdinas di militer AS.

"Setelah berkonsultasi dengan para jenderal dan ahli militer, harap dimaklumi bahwa Pemerintah Amerika Serikat tidak akan menerima atau mengizinkan transgender untuk melayani dalam kapasitas apapun dalam kemiliteran," tulis @realDonaldTrump.

Biaya medis yang mahal dan 'gangguan' yang disebabkan anggota militer yang transgender dijadikan alasan.

Larangan Trump tentu saja ditanggapi emosional oleh para transgender yang bergabung dalam angkatan bersenjata.

"Aku ingin melihat mereka mencoba menendangku keluar dari kesatuanku," kata Sersan Logan Ireland kepada Air Force Times, seperti dikutip dari News.com.au.

"Anda semua tak bisa menyangkal hakku untuk melayani negaraku, selama memenuhi syarat dan mampu, aku ingin mengabdikan hidupku."

Logan yang terlahir sebagai perempuan adalah pilot angkatan udara yang menonjol. Ia juga menikah dengan transgender, Laila Villanueva, yang lahir sebagai pria.

Logan menambahkan, larangan tersebut tak hanya menyakiti komunitas transgender, tapi juga militer.

"Untuk presiden -- yang menyangkal seseorang berbadan sehat, memenuhi syarat, dan punya hak yang setara untuk mengangkat tangan kanan, mengucap sumpah demi melayani negara, rela mengorbankan nyawa demi kemerdekaan -- (ia telah melakukan) ketidakadilan."

 

Simak video menarik berikut ini

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya