Liputan6.com, Beijing - Riwayat Kerajaan Tiongkok diwarnai intrik perebutan kekuasaan dan plot pembunuhan. Namun, apa yang terjadi pada Kaisar Jiajing sungguh tak biasa. Ia nyaris dihabisi para selir.
Kaisar Jiajing adalah penguasa dari Dinasti Ming. Awal berkuasa, ia menjadi tumpuan harapan bagi rakyatnya. Ia menghapus kebijakan rezim sebelumnya yang menindas, pejabat korup disingkirkan, dan pemotongan pajak diberlakukan di daerah yang mengalami bencana alam.
Advertisement
Baca Juga
Akan tetapi, beberapa tahun berkuasa, ia mulai menyimpang. Jiajing yang naik takhta menggantikan sepupunya, Kaisar Zhegde, mempersembahkan ritual dan gelar pada orangtuanya. Demikian seperti dikutip dari Ancient Origins (22/1/2018).
Penghormatan itu sejatinya hanya berhak dimiliki mereka yang masuk garis kekaisaran.
Hal itu memicu konflik dengan para bangsawan istana. Ratusan pejabat dipecat, ditangkap, disiksa, bahkan dibunuh karena menentangnya.
Tak hanya itu. Ambisi Jiajing akan keabadian membutakan matanya. Ia ingin hidup selamanya. Untuk itulah sang kaisar menjelma menjadi penguasa brutal, yang tak sesuai dengan namanya yang berarti "ketenangan yang mengagumkan".
Apa yang disebutnya sebagai "ramuan keabadian" adalah darah menstruasi perawan.
Selama masa pemerintahannya, ia memerintahkan sejumlah gadis muda pilihan, secara bergantian, dibawa ke Kota Terlarang (Forbidden City) untuk "dipanen".
Untuk memastikan tubuh mereka tetap murni, makanan mereka dibatasi. Para perawan hanya boleh mengonsumsi mulberi dan embun atau air hujan. Para dayang istana pun jadi korban praktik itu.
Mereka yang sakit bakal ditendang keluar istana dan dipukuli. Tak sedikit dari mereka yang mati kelaparan gara-gara diet mengerikan itu.
Tak hanya itu, sejumlah gadis muda diambil dari seluruh penjuru negeri untuk dijadikan pelampiasan nafsu. Menjadi selir.
Menurut aturan saat itu, setiap wanita atau selir yang tidur dengan kaisar harus diberi gelar. Namun, Jiajing sering melupakannya. Bibit-bibit kebencian pun menyebar di harem sang kaisar.
Plot Pembunuhan yang Gagal
Pada tahun 1542, kemarahan yang terpendam di dada para selir dan dayang memuncak.
Dengan bantuan sejumlah orang dalam istana, para pelaku menuju paviliun Selir Duan atau Lady Cao. Selir Yang Jinying memimpin komplotan itu.
Setelah teman tidurnya itu keluar diikuti para dayang, Kaisar Jiajing dibiarkan sendirian di kamar.
Saat itulah, para selir penyerang beraksi. Mereka mencoba mencekik sang kaisar dengan pita hiasan rambut.
Upaya itu gagal. Para selir lalu mengambil tirai sutra, memilinnya, lalu mengikatkannya ke leher sang kaisar. Namun, mereka mengikat dengan simpul yang salah sehingga jerat di leher Jiajin longgar, tak maksimal mencekiknya.
Salah satu konspitor pun panik, ia melaporkan upaya pembunuhan tersebut pada Maharani Fang.
Sementara itu, Jiajing melawan sekuat tenaga. Selir Yang lalu menarik tusuk konde perak dari rambutnya dan menikamkannya pada kaisar yang langsung tak sadarkan diri. Saat itulah, sang permaisuri datang disertai para prajurit. Para pelaku diringkus..
Ketika fajar menyingsing, mereka semua dihukum mati dengan kejam, tubuh mereka diiris perlahan. Eksekusi itu dijuluki "kematian oleh seribu luka". Kepala mereka kemudian dipenggal dan dipertontonkan kepada publik sebagai peringatan bagi yang lain.
Tak hanya para pelaku, keluarga mereka pun tidak luput dari hukuman. Bahkan selir Cao Duan yang tidur dengan kaisar malam itu juga dihukum mati.
Fakta bahwa usaha pembunuhan tersebut terjadi di kamarnya memberi alasan kepada sang Ratu untuk menghilangkan saingan potensialnya di istana.
Walaupun Jiajing lolos dari pembunuhan itu, dia kehilangan sebuah matanya. Malu dengan penampilannya dia tidak pernah hadir rapat-rapat kenegaraan. Tidak ada seorang pun dari luar istana dalam boleh melihat wajahnya kecuali Yan Song, si perdana menteri korup kepercayaannya.
Kaisar Jiajing, yang sempat tak sadarkan diri, murka saat mengetahui selir kesayangannya dihukum mati. Apalagi, belakangan terbukti, ia tak terlibat dalam penyerangan. Sang ratu pun diasingkan.
Saat kebakaran menimpa sebagian istana, kaisar menolak menyelamatkan Permaisuri Fang. Ia pun tewas di tengah kobaran api.
Advertisement
Ramuan Keabadian Mematikan
Pasca-upaya pembunuhan, Kaisar Jiajing tak menghentikan aksi brutalnya. Ia tetap berambisi untuk hidup abadi.
Ia kemudian mengeluarkan aturan yang membatasi usia para gadis muda yang boleh masuk ke istana.
Pada 1547, 300 gadis muda berusia antara 11 dan 14 tahun dikirim ke istana untuk dijadikan dayang. Pada 1552, 200 lainnya dipilih jadi pelayan istana, tapi batasan usia diturunkan jadi delapan tahun.
Tiga tahun kemudian, pada 1555, 150 gadis muda di bawah delapan tahun dibawa ke istana. Mereka semua semua bertugas menyediakan bahan baku untuk ramuan keabadian sang kaisar.
Setelah lolos dari upaya pembunuhan, Jiajing mengasingkan diri ke bagian barat Kota Terlarang. Selama dua dekade, ia tak memedulikan roda pemerintahan dan membuat kerajaannya mundur.
Kaisar Jiajing meninggal pada tahun 1567 di usia 59 tahun. Spekulasi menyebut, ia tewas akibat merkuri beracun yang terkandung dalam "ramuan keabadian" yang ia konsumsi selama hidupnya. (Ein)