PBB: Facebook Berkontribusi dalam Aksi Kekerasan pada Rohingya

Oleh PBB, Facebook telah dituding turut berperan dalam peningkatan aksi kekerasan terhadap Muslim Rohingya.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Mar 2018, 06:27 WIB
Diterbitkan 14 Mar 2018, 06:27 WIB
Rohingya
Anak-anak pengungsi Rohingya berdesakan berebut makanan di kamp pengungsi Balukhali, 50 kilometer dari Cox's Bazar, Bangladesh, Rabu (17/1). Bangladesh dan Myanmar sepakat akan memulangkan ratusan ribu pengungsi dalam dua tahun. (AP Photo/Manish Swarup)

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah pakar hak asasi manusia dari PBB menuding jejaring sosial Facebook telah berperan menyebarkan ujaran kebencian terhadap Muslim Rohingya di Myanmar.

Dilansir dari Australia Plus pada Selasa (13/3/2018), tudingan tersebut tidak segera ditanggapi oleh Facebook, meski sebelumnya perusahaan besutan Mark Zuckerberg itu telah berjanji memerangi ujaran kebencian di Myanmar secara konsisten.

Lebih dari 650.000 orang Muslim Rohingya telah meninggalkan negara bagian Rakhine di Myanmar menuju ke Bangladesh sejak sejumlah serangan pemberontak telah memicu tindakan keras dari pihak keamanan Myanmar Agustus lalu.

Banyak yang telah memberikan kesaksian mengerikan tentang eksekusi dan pemerkosaan oleh pasukan keamanan Myanmar.

Ketua Hak Asasi Manusia (HAM) PBB mengatakan pekan lalu bahwa dia sangat mencurigai telah terjadinya tindakan genosida, sementara penasihat keamanan nasional Myanmar menuntut "bukti yang jelas".

Marzuki Darusman, Ketua Misi Pencarian Fakta Independen Internasional mengenai isu Rohingya, mengatakan kepada wartawan bahwa media sosial telah memainkan 'peran yang menentukan' di Myanmar.

"[Media sosial] telah ... secara substansial berkontribusi pada tingkat kesengsaraan dan perbedaan pendapat dan konflik, jika Anda mau, di dalam masyarakat ... ujaran kebencian tentu saja merupakan bagian dari itu," katanya.

 

Simak video tentang upaya nelayan Bangladesh menolong ribuan pengungsi etnis Rohingnya berikut: 

Kritik PBB untuk Facebook

Segera Dipulangkan, Myanmar Bangun Kamp untuk Tampung 30 Ribu Pengungsi Rohingya
Seorang pria Rohingya menggendong anaknya di tenda pengungsian di kamp pengungsi Jamtoly, Bangladesh (15/1). Media Myanmar melaporkan akan ada 625 bangunan yang mampu menampung sekitar 30.000 orang Rohingya. (AP Photo / Manish Swarup)

Sementara itu, penyidik PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee mengatakan Facebook telah menjadi bagian besar dari kehidupan publik, sipil dan pribadi, dan pemerintah Myanmar menggunakannya untuk menyebarkan informasi kepada publik.

"Semuanya dilakukan melalui Facebook di Myanmar," katanya kepada wartawan, seraya menambahkan bahwa Facebook telah membantu negara miskin tersebut, namun juga telah digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian.

"[Facebook] digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan publik tapi kami tahu bahwa umat Buddha ultra-nasionalis memiliki akun-akun Facebook mereka sendiri dan benar-benar menghasut banyak kekerasan dan banyak kebencian terhadap Rohingya atau etnis minoritas lainnya," katanya.

"Saya khawatir Facebook sekarang berubah menjadi binatang buas, dan bukan sebagaimana tujuan awal ketika jejaring sosial itu diciptakan."Biksu nasionalis garis keras yang terkenal di Myanmar, Wirathu, muncul setelah menjalani larangan berkhutbah selama satu tahun pada hari Sabtu (10/3/2018) dan mengatakan bahwa retorika anti-Muslimnya tidak ada hubungannya dengan kekerasan di negara bagian Rakhine.

Facebook menunda dan terkadang menghapus orang-orang yang secara konsisten berbagi konten yang mempromosikan kebencian, kata perusahaan itu bulan lalu sebagai tanggapan atas pertanyaan seputar akun Wirathu.

"Jika seseorang secara konsisten berbagi konten yang mempromosikan kebencian, kami dapat melakukan serangkaian tindakan seperti menangguhkan sementara kemampuan mereka untuk mengungah materi dan, akhirnya, menghapus akun mereka."

 

 

Tersebar Melampaui Myanmar

Rohingya
Anak-anak pengungsi muslim Rohingya menunggu bantuan makanan di kamp pengungsi Thankhali di Distrik Ukhia, Bangladesh, (12/1). Mereka melarikan diri bersama orangtuanya saat konflik pecah di Myanmar. (Munir UZ ZAMAN/AFP)

Pekan lalu, Sri Lanka melarang sejumlah jejaring sosial berbagi pesan termasuk Facebook menyusul terjadinya kekerasan terhadap minoritas Muslim.

Langkah pemerintah Sri Lanka ini bertujuan untuk menghentikan pertumpahan darah menyusul langkah pemberlakuan jam malam oleh polisi setempat telah gagal menghentikan kekerasan komunal yang menghancurkan dan terus berlanjut bahkan setelah Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena mendeklarasikan keadaan darurat selama tujuh hari untuk mengelola situasi tersebut.

Negara di Asia Selatan itu diguncang oleh bentrokan komunal yang terjadi di dataran tinggi tengah negara tersebut menyusul berlangsungnya serangan terhadap umat Islam oleh orang-orang Sinhala yang nasionalis.

Ketegangan komunal ini berkembang di Sri Lanka selama setahun terakhir dimana beberapa kelompok penganut Budha garis keras menuduh kelompok Muslim memaksakan orang untuk masuk Islam dan merusak sejumlah situs arkeologi. Kelompok Muslim telah  menyangkal tuduhan tersebut.

Beberapa kekerasan juga telah dihasut oleh beberapa unggahan di Facebook yang mengancam lebih banyak terjadinya serangan terhadap umat Islam, kata pemerintah Sri Lanka sebelum memblokir Facebook, Viber dan WhatsApp di seluruh negera tersebut selama tiga hari.

Facebook, yang juga memiliki jejaring sosial WhatsApp, mengatakan bahwa pihaknya berupaya untuk mengidentifikasi dan menghapus hasutan kekerasan, dan berhubungan dengan pemerintah dan organisasi swasta.

"Kami memiliki peraturan yang jelas mengenai ucapan kebencian dan hasutan terhadap kekerasan dan bekerja keras untuk mencegahnya dari platform kami," kata jejaring sosial tersebut dalam sebuah pernyataan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya