Liputan6.com, Port Moresby - Tsunami Aceh 2004 yang menewaskan sekitar 230 ribu manusia dan peristiwa serupa di Jepang pada 2011 yang mengakhiri nyawa 16 ribu orang -- selama dua dekade terakhir warga dunia kian akrab dengan efek menghancurkan gelombang gergasi tersebut.
Namun, sejatinya, tak ada yang baru dalam tragedi semacam itu. Sepanjang periode sejarah dan prasejarah di kawasan Pasifik sering diwarnai bencana tsunami.
Advertisement
Baca Juga
Datangnya gelombang raksasa yang memicu kematian massal, pengabaian permukiman di pinggir pantai, pergerakan orang ke pedalaman atau ke atas bukit, hilangnya sumber daya pesisir, melecut peperangan, dan merusak jalur perdagangan.
Kisah dinding air tinggi, yang tanpa ampun menerjang daratan, beredar dari mulut ke mulut, dalam tradisi lisan, yang kemudian kian terlupakan seiring zaman. Padahal, bencana di masa lalu berpotensi terulang entah kapan.
Untuk menguak bencana yang terjadi pada masa lalu, bukti-bukti geologis dan biologis terbukti menjadi petunjuk yang berharga.
Termasuk kisah manusia yang jadi korban tsunami tertua. Sejumlah media massa dunia mengabarkan hasil identifikasi tersebut pada 26 Oktober 2017.
Seperti dikutip dari jurnal imiah online PLoS ONE, sebuah tengkorak manusia ditemukan dalam survei geologi di Papua Nugini utara pada 1929, tepatnya di Paniri Creek, di sepanjang kaki Pegunungan Torricelli, sekitar 12 km dari Sissano Lagoon, di mana tsunami besar melanda pada 1998 yang memicu kematian lebih dari 2.000 orang.
"Kami menemukan bahwa sedimen di mana tengkorak itu ditemukan, terbentuk selama palaeotunami pada zaman Pertengahan Holosen. Tengkorak itu mungkin adalah korban tsunami," demikian paparan para ilmuwan dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat seperti dikutip dari journals.plos.org.
Ahli geologi, Paul Hossfeld, yang menemukan tengkorak itu yakin, sosok empunya adalah bagian dari spesies Homo erectus, nenek moyang manusia yang hidup lebih dari 1 juta tahun lalu.
Namun, penanggalan radiokarbon menunjukkan, usianya 'hanya' 6.000 tahun.
"Sedimen unik yang membungkus Tengkorak Aitape konsisten dengan kondisi yang dilaporkan setelah tsunami di Papua Nugini pada 1998," demikian laporan yang ditulis para ilmuwan James Goff, Mark Golitko, Ethan Cochrane, Darren Curnoe, Shaun Williams, dan John Terrell.
Para ilmuwan menemukan bahwa sedimen lokasi ditemukannya tengkorak, juga mengandung fosil diatom laut dalam. Organisme mikroskopis tersebut merupakan tanda yang menunjukkan, air laut pernah menenggelamkan daerah tersebut di beberapa titik.
"Para peneliti juga menemukan tanda geokimia yang cocok dengan jejak yang mereka kumpulkan pada tahun 1998, yang menjadi bukti tambahan bahwa tsunami telah terjadi sekitar 6.000 tahun yang lalu.
"Temuan itu menunjukkan bahwa tsunami mungkin telah berkontribusi pada mobilitas komunitas dan individu yang lebih dinamis, yang pada akhirnya mengarah pada ikatan sosial yang lebih luas, dan ... penyebaran materi dan gagasan dan praktik baru di Pasifik barat daya selama periode beberapa ribu tahun yang lalu."
Sama seperti yang terjadi pada 1998, tsunami yang menerjang 6.000 tahun lalu juga menghancurkan permukiman di pinggir pantai.Â
Lalu, mengapa hanya tengkorak yang ditemukan, tanpa tulang lainnya? Mungkin, ini yang terjadi: para peneliti mencatat bahwa pada tsunami 1998, banyak korban hanyut ke laguna. Lalu, jasad mereka dimangsa buaya.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
UU Teroris Kontroversial hingga Letusan Merapi
Selain kisah korban tsunami tertua, sejumlah peristiwa bersejarah juga terjadi pada tanggal 26 Oktober.
Pada 2001, Presiden Amerika Serikat George W Bush menandatangani undang-undang USA PATRIOT Act. Melalui undang-undang itu, Amerika Serikat dapat melaksanakan serangkaian aksi penegakan hukum anti-terorisme, sebagai bentuk respons atas Tragedi 11 September 2011.
Setiap huruf pada USA PATRIOT bertuliskan 'Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism'. Demikian seperti dikutip dari History.com, Rabu (25/10/2017).
Presiden Bush berharap, undang-undang itu akan memberdayakan badan penegak hukum dan intelijen Amerika Serikat untuk melakukan pencegahan atas serangan terorisme global yang mungkin akan mengancam Negeri Paman Sam.
Undang-undang tersebut dimaksudkan, dalam kata-kata Bush, untuk, "Meningkatkan hukuman yang akan jatuh pada teroris atau siapapun yang membantu mereka."
Tindakan tersebut meningkatkan kemampuan badan intelijen untuk saling berbagi informasi dan memberikan keleluasaan dalam mengawasi arus komunikasi dalam negeri.
Aparat juga diberi mandat lebih luas untuk memerangi arus dana sumber keuangan terorisme, dugaan pemalsuan mata uang, penyelundupan, dan skema pencucian uang yang mendanai teroris.
USA PATRIOT Act juga memperluas definisi terorisme sehingga mencakup berbagai tindakan yang dulunya tidak masuk dalam kategori teror.
Undang-undang itu juga memberikan peluang Biro Investigasi Federal AS mampu mengakses informasi pribadi seluruh warga Negeri Paman Sam, seperti catatan medis dan keuangan.
Sebagian besar Kongres AS mendukung USA PATRIOT Act. Namun beberapa pihak di AS mengkritik dan merasa bahwa undang-undang tersebut akan tidak berjalan cukup efektif untuk memerangi terorisme.
Aktivis hak-hak sipil khawatir bahwa undang-undang itu akan mengurangi kebebasan sipil dalam negeri dan akan memberi terlalu banyak wewenang kepada eksekutif untuk menyelidiki orang-orang AS di balik selubung kerahasiaan.
Sementara itu, 26 Oktober 1979 menjadi hari terakhir bagi Presiden Korea Selatan Park Chung Hee menghembuskan nafasnya. Pada hari itu, dia tewas secara tragis: ditembak anak buahnya sendiri, yang merupakan Kepala Badan Intelijen Korsel Kim Jea Kyu.
Insiden penembakan ini terjadi di markas Badan Intelijen Korsel. Ketika itu, Park Chung Hea dan Kim Jea Kyu sedang makan malam sekaligus rapat membicarakan arah kebijakan pemerintahan terhadap kubu oposisi.
Pada 2002, Krisis Sandera Teater Moskwa berakhir setelah pasukan Spetsnaz Rusia melakukan penyerbuan. Sebanyak 50 pemberontak Chechnya dan 150 sandera tewas.
Sementara 26 Oktober 2010, Gunung Merapi meletus di Yogyakarta mengeluarkan awan panas yang menewaskan puluhan warga desa di sekitar kaki gunung, salah satunya adalah Mbah Maridjan.
Â
Â
Advertisement