Liputan6.com, Tokyo - Kemunculan sejumlah ikan laut dalam, oarfish, di Jepang baru-baru ini, sempat menjadi bahan pembicaraan dan memicu kegelisahan dari para warganet Negeri Sakura. Pasalnya, hewan laut itu secara tradisional dianggap sebagai pertanda bencana alam, terkhusus gempa atau tsunami.
Pada Senin 28 Januari 2019, seekor oarfish berukuran hampir empat meter dari moncong ke ekor ditemukan terbelit jaring ikan di lepas pantai Imizu, di prefektur pantai utara Toyama.
Seperti diberitakan South China Morning Post yang dikutip pada Jumat 1 Februari 2019, binatang laut itu ditemukan sudah mati tetapi kemudian dibawa ke Akuarium Uozu terdekat untuk dipelajari.
Advertisement
Dua oarfish juga ditemukan di Teluk Toyama sembilan hari sebelumnya --menjadikan total empat oarfish ditemukan pada Januari ini.
Reputasi oarfish sebagai indikator malapetaka segera meningkat setelah setidaknya 10 oarfish terhanyut di sepanjang garis pantai utara Jepang pada 2010.
Sedangkan pada Maret 2011, gempa bermagnitudo 9 melanda timur laut Jepang, memicu tsunami besar yang menewaskan hampir 19.000 orang dan menghancurkan pembangkit nuklir Fukushima.
Spesies --yang memiliki ciri bertubuh perak panjang dan bersirip merah-- biasanya menghuni perairan dalam dan jarang terlihat di permukaan, meskipun legenda mengatakan bahwa ketika oarfish naik ke perairan dangkal, bencana sudah dekat.
Bahkan nama tradisional Jepang spesies itu, ryugu no tukai - yang diterjemahkan sebagai "utusan dari istana raja naga" - mengisyaratkan kaitannya dengan bencana alam di masa lalu.
Menurut kepercayaan masyarakat, ikan itu naik ke permukaan sebelum gempa. Kepercayaan itu terkait dengan teori-teori ilmiah bahwa ikan yang hidup di bawah mungkin sangat rentan terhadap pergerakan garis patahan seismik dan menunjukkan aktivitas tak biasanya sebelum gempa bumi.
Ilmuwan Menepis Anggapan Masyarakat
Hiroyuki Motomura, seorang profesor ichthyology di Universitas Kagoshima, memiliki penjelasan yang lebih biasa untuk penemuan ikan oar baru-baru ini di Prefektur Toyama.
"Saya memiliki sekitar 20 spesimen ikan ini dalam koleksi saya sehingga bukan spesies yang sangat langka, tetapi saya percaya ikan ini cenderung naik ke permukaan ketika kondisi fisik mereka buruk, naik pada arus air, itulah sebabnya mereka begitu sering mati ketika mereka ditemukan," katanya.
Profesor Shigeo Aramaki, seismolog di Universitas Tokyo, menepis kekhawatiran para pengguna media sosial dan mengatakan tak ada hubungannya antara kemunculan oarfish dengan pertanda gempa.
"Saya bukan spesialis ikan, tetapi tidak ada literatur akademik yang membuktikan hubungan ilmiah dengan perilaku hewan dan aktivitas seismik," papar Shigeo Aramak.
Kendati demikian, masih banyak masyarakat yang meyakini bahwa alam memberikan pertanda sebelum malapetaka menjelang. Sejak dulu, ada sejumlah hal seputar fenomena alam yang diyakini sebagai pertanda datangnya gempa atau tsunami, berikut di antaranya, seperti Liputan6.com kutip dari sejumlah sumber:
Â
Simak video pilihan berikut:
Â
1. Cahaya Gempa
Pertanda lindu mungkin bisa berupa cahaya.
Kilatan cahaya misterius terlihat sesaat sebelum gempa besar mengguncang China dan Italia. Orang sering menyebutnya sebagai 'cahaya gempa' -- pertanda terjadinya lindu dahsyat.
Cahaya gempa bumi teramati seperti api pendek berwarna biru yang muncul dari dalam tanah, seperti obor cahaya yang mengambang ke udara, atau garpu cahaya besar yang terlihat seperti petir melesat dari dalam tanah ke udara
Belakangan ini para ilmuwan Amerika Serikat menemukan petunjuk bahwa cahaya itu dapat dipicu oleh pergeseran lapisan tanah yang menghasilkan muatan listrik yang besar.
Menggunakan wadah besar berisi tepung, para ilmuwan menemukan sebuah fenomena fisika baru. Temuan tersebut dijelaskan secara detil dalam pertemuan American Physical Society di Denver.
"Awalnya kami curiga bahwa ini adalah sebuah kesalahan. Pasti saat itu kami sedang melakukan hal yang bodoh," kata Profesor Troy Shinbrot dari Rutgers University, New Jersey, seperti dimuat BBC 2014 lalu.
"Kami menggunakan wadah tupperware yang diisi tepung, mengguncangkannya hingga terbentuk semacam retakan. Ternyata, dengan itu saja bisa memproduksi muatan 200 volt," tambah dia. "Tidak ada mekanisme, yang saya tahu, yang dapat menjelaskan hal ini. Mungkin ini temuan baru dalam fisika."
Para ilmuwan mengulangi eksperimen yang sama menggunakan bahan granular -- yang terdiri dari butiran kecil -- lainnya. Menghasilkan fenomena tegangan yang sama.
Jika hal seperti itu terjadi di patahan geologi, retakan pada bulir tanah akibat guncangan bisa saja menghasilkan jutaan volt muatan elektrostatik.
Itulah yang kemudian menghasilkan kilatan cahaya di udara -- menciptakan 'sistem peringatan dini' alami gempa bumi yang akan terjadi.
Kisah tentang 'cahaya gempa' sudah tercatat selama 300 tahun terakhir, namun seringkali ditepis para ilmuwan. Sebaliknya memancing para penggemar UFO.
Namun, dalam beberapa dekade belakangan, berkat situs berbagi video, penampakan kilatan cahaya di langit cerah, tertangkap kamera, dianalisa, dan dikonfirmasi para ilmuwan.
Video bola cahaya yang terkait gempa Fukushima, Jepang dan L'Aquila di Italia menyebar luas di dunia maya.
"Kami ingin tahu mengapa kilatan cahaya ini muncul di sebuah gempa, dan tak muncul di lincu yang lain," kata Profesor Shinbrot. "Tak semua gempa besar diawali munculnya cahaya. Dan tak semua kilatan cahaya diikuti lindu dahsyat."
Untuk memahami kaitan tersebut, para ilmuwan di Turki telah mendirikan sejumlah menara yang berguna untuk mengukur medan tegangan di udara di atas daerah rawan gempa.
"Mereka menemukan bahwa memang ada fenomena yang mendahului sejumlah gempa besar yang magnitudenya 5 skala Richter atau lebih tinggi. Namun sinyal sinyal tegangan tidak selalu sama. Kadang-kadang tinggi dan kadang-kadang rendah," kata Profesor Shinbrot. "Jelas, banyak hal yang masih harus dipahami."
Kembali ke percobaan, tim Profesor Shinbrot ingin memahami hasil eksperimen tersebut -- apa mekanisme baru yang belum diketahui yang memicu tegangan di celah-celah butiran halusnya?
"Ini bukan seperti dugaan Anda -- listrik statis. Berbeda dengan gesekan sepatu karet pada karpet nilon. Ini adalah dua lapisan bahan yang sama persis bergesekan satu sama lain dan menghasilkan tegangan," kata sang profesor. "Bagaimana ini bisa terjadi?"
Dia menambahkan, satu-satunya alasan mengapa fenomena tersebut tak pernah dilaporkan adalah: tak ada seorang pun yang terpikir soal itu.
Advertisement
2. Binatang yang Gelisah
Lembah Kangra (Kangra Valley) yang biasanya tenang dalam keanggunan alamnya, berguncang hebat 4 April 1905 pukul 06.19 waktu setempat. Lempeng India bertubrukan dengan Eurasia, memicu gempa dengan kekuatan 7,8 skala Richter di barat laut pegunungan Himalaya itu.
Guncangan 'hanya' berlangsung 2 menit, namun dampaknya luar biasa. Bangunan remuk, dinding-dinding rumah robek. Di tengah gemuruh batu dan beton yang ambrol, ribuan yang panik menjerit, memohon ampun Sang Kuasa. Mereka kebingungan, nanar dibayangi teror dan kematian. Lebih dari 20.000 orang tewas kala itu.
Malam sebelum lindu mengguncang, kejadian aneh terjadi di kebun binatang di Lahore -- sekitar 200 kilometer dari pusat gempa. Hewan di sana mengamuk, berontak, dan mengeluarkan suara-suara yang tak biasa.
Menurut catatan pengawas kebun binatang, yang berkebangsaan Inggris -- kala itu India masih dijajah oleh Britania Raya -- semua binatang menolak makanan dan minuman yang diberikan. "Ia terus memikirkan keanehan itu sepanjang malam sampai-sampai tak bisa tidur. Dan pagi harinya, tiba-tiba gempa mengguncang," situs India Times melaporkan.
Bahwa hewan mungkin bisa membaca pertanda gempa sudah lama jadi bahan studi.
Beberapa hari sebelum gempa dahsyat 7,8 Skala Richter mengguncang China pada Mei 2008, ribuan katak membanjiri jalanan di salah satu area terdampak terparah.
Dalam hitungan jam sebelum lindu meremukkan bangunan, hewan-hewan koleksi kebun binatang Wuhan, yang berada 600 mil dari pusat gempa, mulai bertingkah aneh.
Zebra membenturkan kepalanya ke pintu, gajah menggoyangkan belalainya dengan liar nyaris menghantam staf kebun binatang. Singa dan macan yang biasanya tidur di siang hari, berkeliaran dengan gelisah. Lima menit sebelum gempa, lusinan burung merak mengeluarkan lengkingannya.
Beberapa jam sebelum gempa dan tsunami Sumatera pada 26 Desember 2004, yang menewaskan lebih dari 250 orang dari 23 negara, gajah-gajah tunggangan di Thailand bertingkah. Ogah mematuhi pawang, dan tak sudi menggendong turis. Sementara, hewan di Andaman: ular, kodok, kura-kura, kepiting, dan sejumlah ikan terlihat gelisah dan berenang menuju daratan, sebelum gempa terjadi.
Ini salah satu penjelasannya: Hanya sedikit manusia yang mampu menyadari gelombang P yang ukurannya lebih kecil, tapi bergerak paling cepat dari sumber gempa dan tiba sebelum gelombang S lebih besar. Namun, banyak binatang yang lebih sensitif dengan gelombang P.
Para ahli geologi, juga astrolog, meramalkan gempa mungkin akan kembali terjadi di kaki Himalaya. Belajar dari pengalaman masa lalu, para peziarah yang pergi ke situs keramat Gua Amarnath tak hanya bergantung pada kuda untuk membawa mereka ke sana, hewan itu juga diandalkan untuk 'membaca' pertanda gempa. "Jika kuda-kuda menolak membawa peziarah dan menunjukkan perilaku tak normal, bisa jadi mereka menyadari tanda-tanda gempa."
Namun, adakah landasan ilmiwah soal kemampuan luar biasa para binatang?
Para ilmuwan berusaha mencari penjelasan, mengapa beberapa spesies hewan berperilaku aneh sebelum bencana alam -- dengan menghubungkan kemampuan sensorik binatang dengan rangsangan sensorik mikroskopis dan tak terlihat.
"Saya tak tahu apakah tepat menyebutnya sebagai indra keenam. Sebagian besar hewan tahu, jika Bumi mulai bergetar, pasti ada sesuatu yang salah," kata Ken Grant, koordinator Humane Society International Asia, seperti Liputan6.com kutip dari Washington Post.
Fisiologi sensorik pada hewan sangat sensitif pada suara, temperatur, sentuhan, getaran, elektrostatik, aktivitas kimia, juga medan magnet -- semua itu membuat mereka bisa melarikan diri dalam hitungan hari dan jam sebelum bencana melanda. Lebih dulu dari manusia.
"Tampaknya banyak hewan memiliki organ sensorik yang mendeteksi tremor mikro dan perubahan yang nyaris tak kentara yang tak mampu kita pantau," kata George Pararas-Carayannis, ahli kelautan dan geofisika yang memimpin Tsunami Society.
"Sensitivitas yang tak dimiliki manusia, namun dikembangkan para hewan selama jutaan tahun evolusi mereka. Karena itulah mereka mampu bertahan hidup sebagai suatu spesies," tambah dia.
Sementara, seperti dimuat jurnal ilmiwah Nature, ahli geofisika kuantum, Motoji Ikeya menemukan bahwa sejumlah binatang bereaksi terhadap perubahan arus listrik. Dan ia sedang meneliti ikan lele, makhluk paling sensitif yang pernah ia kaji -- untuk membantu memberi peringatan datangnya malapetaka.
Bagaimana dengan manusia? Sejatinya manusia juga memiliki indra keenam terkait bencana. Tapi lebih banyak yang kehilangan kemampuan firasat itu.
Meski peka pada bencana, belum ada cara meyakinkan untuk menggunakan hewan dalam memprediksi bencana, terutama gempa. Demikian diungkap Roger Musson, seismolog dari British Geological Survey.
Seperti yang terjadi saat Gunung St Helens meletus pada 1980, justru ada banyak hewan yang jadi korban.
Sementara seperti diungkap dalam situs Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), referensi awal perilaku binatang yang tak biasa sebelum gempa besar terjadi ditemukan di Yunani, yakni pada 373 Sebelum Masehi. Tikus, musang, ular, dan lipan dilaporkan meninggalkan sarang mereka beberapa hari sebelum gempa.
3. Oarfish
Setelah dua oarfish raksasa ditemukan di pantai California, Amerika Serikat pada 2013 lalu, rumor berseliweran di media sosial.
Sebagian pengguna internet mengaitkannya dengan pertanda gempa. Terutama terkait mitos di Jepang yang mengaitkan penampakan oarfish yang langka dengan aktivitas tektonik.
Apalagi, California beberapa kali diguncang lindu hebat. Misalnya pada Rabu, 18 April 1906, gempa dengan kekuatan hampir 8 skala Richter mengguncang San Francisco, California dan pantai California Utara. Dipicu pergeseran lempeng San Andreas.Puluhan ribu bangunan hancur, kebakaran tak terkendali, ribuan orang tewas -- diperkirakan setidaknya 3.000 nyawa melayang.
Juga gempa bumi berkekuatan 7,2 skala Richter di Baja, California pada Minggu 4 April 2010. Setidaknya dua orang tewas dan 100 orang terluka dalam musibah itu.
Seminggu sebelum gempa dan tsunami yang menerjang pantai timur Jepang pada 11 Maret 2011 silam, sekelompok oarfish ditemukan terdampar di pantai Negeri Sakura. Beberapa tersangkut di jaring nelayan.
Sudah lama diyakini penduduk Jepang, oarfish yang berenang ke permukaan -- dari dasar laut yang dalam --adalah pertanda datangnya gempa bumi.
Laman The Telegraph juga pernah memuat artikel tentang oarfish yang muncul ke permukaan sebelum terjadi gempa besar di Chile dan Haiti pada 2010 silam.
Namun, para ilmuwan masih skeptis dengan anggapan bahwa oarfish adalah petanda gempa.
"Mungkin itu hanya kebetulan belaka," kata Rick Feeney, dari Natural History Museum of Los Angeles County, seperti Liputan6.com kutip dari CBS, 21 Oktober 2013.
Apalagi, tambah dia, 4 penampakan oarfish telah dilaporkan sejak 2010 dari selatan Central Coast, termasuk Malibu pada 2010 dan Lompoc pada 2011.
"Kami pikir, ikan-ikan itu terdampar di pantai dan mati karena mengalami tekanan tertentu, yang belum kita pahami," kata Feeney, menambahkan oarfish bisa jadi kelaparan atau mengalami disorientasi.
Advertisement
4. Awan Misterius Tsunami
Gempa 9,0 skala Richter dan tsunami yang menerjang Jepang Jumat, 11 Maret 2011, menjadi inspirasi para ilmuwan untuk menemukan sistem peringatan dini bencana yang lebih akurat. Salah satu isu besar adalah benarkah langit memberikan pertanda sebelum malapetaka datang?
Seperti dimuat Daily Mail, para ilmuwan dari University of Illinois menangkap pertanda atmosfer terkait tsunami Jepang berupa pijaran udara (airglow) yang ditangkap sebuah observatorium di Pulau Hawaii. Gambaran tersebut ditemukan pada ketinggian 250 kilometer di atas permukaan Bumi, sekitar satu jam sebelum gelombang air raksasa menghantam perairan Jepang. Pijaran udara adalah lapisan kehijauan yang ditemukan saat kombinasi molekul dipisahkan oleh cahaya matahari.
Penemuan, yang dilaporkan dalam jurnal Geophysical Research Letters, juga menegaskan teori yang dikembangkan pada tahun 1970-an. Studi-studi ini menunjukkan bahwa tsunami bisa diobservasi dari bagian atas atmosfer, namun sampai saat ini baru bisa didemonstrasikan menggunakan sinyal radio.
Studi ini fokus pada fakta bahwa tsunami menghasilkan gelombang gravitasi atmosfer saat ombak melaju melintasi lautan. Gelombang-gelombang tsunami memiliki potensi untuk meregang beberapa kilometer ke langit dan menyebabkan perubahan yang dapat dicitrakan karena penurunan densitas udara.
Tim University of Illinois dipimpin oleh Jonathan Makela, seorang profesor teknik listrik dan komputer, membuat gambaran tersebut. Setelah itu, Makela, bersama mahasiswa pascasarjana Thomas Gehrels, bergabung dengan tim di Prancis dan Brasil di New York University untuk melakukan analisis rinci gambaran tersebut.
Sebelumnya, profesor ilmu bumi dari Chapman University di California, Dimitar Ouzounov, mengatakan bahwa ada keanehan di langit Jepang sebelum tsunami. Atmosfer di atas episentrum gempa Jepang mengalami perubahan tak biasa dalam beberapa hari menjelang bencana.
Pendapatnya itu didasari penelitian terhadap data satelit terkait gempa yang mengguncang Jepang pada 11 Maret 2011: ada anomali atmosfer di atas episentrum gempa Jepang beberapa hari menjelang bencana.
Sebelum gempa bumi terjadi, patahan yang tertekan akan mengeluarkan lebih banyak gas, khususnya gas radon yang tidak berwarna dan tak berbau. Setelah berada di ionosfer, gas radon melepaskan molekul udara elektronnya, memisahkan partikel bermuatan negatif (elektron bebas) dan partikel bermuatan positif. Partikel-partikel bermuatan yang juga disebut ion, lantas menarik air dalam proses melepaskan panas. Dan, para ilmuwan bisa mendeteksi panas ini dalam bentuk radiasi inframerah.
Menggunakan data satelit, Ouzounov dan para koleganya mengawasi perubahan atmosfer yang terjadi beberapa hari sebelum gempa Jepang. Mereka menemukan, konsentrasi elektron dalam ionosfer meningkat, demikian juga dengan radiasi inframerah. Pada 8 Maret 2011, tiga hari sebelum gempa, adalah saat yang paling anomalis.
Para peneliti juga telah mengumpulkan data lebih dari 100 gempa di Asia dan Taiwan. Menurut Ouzounov, mereka menemukan korelasi yang sama untuk gempa yang magnitudenya lebih besar dari 5,5 skala Richter dengan kedalaman kurang dari 50 kilometer.