Mengurut Faksi 'Pemenang' dalam Game of Thrones Via Buku Politik, Siapa Berjaya?

Berikut 3 urutan faksi yang mungkin akan keluar sebagai pemenang dalam Game of Thrones season 8, film yang begitu dinanti oleh para penggemarnya.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 16 Apr 2019, 20:10 WIB
Diterbitkan 16 Apr 2019, 20:10 WIB
Kit Harington
Jon Snow, Game of Thrones (AP PHOTO)

Liputan6.com, Jakarta - Serial TV hits, Game of Thrones season 8 atau musim final tengah mengudara, dengan episode pertama 'Winterfell' tayang pada 14 April 2019.

Episode perdana season 8 ini mengantarkan para penonton setia Game of Thrones tentang perkembangan terkini di Westeros menjelang konflik tiga arah antara koalisi Jon Snow dan Daenerys 'Dany' Targaryen yang saat ini berbasis di Winterfell; The Night King, The White Walkers dan pasukan Wights yang datang dari Beyond the Wall; serta Cersei Lannister di King's Landing.

Masalah inti, paling tidak ketika musim dimulai, apakah dari ketiga faksi yang bertikai ini yang akan tetap berdiri setelah pertempuran yang tak terhindarkan akan datang? Dan, siapa yang akan keluar sebagai pemenang?

Untuk mencoba menjawab pertanyaan itu, koresponden senior Vox.com, Zack Beauchamp mengkaji berbagai kemungkinan menggunakan literatur studi politik.

Studi politik telah menghabiskan puluhan tahun mengumpulkan pengetahuan tentang apa yang menyebabkan naik-turunnya berbagai negara dan kekuasaan. Banyak dari kajian itu juga bisa berlaku untuk Westeros, dengan sedikit penyesuaian, seperti halnya kehidupan nyata kita di Bumi.

Berikut 3 urutan faksi yang mungkin akan keluar sebagai pemenang dalam Game of Thrones berdasarkan analisis tiga literatur studi politik, mulai dari yang memiliki probabilitas paling besar hingga terkecil, seperti dilansir Vox.com, Selasa (16/4/2019):

1. Koalisi Jon - Dany

Kit Harington
Kiprah Jon Snow yang diperankan oleh Kit Harington sangat menarik untuk ditunggu dalam kelanjutan serial "Game of Thrones" season terakhir ini. Berdua dengan Daenerys Targaryen yang diperankan oleh Emilia Clarke, mereka akan melawan pasukan the Army of the Dead. (Sumber: AP Images)

Besar kemungkinan bahwa koalisi Jon - Dany keluar sebagai pemenang dalam GoT. Dan bukan hanya karena alasan kenyamanan naratif; mereka sebenarnya adalah faksi terkuat.

Alasannya jelas: dua naga, pasukan darat besar yang terdiri dari infanteri (the Unsullied) dan kavaleri terkemuka (Dothraki), persenjataan yang dapat melawan baik manusia dan pasukan The Night King, dan koperasi hampir semua pemikir strategis dan politik paling cemerlang di Westeros.

"Pertanyaan yang jauh lebih menarik untuk fraksi ini bukan apakah mereka cenderung memenangkan perang yang akan datang, tetapi apa yang terjadi setelah mereka menang," tulis koresponden senior Vox, Zack Beauchamp.

Demi menjawab pertanyaan sulit seperti ini, mencari tahu kenyataan praktis dari dunia yang didominasi oleh aliansi Targaryen akan sangat penting untuk membuat kemungkinan kemenangan pihak mereka diperhitungkan.

Dalam buku After Victory, G John Ikenberry dari Princeton University berargumen bahwa pasca-perang besar memberikan pihak pemenang kekuatan dan posisi unik untuk membentuk kembali sifat politik global.

Dalam pandangan Ikenberry, pengaturan yang paling stabil adalah pengaturan yang berorientasi minim pada dominasi dan mementingkan konsensus; serta keteraturan "konstitusional" di mana kekuatan terkemuka setuju untuk membatasi diri mereka sendiri dan memberikan otonomi kepada negara-negara yang lebih lemah --demi pertukaran untuk dukungan sukarela serta status quo politik.

'The Mother of Dragons' Dany Targaryen tampak tidak tertarik dengan pengaturan semacam ini. Dia melihat dirinya sebagai ratu yang sah dan memiliki sedikit minat pada detail seperti apa yang diinginkan Keluarga Stark dan The North.

Dany bukan jenis pemimpin yang dengan sendirinya bisa membuat tatanan politik jangka panjang yang stabil dan makmur. Sepanjang musim GoT, kita telah diperlihatkan bagaimana Dany harus mendengarkan penasihatnya demi menekan tendensi otoriter dan kejam ala sang ayah, 'the Mad King' Aerys Targaryen.

Dan di satu sisi, koalisinya dengan Jon Snow dan Keluarga Stark mengharuskan Dany untuk datang dengan semacam pengaturan pembagian kekuasaan lain yang memuaskan kepentingan The North dan meletakkan dasar untuk bertahan hidup pada musim dingin di Westeros yang akan datang.

Jika Dany tidak melakukan itu dan menegaskan bahwa ia satu-satunya yang berhak untuk memerintah dan berkuasa, aliansinya mungkin jatuh di bawah tekanan ketegangan internalnya sendiri - mengubah apa yang tampak seperti kemenangan yang tak terelakkan menjadi sumber konflik lainnya.

Aliansi Jon - Dany hampir dipastikan akan memenangkan perang ganda; terutama mengingat bahwa semua karakter favorit penggemar Game of Thrones adalah bagian dari faksi yang saat ini berbasis di Winterfell, ibu kota de facto The North.

Tetapi dalam beberapa hal, perjuangan antara tokoh-tokoh terkemuka di dalam aliansi ini bisa berakhir menjadi lebih penting daripada pertempuran mereka dengan musuh-musuhnya.

 

2. The Night King Cs

The Night King menunggangi Viserion sang naga  (HBO / AP PHOTO)
The Night King menunggangi Viserion sang naga (Game of Thrones / HBO / AP PHOTO)

The Night King Cs mungkin punya kesempatan untuk menang dalam perang tiga arah versus koalisi Jon - Dany dan Cersei Lannister.

Dari sudut pandang militer, the Army of the Dead berada dalam kondisi yang baik. The Night King memiliki sejumlah besar Wights (pasukan mayat hidup), sihir yang kuat yang dapat mengubah setiap musuh menjadi Wights, dan Viserion yang kini menjadi naga mayat hidup!

Tapi tetap saja, Night King sebenarnya tidak dalam posisi terbaik untuk memenangkan perang.

Pertama, pasukan zombie jauh lebih lemah dari yang terlihat. Jika Anda ingat kembali di musim tujuh, kita mengetahui bahwa membunuh White Walkers (perwira-perwira the Night King) juga mengakibatkan kematian setiap Wights yang dihidupkan kembali. Jika Anda membunuh Night King dan White Walkers yang lain, pasukan mereka yang tampaknya tak ada habisnya bisa musnah. Ini membuat apa yang dihadapi oleh koalisi Jon - Dany (di mana mereka berada pada garis terdepan bentrokan langsung di The North) jauh lebih mudah daripada yang terlihat.

Kedua, the Night King tidak pernah berperang dengan pasukan besar dan siap sebelumnya. Pasukan Stark-Targaryen di Winterfell memiliki pandai besi seperti Gendry yang bekerja keras membuat satu dari beberapa senjata pamungkas yang bisa membunuh the Night King dan White Walkers secara efektif.

Mereka juga memiliki posisi bertahan yang sudah mengakar dan dua naga di Winterfell.

Winterfell tahu tentang kerentanan utama Night King - bunuh dia dan sebagian besar atau semua pasukannya mati - dan mereka memiliki sumber sihir sendiri (Bran dan pengikut Lord of Light). Ini adalah pertarungan yang tidak seperti yang dihadapi White Walker sebelumnya, dan tidak jelas apakah mereka siap untuk itu --terlepas dari plot twist atau kejutan yang mungkin bisa terjadi pada episode-episode selanjutnya, yang mana hal tersebut kerap terjadi dalam alur cerita GoT dan megubah 180 derajat peruntungan mereka.

"Ini, menurut saya, merupakan kegagalan the Night King untuk memahami apa yang oleh para sarjana politik dan hubungan internasional sebut sebagai konsep 'keseimbangan menyerang - bertahan'," kata koresponden senior Vox, Zack Beauchamp.

Ide dasar di balik konsep itu, yang awalnya dikembangkan oleh Robert Jervis dari Departemen Politik, Columbia University, adalah bahwa sifat teknologi militer pada waktu tertentu dapat menguntungkan penyerang, memberikan insentif untuk memulai perang dan mencoba untuk mengakhiri mereka dengan cepat.

"Atau mereka bisa menciptakan insentif untuk menghindari memulai perang dan fokus pada mempertahankan wilayah sendiri. Contoh klasik adalah Perang Dunia I, di mana teknologi seperti senapan mesin yang dimiliki satu pihak membuat penantang cukup sulit untuk maju pada posisi lawan dan merebut wilayah," nilai Beauchamp.

"Dan Night King tampaknya telah membuat kesalahan dalam menilai konsep 'keseimbangan menyerang dan bertahan' di Westeros," lanjutnya.

The Night King tampak berasumsi bahwa naga dan zombie zombie miliknya akan membuatnya mudah untuk mengambil wilayah dengan cepat, menjadikan benteng pertahanan tidak relevan. Tetapi seekor naga tidak dapat merobohkan dinding pertahanan lawan ketika sibuk bertarung dengan dua naga lainnya milik Dany Targaryen, dan pasukan tidak bisa hanya berkerumun di dinding musuh ketika para pemain bertahan memiliki teknologi yang dirancang untuk melawan serangan mereka.

Yang paling mendasar, sifat kerentanan dari pasukan the Night King - jika perwira-perwiranya mati, maka pasukannya mati - ditambah dengan sikap menggebu-gebu maju ke wilayah musuh tanpa pengintaian yang signifikan, bisa membuat mereka mengekspos diri pada kekalahan total, jika Winterfell dapat mengeksploitasi mereka dengan benar kerentanan tersebut.

"Dugaan saya adalah bahwa, dalam pertempuran yang akan datang, pasukan di Winterfell akan mendekati kekalahan sebelum menarik kemenangan tipis atas White Walkers. Tetapi bahkan jika Winterfell jatuh, ada banyak wilayah Westeros untuk mundur, di mana mereka dapat membuka baris pertahanan atau digunakan sebagai landasan untuk serangan baru guna menghancurkan White Walkers dan dengan demikian seluruh pasukan," kata Beauchamp.

Night King akan mendapat manfaat dari kesabaran yang lebih besar, dan pemahaman yang lebih baik tentang kemampuan lawan-lawannya, sebelum melakukan serangan total semacam yang mereka lakukan saat ini.

3. Cersei Lannister

Cersei Lannister  (Game of Thrones / HBO / AP PHOTO)
Cersei Lannister di Iron Throne. (Game of Thrones / HBO / AP PHOTO)

Cersei melakukan pekerjaan yang bagus musim lalu dengan bermain lemah, di mana ia berhasil menghancurkan sekutu musuh utamanya (Olenna Tyrell), memperoleh kekuatan militer besar-besaran (The Golden Company) dan bahkan mendapatkan sendiri sebuah angkatan laut (armada Euron Greyjoy ).

Tapi itu tidak cukup. Bahkan tidak cukup dekat untuk meraih kemenangan, nilai koresponden senior Vox Zack Beauchamp.

Strategi Cersei di musim delapan adalah untuk menghindari konflik terbuka di Winterfell, membiarkan musuh-musuhnya berkelahi lebih dulu, dan menghadapi siapa pun yang menang setelah pertempuran. Itu sebabnya dia mengatakan "Bagus" ketika dia diberi tahu bahwa Night King dan pasukan the Army of the Dead-nya telah menembus The Wall.

Masalahnya, bagaimanapun, adalah bahwa ia tidak memiliki teknologi untuk mengalahkan salah satu lawannya yang jauh lebih kuat. Dia mungkin memiliki pasukan darat yang signifikan, tetapi dia tidak memiliki senjata apa pun yang dapat menghentikan naga yang bisa membakarnya di tempat ia berada.

Dia tidak memiliki persenjataan berbasis dragonglass yang kita ketahui dapat The Night King Cs di pertunangan darat - apalagi rencana untuk berurusan dengan naga zombie mereka.

Tapi masalahnya lebih dalam dari itu. Inti dari kekuatan yang ia miliki hanya berasal dari aliansinya dengan Euron Greyjoy, penyedia seluruh angkatan laut Cersei dan tentara bayaran The Golden Company.

Namun masalahnya, Euron bukan sekutu yang bisa diandalkan: dia telah mengakui akan meninggalkan Cersei jika keadaan terlihat berbalik 180 derajat. Dan motif utama Euron sampai saat ini hanyalah demi bercinta dengan "sang ratu" Cersei seperti yang ia katakan. Euron hanya menginginkan satu hal - berhubungan seks dengan Cersei --dan itu menjijikkan.

"Itu adalah dramatisasi yang hampir terlalu nyata tentang analisis sarjana politik dan hubungan internasional feminis J. Ann Tickner dalam bukunya tahun 1992, Gender and International Relations," nilai Beauchamp.

Dalam buku itu, Tickner berpendapat bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki: ruang yang ditentukan oleh ide-ide yang sangat gender tentang apa yang seharusnya diinginkan oleh para pemimpin dan bagaimana mereka harus bertindak. Bab pertama membahas beberapa contoh pejabat perempuan tingkat tinggi dengan beragam gaya dan tujuan, yang masing-masing menghadapi serangkaian hambatan dan kesulitan yang sama karena gender mereka.

"Saya percaya kesulitan yang berhubungan dengan gender ini merupakan gejala dari masalah yang jauh lebih dalam ... sejauh mana politik internasional merupakan bidang kegiatan yang sepenuhnya maskulin sehingga suara perempuan dianggap tidak autentik," tulis Tickner.

Cersei mengambil semua "kebajikan" maskulin tentang ketangguhan, kekejaman, dan memprioritaskan pengejaran kekuasaan di atas segalanya. Tapi dia tidak bisa lepas dari statusnya sebagai seorang perempuan, dan diperlakukan sebagai sekutu militer yang tidak penting dan lebih berpotensi sebagai konteks seksual oleh kepala negara lain --dalam konteks GoT, oleh Euron Greyjoy.

Daenerys tengah menghadapi hambatan yang sama, yang mana pada musim ini gelarnya sebagai ratu mulai dipertanyakan karena hak waris Jon Snow sebagai keturunan laki-laki Keluarga Targaryen.

Tetapi sekarang, situasi militer Dany jauh lebih kuat sehingga sistem yang berdasarkan gender tidak terlalu menjadi masalah baginya ketimbang Cersei.

"Westeros begitu 'sangat maskulin' sehingga jangkauan aliansi Cersei, yang bahkan memberinya harapan kemenangan melawan pasukan superior, pada dasarnya goyah," tulis Beauchamp.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya