Liputan6.com, Hong Kong - Demonstran Hong Kong terlibat bentrok dengan aparat kepolisian pada Kamis (3/10/3019). Para pengunjuk rasa mengungkapkan kemarahan mereka atas kejadian penembakan pada seorang remaja pada Selasa 1 Oktober yang bertepatan dengan perayaan HUT ke-70 Republik Rakyat China (RRC).
Polisi mendesak pemerintah untuk memberlakukan jam malam sebagai upaya untuk mengatasi kekerasan yang meningkat beberapa waktu belakangan.
Hal tersebut karena para petugas kepolisian menjadi sasaran para pengunjuk rasa di tengah tuduhan dari kekuatan berlebihan dalam menangani unjuk rasa yang terjadi, seperti dilansir channelnewsasia.com.
Advertisement
Para aktivis mengamuk di sepanjang distrik pusat keuangan Asia saat polisi berupaya membubarkan kerumunan dengan gas air mata. Para aktivis tersebut membakar, memblokir jalan, bahkan merusak berbagai toko dan stasiun metro hingga larut malam.
Mendorong Berlakukan Jam Malam
Ketua Asosiasi Petugas Polisi Junior, Lam Chi-wai mendesak pemimpin kota memberlakukan jam malam untuk menjaga ketertiban umum, menurut sebuah pernyataan yang dirilis pada hari Rabu.
"Kami hanya agen penegakan hukum dengan kekuasaan terbatas di bawah hukum," kata Lam.
"Ketika menghadapi serangkaian insiden kerusuhan besar-besaran, kami tidak dapat bekerja sendirian - bertepuk tangan hanya dengan satu tangan - tanpa langkah-langkah yang tepat dan dukungan dari tingkat atas," tambah Lam Chi-wai.
Publik Hong Kong sudah berseteru terhadap polisi di tengah tuduhan dari taktik persenjataan berat aparat. Polisi mengatakan mereka menunjukkan upaya menahan diri dalam peningkatan kekerasan yang terjadi.
Sementara itu, pengacara seorang jurnalis Indonesia yang tertembak proyektil polisi Hong Kong mengatakan salah satu mata dari jurnalis itu buta.
Advertisement
Protes Terus Berlanjut
Salah seorang desain interior yang juga demonstran, Alex Chan menyatakan sikap perlawanan atas apa yang dilakukan aparat pada pengunjuk rasa. Terlebih, atas kejadian penembakan seorang remaja Selasa lalu.
"Di mana pun protes berada di sekitar, saya akan datang… Saya keluar malam karena suatu alasan sederhana. Anda tidak menembak remaja di jarak dekat," kata Alex.
"Protes ini akan terus berlanjut dan kami tidak akan menyerah," tambah Alex Chan.
Ribuan orang turun ke jalan pada Rabu 2 Oktober 2019. Mereka mencela aparat polisi atas penembakan pelajar berusia 18 tahun, yang mana polisi nyatakan sebagai tindakan pertahanan/perlindungan diri.
Pelajar tersebut ditembak saat ia melawan aparat kepolisian menggunakan pipa besi pada Selasa lalu.
Pada kejadian tersebut para pengunjuk rasa juga melempar bom bensin/molotov ke arah polisi. Kemudian, polisi merespons dengan menembak kerumunan dengan gas air mata, peluru karet, serta meriam air.
Polisi menyebut remaja tersebut didakwa dengan kerusuhan dan menyerang petugas kepolisian.
Sementara itu, operator kereta MTR menutup stasiun-stasiun di beberapa distrik tepat sebelum tengah malam pada Rabu ketika kekerasan meningkat sekali lagi. Beberapa di antaranya adalah distrik Po Lam, Hang Hau, dan Tseung Kwan O.
Terlepas dari itu, seluruh stasiun yang terdampak demo dan kekersan telah dibuka kembali pada akhir Kamis.
“Tindakan para pengunjuk rasa secara serius merusak ketertiban umum dan mengancam keselmatan pribadi para petugas serta masyarakat,” kata polisi pada Kamis 3 Oktober 2019.
Intervensi China
Dalam sebuah pernyataan Uni Eropa mengatakan mereka sangat terganggu dengan adanya eskalasi kekerasan Hong Kong. Menambahkan, satu-satunya jalan ke depan adalah melalui "pengekangan, penurunan kegiatan, serta dialog."
Negara bekas koloni Inggris itu sudah diguncang demo selama berbulan-bulan atas RUU Ekstradisi yang saat ini telah ditarik. RUU tersebut memungkinkan orang dikirim ke China daratan untuk diadili yang kemudian berkembang menjadi seruan untuk berdaulat.
Oposisi pada pemerintah yang didukung Beijing telah menjerumuskan Hong Kong ke dalam krisis politik terbesarnya dalam beberapa dasawarsa. Serta, menimbulkan tantangan rakyat terhadap Presiden China, Xi Jinping sejak berkuasa.
Hong Kong kembali ke China pada 1997 di bawah formula "satu negara, dua sistem" yang menjamin kebebasan yang tidak dinikmati di daratan. Hal tersebut termasuk sistem hukum independen.
Para aktivis dan pengunjuk rasa marah perihal campur tangan Beijing (China) dalam urusan Hong Kong, meskipun ada janji otonomi yang berlaku.
Sementara itu, China membantah klaim yang mengatakan pihaknya ikut campur dalam urusan Hong Kong. China justru menuduh pemerintah asing, termasuk Amerika Serikat dan Inggris mengobarkan sentimen anti-China.
Reporter: Hugo Dimas
Advertisement