Sanksi Lucuti Nuklir Korea Utara Gagal, Warga Kian Menderita

Laporan baru menunjukkan, sanksi internasional yang dijatuhkan pada Korea Utara gagal memajukan prospek denuklirisasi di Semenanjung Korea, sementara memicu warga semakin menderita.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Nov 2019, 09:00 WIB
Diterbitkan 06 Nov 2019, 09:00 WIB
Kehidupan Sehari-hari di Korea Utara
Foto pada 13 Juni 2017 menunjukkan seorang petani menanam padi di sebuah sawah yang terletak di pinggir jalan Pyongyang, Korea Utara. (AP Photo/Wong Maye-E)

Liputan6.com, Jenewa - Laporan baru menunjukkan, sanksi internasional yang dijatuhkan pada Korea Utara gagal memajukan prospek denuklirisasi di Semenanjung Korea, sementara warga sipil dibuat semakin menderita olehnya.

Panel internasional di Jenewa yang terdiri dari para pakar independen berbagai bidang menyebut laporan tersebut adalah penilaian komprehensif pertama tentang dampak sanksi manusia terhadap Korea Utara.

PBB memperkuat sanksi ekonomi terhadap Korea Utara pada tahun 2016 dengan tujuan membawa Pyongyang ke meja perundingan nuklir dengan Washington. Namun taktik ini tidak berhasil. Pembicaraan tetap menemui jalan buntu.

Sementara sanksi yang ditargetkan terhadap elite Korea Utara tidak efektif, para penulis laporan mengatakan bukti menunjukkan sanksi berdampak menghancurkan pada populasi umum, terutama perempuan dan anak-anak. Mereka mengatakan sanksi itu berdampak buruk pada bantuan kemanusiaan dan pembangunan ekonomi di Korut, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (6/11/2019).

Mereka mengutip badan-badan PBB yang melaporkan 40 persen populasi Korea Utara mengalami kelaparan dan membutuhkan bantuan, 6 dari 10 orang tidak memiliki akses pada air minum yang bersih dan kekurangan gizi di kalangan anak-anak meningkat.

Simak video pilihan berikut:

Membatasi Produk Penting

Bayi Lahir Cacat- Tewas Mendadak, Penyakit 'Setan' Hantui Korut
Petani di daerah Kilju, sebuah lokasi yang tak jauh dari situs uji coba nuklir Korea Utara. Foto diambil pada tahun 2002 (GERALD BOURKE / WORLD FOOD PROGRAMME / AFP)

Christine Ahn, pendiri Women Cross DMZ, sebuah gerakan global perempuan untuk mengakhiri Perang Korea, mengatakan: sanksi-sanksi itu melarang impor barang-barang penting, termasuk peralatan medis, bahan pertanian penting untuk produksi makanan, dan komponen untuk program air dan sanitasi.

Ia menjelaskan, penulis laporan memperingatkan kurangnya barang-barang ini mengancam kehidupan orang yang paling rentan di Korea Utara.

"Mereka mengkaji bahwa hampir 4.000 orang meninggal pada tahun 2018 akibat penundaan yang disebabkan karena sanksi terhadap bahan-bahan dan bantuan yang masuk ke Korea Utara, serta kekurangan dana," ujar Ahn seperti dikutip dari VOA Indonesia.

Tahun lalu, badan-badan PBB hanya mampu mengumpulkan 21 persen dari US$ 111 juta yang mereka butuhkan untuk program-program kemanusiaan yang mendesak, menyebabkan kekurangan pendanaan sebesar US$ 87 juta.

Belum ada kemajuan dalam negosiasi nuklir sejak Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un mengadakan pertemuan langsung pertama yang bersejarah di Singapura tahun lalu dan menandatangani deklarasi yang menjanjikan transformasi hubungan mereka. Ahn mengatakan kepada VOA bahwa AS bisa mencapai tujuan ini dengan mencabut sebagian sanksi yang merugikan penduduk sipil.

Trump dan Kim bertemu untuk kedua kalinya awal tahun ini di Hanoi, Vietnam. Namun, pembicaraan itu berakhir tanpa kesepakatan.

Sementara semua itu terjadi, Korea Utara telah kembali melakukan uji coba senjata, yang dinilai oleh para analis sebagai upaya untuk menundukkan AS di meja perundingan. Namun, Washington mengatakan bahwa proses negosiasi dengan Pyongyang masih berjalan baik sampai saat ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya