Masterclass FSAI 2021: Jaimen Hudson Ungkap Tantangan Jadi Sinematografi Drone

Seminar virtual Masterclass Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) 2021 hadirkan pembicara film dokumenter "From Sky to Sea."

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Jun 2021, 20:32 WIB
Diterbitkan 23 Jun 2021, 16:21 WIB
Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) 2021
Seminar Masterclass Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) 2021 pada Rabu (23/06/2021).

Liputan6.com, Jakarta - Kedutaan Besar Australia di Jakarta mengadakan seminar virtual Masterclass Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) 2021 di Jakarta pada Rabu (23/6/2021). Seminar ini menghadirkan pembicara Leighton De Barros dan Jaimen Hudson.

Seminar mengusung topik seni pembuatan film dokumenter dan sinematografi drone. Leighton De Barros terkenal sebagai produser dan sinematografer nominasi Emmy. Sedangkan, Jaimen Hudson adalah sinematografer drone dan orang dibalik film dokumenter fitur FSAI 2021.

Dahulu, Jaimen sempat mengalami kecelakaan motor yang cukup parah. Sampai ia harus memakai kursi roda untuk menjalani aktivitas sehari-hari.

Jenuh dengan hal itu, ia pun mencari hobi baru dan terus menggali apa yang ia bisa lakukan. Sebelumnya pernah ada yang menyarankan untuk memancing tetapi ia tidak menyukainya.

"Saya suka menyelam dan bermain di laut namun karena kecelakaan mengharuskan saya tidak bisa lagi. Saya pun mencari hobi lain. Jadi suatu saat saya merekam lumba-lumba," ungkap Jaimen.

"Dari situ saya tertarik dengan satwa liar dan pertama kalinya juga saya melakukan hobi baru yaitu fotografi di atas kursi roda ini. Beruntungnya saya menekuni profesi ini dan berhasil menggarap beberapa proyek. Salah satunya film dokumenter 'From Sky to Sea'," lanjutnya.

Butuh Kamera Berkualitas dan Lensa Pendukung yang Prima

Yuk, Asah Kreativitas Fotografi di Canon Street Pixmatography!
Ilustrasi Fotografer (wallpaperup.com)

Walau menemukan hobi baru Jaimen juga memperoleh kesulitan dalam pengambilan gambar. Apalagi ia tertarik dengan fotografi drone.

Ia mengatakan tantangannya adalah menyatukan suara-suara dari laut melalui drone, teknik pencahayaan yang tepat, dan memilih objek yang bagus sekaligus angle yang menarik.

Selain itu, dahulu pada 2014 drone hanya bisa beberapa meter saja berbeda dengan sekarang yang bisa berkilometer jauhnya. Sehingga perlu memakai helikopter untuk pengambilan gambar yang natural.

Di samping itu, Leighton De Barros sebagai sutradara dari film dokumenter "From Sky to Sea", mengungkapkan peralatan kamera yang canggih juga berperan penting proses merekam dan memotret.

"Saya memiliki lensa-lensa seri L dengan usia 15 tahun yang cukup kuat. Adaptornya juga cukup bagus apalagi jika dipasangkan di lensa Canon atau kamera manapun," kata Leighton.

Ia juga merekomendasikan untuk memakai lensa panjang ketika hendak melakukan pemotretan satwa liar. Jadi Anda tidak perlu mendekat dengan mereka karena bisa saja berbahaya.

Untuk rekaman atau footage hewan sederhana lainnya Leighton memanfaatkan kamera medium. Intinya ia berkata carilah kamera yang berkualitas tinggi dan tahan lama karena itu sangat berpengaruh dalam proses pembuatan film.

Misalnya salah satu kamera yang ia miliki tahan banting dan berusia 15 tahun tetapi masih awet dipakai.

"Selama 90 menit ini tentang kehidupan Jaimen. Awalnya Jaimen tidak menyukai naskah dokumenter tersebut," jelas Leighton.

Jaimen pun mengatakan naskahnya membuat dirinya seolah-olah berfokus pada disabilitas yang dimilikinya. Namun ia tidak bermaksud menampilkan drama tetapi lebih berfokus terhadap karya yang saya miliki khususnya dokumenter ciri khasnya yaitu, menyoroti kehidupan satwa liar.

Leighton pembuatan film dokumenter ini menghabiskan waktu 3 tahun produksi dan 3 tahun sebelumnya untuk memperoleh data dan pemasaran.

Reporter: Bunga Ruth

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya