Beredar Kabar China Minta Setop Aktivitas Pengeboran dan Latihan Militer Indonesia di Natuna

Kabarnya China memerotes aktivitas pengeboran dan latihan militer Indonesia di Natuna.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Des 2021, 13:03 WIB
Diterbitkan 02 Des 2021, 13:03 WIB
klaim tumpang tindih negara-negara Asia Tenggara, China, dan Taiwan atas Laut China Selatan (VOA Wikimedia Commons) 2
klaim tumpang tindih negara-negara Asia Tenggara, China, dan Taiwan atas Laut China Selatan (VOA Wikimedia Commons) 2

Liputan6.com, Jakarta - Beredar kabar kegiatan pengeboran minyak dan gas alam Indonesia di Natuna, Laut China Selatan -- wilayah yang masih menjadi sengketa bagi dua negara -- jadi sorotan. Pasalnya China meminta pemerintah Indonesia untuk menghentikan aktivitas tersebut.

Hal tersebut disampaikan oleh empat sumber yang mengetahui masalah tersebut kepada Reuters.

Mengutip laporan VOA Indonesia, Kamis (2/12/2021), permintaan tersebut belum pernah terjadi sebelumnya dan meningkatkan ketegangan terkait sumber daya alam antara kedua negara.

Kabarnya sepucuk surat dari diplomat China kepada Kementerian Luar Negeri dengan jelas meminta Indonesia untuk menghentikan pengeboran di rig lepas pantai untuk sementara, karena kegiatan itu dilakukan di wilayah yang diklaim sebagai teritori China, menurut anggota DPR Komisi I Muhammad Farhan yang mendapatkan informasi terkait surat tersebut.

"Jawaban kami sangat tegas, bahwa kami tidak akan menghentikan pengeboran karena itu adalah hak kedaulatan kami," kata Farhan kepada Reuters.

Selain itu, menurut Farhan, dalam surat terpisah China juga memprotes kegiatan latihan militer Garuda Shield pada Agustus yang sebagian besar kegiatannya dilakukan di darat. Latihan itu berlangsung saat pembicaraan mengenai Laut China Selatan antara dua negara mengalami kebuntuan.

Latihan tersebut, yang melibatkan 4.500 tentara dari Amerika Serikat dan Indonesia, telah menjadi acara rutin sejak 2009. Ini adalah protes pertama China terhadap mereka, menurut Farhan. "Dalam surat resmi mereka, pemerintah China mengungkapkan keprihatinan mereka tentang stabilitas keamanan di daerah itu," katanya.

Tiga orang lainnya, yang mengaku telah diberi pengarahan tentang masalah tersebut, membenarkan adanya surat itu. Dua dari mereka mengatakan China berulang kali menuntut agar Indonesia menghentikan aktivitas pengeboran.

Sementara menurut seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri mengatakan: "Setiap komunikasi diplomatik antar negara bersifat pribadi dan isinya tidak dapat dibagikan." Dia menolak berkomentar lebih lanjut.

Sejauh ini Kementerian Luar Negeri China, Kementerian Pertahanan dan Kedutaan Besar China di Jakarta belum menanggapi permintaan komentar.

Pemerintah mengatakan ujung selatan Laut China Selatan adalah masuk dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Indonesia menamakan wilayah itu sebagai Laut Natuna Utara pada 2017.

Keberatan China

China keberatan dengan perubahan nama dan bersikeras bahwa jalur air itu berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut China Selatan, yang ditandai dengan "sembilan garis putus-putus" berbentuk U. Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada 2016 mengatakan batas tersebut tidak memiliki dasar hukum.

"(Surat itu) sedikit mengancam karena itu adalah upaya pertama diplomat China untuk mendorong agenda sembilan garis putus-putus mereka terhadap hak-hak kami di bawah Hukum Laut," kata Farhan kepada Reuters.

China adalah mitra dagang terbesar Indonesia dan sumber investasi terbesar kedua di negara ini. Situasi tersebut menjadikan Beijing bagian penting dari ambisi pemerintah untuk menjadi negara ekonomi papan atas. Pemerintah tetap diam terkait masalah ini untuk menghindari konflik atau pertikaian diplomatik dengan China, kata Farhan dan dua orang lainnya yang berbicara kepada Reuters.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Ketegangan di Laut

Kapal perusak milik AS berlayar ke Laut China Selatan (AFP/US Navy)
Kapal perusak milik AS berlayar ke Laut China Selatan (AFP/US Navy)

Data pergerakan kapal menyebutkan selama beberapa hari ketika rig semi-submersible Noble Clyde Boudreaux tiba di Blok Tuna di Laut Natuna untuk mengebor dua sumur pada 30 Juni, sebuah kapal penjaga pantai China berada di lokasi itu. Mereka kemudian segera bergabung dengan kapal penjaga pantai Indonesia.

Selama empat bulan berikutnya, kapal-kapal China dan Indonesia saling membayangi di sekitar blok tersebut, sering kali datang dalam jarak 1 mil laut satu sama lain, menurut analisis data identifikasi kapal dan citra satelit oleh Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI). AMTI adalah sebuah proyek yang dijalankan oleh Pusat Studi Strategis dan Internasional yang berbasis di AS.

Data dan gambar yang ditinjau oleh AMTI dan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), sebuah lembaga think-tank independen yang berbasis di Jakarta, menunjukkan sebuah kapal penelitian China, Haiyang Dizhi 10, tiba di daerah tersebut pada akhir Agustus. Kapal itu menghabiskan sebagian besar waktunya, dari tujuh minggu kehadirannya, dengan bergerak lambat dalam pola grid di Blok D-Alpha yang letaknya berdekatan. Data pemerintah menunjukkan blok yang berada di wilayah sengketa tersebut memiliki kandungan minyak dan gas senilai $500 miliar.

“Berdasarkan pola pergerakan, sifat, dan kepemilikan kapal, sepertinya sedang melakukan survei ilmiah terhadap cagar D-Alpha,” kata Jeremia Humolong, peneliti di IOJI.

Pada 25 September, kapal induk Amerika USS Ronald Reagan datang dengan jarak 7 mil laut dari rig pengeboran Blok Tuna. "Ini adalah contoh pertama yang diamati dari kapal induk AS yang beroperasi dalam jarak sedemikian dekat dengan kebuntuan yang sedang berlangsung di Laut China Selatan," kata AMTI dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada November.

IOJI dan nelayan setempat mengatakan empat kapal perang China juga dikerahkan ke daerah itu.

Seorang juru bicara Angkatan Laut AS Carrier Strike Group 5/Task Force 70 menolak untuk mengungkapkan jarak kapal induk dari rig.

Tak Pernah Menyerah

China sedang bernegosiasi dengan 10 negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk menyelesaikan masalah kode etik Laut China Selatan, jalur air yang kaya akan sumber daya alam yang menghasilkan setidaknya $3,4 triliun perdagangan per tahun. Pembicaraan, di bawah naungan ASEAN, dimulai kembali tahun ini setelah dihentikan karena pandemi.

Sikap Beijing yang semakin agresif di Laut China Selatan telah memicu kekhawatiran Jakarta, kata empat sumber kepada Reuters.

Indonesia yang belum membuat klaim resmi atas wilayah Laut China Selatan di bawah aturan PBB, meyakini bahwa luas perairannya sudah jelas diatur oleh hukum internasional.

Presiden China Xi Jinping telah mencoba untuk menurunkan ketegangan antara China dan negara-negara Asia Tenggara, dengan mengatakan pada pertemuan puncak para pemimpin China-ASEAN pada bulan lalu bahwa China "sama sekali tidak akan mencari hegemoni atau menggertak (negara) yang kecil" di kawasan itu.

Rig sementara di Blok Tuna beroperasi hingga 19 November, setelah itu menuju perairan Malaysia. Menteri Koordinator Keamanan, Hukum dan Keamanan Mahfud Md pergi ke Laut Natuna pekan lalu. Dia mengatakan kunjungannya tidak ada hubungannya dengan China, tetapi mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Indonesia "tidak akan pernah menyerahkan satu inci pun" wilayahnya.

Pengeboran di Natuna selesai tepat waktu, menurut juru bicara Harbour Energy, operator Blok Tuna. Dalam konfrontasi serupa dengan China pada 2017, Vietnam memilih untuk meninggalkan kegiatan eksplorasinya.

Infografis Varian Baru Omicron Hantui Dunia

Infografis Varian Baru Omicron Hantui Dunia. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Varian Baru Omicron Hantui Dunia. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya