Meski Masih Dibalut Duka Korban COVID-19, Wuhan Rayakan Imlek dengan Kembang Api dan Bunga

Warga di Wuhan, China tetap merayakan Imlek meski masih dibalut rasa duka dari para korban COVID-19 yang meninggal.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Jan 2023, 15:02 WIB
Diterbitkan 23 Jan 2023, 15:02 WIB
Menengok Kondisi Terkini Kota Wuhan
Warga mengenakan masker berjalan di sebuah jalan di Wuhan di provinsi Hubei tengah China (3/3/2020). Sejauh ini, total 80.026 kasus virus corona terkonfirmasi di wilayah China daratan. (AFP/STR)

Liputan6.com, Wuhan - Tiga tahun setelah virus (yang awalnya disebut) misterius menyebabkan Kota Wuhan di China harus menjalani karantina yang mengerikan, masyarakat setempat merayakan kedatangan Tahun Kelinci dengan kembang api, karangan bunga dan persembahan untuk orang-orang terkasih yang telah tiada karena COVID-19.

Kebanyakan pembeli memborong bunga berwarna-warni di pasar bunga yang dipadati pengunjung pada Sabtu 21 Januari 2023 untuk menyambut Tahun Baru Imlek dan menikmati Festival Musim Semi. Namun, ada sebagian yang membeli bunga untuk alasan yang lebih mengharukan: berduka atas kematian orang yang dicintai karena direnggut dalam gelombang kasus COVID-19 terbaru.

"Saya punya kerabat dan keluarga yang meninggal belum lama ini," kata Zhang, pria berusia 54 tahun, kepada AFP sambil memegang seikat bunga krisan, yang melambangkan kesedihan dalam budaya China, dikutip dari VOA Indonesia, Senin (23/1/2023).

Ia menjelaskan bahwa tradisi Imlek di Provinsi Hubei, di mana Wuhan menjadi ibu kotanya, adalah mengunjungi rumah orang-orang yang baru meninggal untuk memberikan bunga dan membakar dupa sebagai persembahan.

Tepat pada tengah malam pergantian tahun, banyak warga yang melakukan tradisi itu. Situasi itu dimanfaatkan oleh para pedagang kaki lima menjual bertangkai-tangkai bunga krisan dan persembahan lainnya hingga Minggu (22/1) dini hari.

Pada saat yang sama, kembang api dinyalakan menghiasi kegelapan, meskipun terdapat larangan.

Pemerintah China mencabut kebijakan nol-COVID-19 yang ketat Desember lalu, tetapi kemudian gelombang infeksi melanda negara itu dan membunuh ribuan orang.

Wuhan, kota metropolitan di tepi Sungai Yangtze yang sekarang identik dengan COVID-19, melaporkan beberapa kasus pertama COVID-19 pada akhir 2019. Pada saat itu, COVID-19 adalah virus mematikan yang belum pernah terdeteksi sebelumnya.

Pihak berwenang kemudian memberlakukan penutupan wilayah yang ketat hanya dua hari sebelum perayaan Tahun Baru Imlek pada akhir Januari 2020 untuk menghentikan penyebaran virus.

Tak dapat merayakan Imlek, sebelas juta penduduk kota itu terputus dari dunia luar selama 76 hari, sedangkan Wuhan menjadi pusat epidemi yang menjadi sebuah pandemi global.

Cerita Bahagia Mahasiswa Asing Bisa Kembali ke Wuhan

Penerbangan dari Kota Pusat Wabah Virus Corona Ditutup
Penerbangan dari Wuhan Ditutup: Pelancong berjalan melintasi papan informasi tentang penerbangan dari Wuhan telah dibatalkan di Bandara Internasional Ibu Kota Beijing pada Kamis (23/1/2020). China menangguhkan semua transportasi dari dan ke kota pusat penyebaran virus corona. (AP/Mark Schiefelbein)

Dijauhkan dari China selama 2,5 tahun terakhir, kandidat doktoral Natalia Loseva akhirnya dapat kembali ke Tiongkok pada September 2022 dengan penerbangan charter khusus yang disediakan oleh Kementerian Pendidikan Rusia.

Setelah menjalani karantina selama delapan hari di Harbin, wanita berusia 33 tahun itu akhirnya berhasil kembali ke Wuhan pada Oktober 2022.

Loseva adalah satu di antara ribuan orang asing yang bisa kembali ke Wuhan dalam beberapa bulan terakhir setelah Beijing mulai melonggarkan pembatasan perjalanan.

Sejak Minggu (8/1), semua persyaratan karantina telah dihapuskan, setelah hampir tiga tahun protokol kesehatan yang ketat dijalankan.

Sebelum pandemi, Wuhan memiliki konsentrasi siswa internasional tertinggi di China. Kota ini sangat populer di kalangan mahasiswa kedokteran, lantaran di negara asal mereka biaya untuk menjadi dokter lebih lebih mahal.

Tidak ada angka resmi berapa banyak siswa yang diizinkan kembali, tetapi diperkirakan ribuan sudah bisa menginjakkan kakinya di Wuhan.

"Bagi saya, ini mendekati bab yang belum selesai yang telah membebani saya selama 2,5 tahun," kata Loseva.

"Saya tidak ingin mencari pekerjaan tetap karena awalnya saya pikir kami hanya akan pergi selama beberapa bulan dan saya siap untuk kembali. Siapa yang tahu bahwa itu akan berlangsung sangat lama?"

Loseva yang berkuliah di kampus Universitas Teknologi Wuhan mengatakan, "Ada begitu banyak batasan, seperti harus meminta izin meninggalkan universitas. Ini sangat nyata, kami tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya."

Cerita Lain dari Mahasiswa Afrika Selatan

Sejumlah Kota di China Perketat Aturan COVID-19
Orang-orang yang memakai masker berbaris untuk tes COVID-19 di fasilitas pengujian virus corona di Beijing, China, Jumat (12/8/2022). Tujuannya adalah untuk menghindari mengubah upaya untuk menghentikan wabah menjadi mimpi buruk yang berkepanjangan yang terlihat di Shanghai dan Wuhan. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Bukan hanya Loseva yang menghadapi masalah. Pekerja dan mahasiswa seperti Jocelyn Potgieter dari Afrika Selatan juga terkena dampaknya.

Potgieter (37) yang pertama kali datang ke kota pada tahun 2017 sebagai mahasiswa di Universitas Wuhan, meninggalkan kota itu dengan penerbangan evakuasi yang disediakan pemerintah pada Maret 2020.

Ia dihubungi pada pertengahan 2022 oleh perusahaannya dengan tawaran untuk pekerjaan lamanya.

"Saya akhirnya bisa mengajukan visa untuk kembali," kata dia.

Tapi ada banyak halangan yang harus dilewati, termasuk dokumen dalam jumlah banyak dan harga tiket pesawat yang selangit.

 

Terbang dari Kampung Halaman

Pesawat Pembawa Warga Jepang dari Wuhan
Pesawat charter yang membawa warga Jepang dari Wuhan, China, diparkir setelah mendarat di bandara internasional Haneda di Tokyo, Rabu (29/1/2020). Pesawat sewaan tersebut membawa pulang 206 warga negara Jepang dari Wuhan, pusat wabah virus corona. (AP/Eugene Hoshiko)

Akhirnya Potgieter memilih rute yang membawanya terbang dari rumahnya di Durban ke Johannesburg, melalui Doha ke Hong Kong dan kemudian ke Wuhan -- di mana ia dikarantina selama seminggu di fasilitas terpusat.

Potgieter mengatakan dia telah menghabiskan beberapa tahun terakhir menjalankan bisnis online sambil mencoba menemukan cara untuk kembali.

"Orang-orang tidak memahaminya, tapi saya masih memiliki daya tarik yang sangat kuat dengan China. Bagi beberapa orang mungkin ini soal urusan yang belum selesai, tetapi bagi saya rasanya seperti bisa pulang."

Infografis Cara China hingga Vietnam Tangani Virus Corona. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Cara China hingga Vietnam Tangani Virus Corona. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya