Kematian Mahasiswi UI Dikaitkan dengan Generasi Strawberry, Tingkat Depresi dan Kecenderungan Bunuh Diri

Kasus bunuh diri kembali terjadi. Mahasiswi Universitas Indonesia mengakhiri hidup beberapa hari sebelum wisuda. Kasus tersebut menambah deretan kasus bunuh diri di kalangan siswa dan mahasiswa di Tanah Air.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Mar 2023, 18:00 WIB
Diterbitkan 19 Mar 2023, 18:00 WIB
Ilustrasi bunuh diri (Arfandi/Liputan6.com)
Ilustrasi bunuh diri (Arfandi/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Kasus bunuh diri kembali terjadi. Mahasiswi Universitas Indonesia mengakhiri hidup beberapa hari sebelum wisuda. Kasus tersebut menambah deretan kasus bunuh diri di kalangan siswa dan mahasiswa di Tanah Air. Benarkah ini konsekuensi dari generasi rapuh?

Cempaka (bukan nama asli) berkisah tentang kawan kuliahnya yang mengalami depresi akibat putus cinta.

“Dia nangis berhari-hari setelah putus, sering histeris. Pernah kabur dari kos, jalan kaki. Saya ikuti dari belakang, karena khawatir keadaannya. Dia tidak mau pulang, sampai jam sebelas malam jalan kaki,” kata Cempaka kepada VOA.

Tentu Cempaka mengkhawatirkan kondisi mental kawannya yang sedang putus cinta itu. Mereka dulu sempat tinggal satu kos, tetapi kemudian terpisah karena kawannya cenderung menarik diri setelah mengalami tekanan akibat putus cinta.

Meski sekadar cerita percintaan, kisah semacam ini bukan persoalan sepele, dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu (19/3/2023).

“Dia bilang ke saya, kalau dia merasa sendiri, dan dia juga bilang kalau merasa ingin bunuh diri,” kata Kartika (nama samaran) dosen yang dekat dengan mahasiswa itu.

Kartika menyarankan mahasiswa itu untuk menemui konselor professional karena dia sadar tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk memberikan pendampingan.

Banyak kasus bunuh diri berawal dari depresi yang tidak menemukan jalan keluar, baik karena masalah asmara, keluarga, kuliah atau pertemanan. Di kalangan mahasiswa saja, sepanjang setahun terakhir bisa ditemukan pemberitaan bunuh diri yang tersebar di banyak kota. Pada September 2022, di Semarang setidaknya ada dua mahasiswa bunuh diri dan satu mencoba bunuh diri, dengan dua kasus disebabkan putus cinta.

Kasus serupa juga terjadi di Kediri, Makassar dan Jambi karena tugas kuliah. Mahasiswa di Universitas Gadjah Mada akhir tahun lalu juga bunuh diri, begitu pula dengan mahasiswa Universitas Indonesia yang mengakhiri hidup pekan lalu, hanya beberapa hari sebelum wisuda.

Kasus bunuh diri juga terjadi pada siswa sekolah, baik di tingkat menengah pertama maupun menengah atas.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) memprediksi depresi akan menjadi masalah gangguan kesehatan utama. Bunuh diri, yang menjadi isu ikutan, menjadi topik kesehatan serius. Pada 2019 diperkirakan ada 800 ribu orang meninggal akibat bunuh diri di seluruh dunia. WHO memang mengaitkan perilaku bunuh diri, baik itu ide, rencana, dan tindakan bunuh diri, dengan berbagai gangguan jiwa, seperti depresi. Ada 55 persen orang depresi yang memiliki ide untuk bunuh diri.

Di Asia Tenggara, Thailand mencatatkan jumlah rerata bunuh diri tertinggi, yaitu 12,9 orang per 100 ribu populasi, disusul Singapura (7,9), Vietnam (7,0), Malaysia (6,2), Indonesia (3,7), dan Philipina (3,7).

Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), sebuah survei kesehatan mental yang dipublikasikan akhir 2022 menyebut, satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental, dalam angka itu adalah 15,5 juta remaja. Sementara survei itu juga menemukan, satu dari dua puluh remaja Indonesia atau 2,45 juta remaja, memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.

Sayangnya, hanya 2,6 persen remaja dengan masalah kesehatan mental mau menggunakan fasilitas konseling.

 

Kencederungan Generasi Strawberry?

Ilustrasi  bunuh diri.
Ilustrasi bunuh diri. (dok. ArtWithTammy/Pixabay/Tri Ayu Lutfiani)

“Kasus bunuh diri pada mahasiswa akhir-akhir ini, dalam tiga bulan terakhir ini memang banyak, di beberapa tempat di Indonesia. Itu menjadi semacam alert atau alarm buat kita. Ada apa? Entah sistem pendidikannya, entah mahasiswanya sendiri, entah situasi pembelajarannya, tugas-tugasnya, atau apa?,” ujar psikiater dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada, Dr.dr. Ronny Tri Wirasto, Sp.KJ ketika dihubungi VOA.

Persoalan asmara atau tugas kuliah, menurut Ronny, hanyalah pemicu. Dia mengingatkan, ada ribuan mahasiswa memiliki persoalan serupa, tetapi hanya sebagian kecil yang bunuh diri. Pasti ada persoalan lain di belakang tindakan itu yang butuh dipelajari.

Apakah ini konsekuensi generasi strawberry? Menurut Ronny, situasinya tidak bisa disimpulkan dengan mudah.

Istilah generasi strawberry disematkan pada mereka yang lahir di akhir 90-an sampai saat ini. Generasi ini dinilai memiliki kreativitas tinggi, tetapi rapuh atau mudah hancur di dalam, seperti buah strawberry.

Ronny mengingatkan, setiap generasi memiliki tantangan sendiri, dan generasi lebih tua akan selalu menganggap generasi di bawahnya lembek. Di Indonesia misalnya, generasi 40-an akan merasa lebih kuat, karena mengalami perang, dibanding generasi 60-an. Sementara generasi 60-an juga akan menilai generasi 80-an lembek. Begitupun generasi 80-an, yang saat ini memiliki anak usia sekolah menengah atau mahasiswa, akan menilai anak-anak mereka lebih lembek.

“Generasi dulu sama saja, cuma rapuhnya di bagian yang lain. Situasinya sebenarnya sama. Senior yang kelahiran 70an, 80an, saat menghadapi masalah di masa lalu, ya strawberry juga,” tambah Ronny.

Namun Ronny mengakui ada yang berubah. “Dulu orang kalau marah, pelampiasannya berbeda. Misalnya berantem sama teman, merusak barang, membanting sesuatu. Sekarang berbeda, merasa lebih baik menyakiti diri sendiri, dibandingkan meluapkan emosi.”

Karena kecenderungan itu, anak muda sekarang bisa mengambil tindakan besar, seperti bunuh diri, karena sebab yang relatif kecil.

Ditemui terpisah, Direktur Eksekutif Daerah PKBI DI Yogyakarta Budhi Hermanto menilai penamaan generasi strawberry itu sendiri cenderung stigmatik. Dia mengakui, ada cukup banyak kasus depresi dan bunuh diri belakangan ini dibanding misalnya era 90-an. Namun, bisa jadi peningkatan kasus karena kenaikan jumlah penduduk, dan ekspos media yang lebih luas di era media sosial saat ini. Meski di sisi lain, bahwa ada sebagian anak muda yang rapuh, memang sebuah kenyataan.

Budhi lebih setuju, fenomena ini dikaitkan dengan tekanan yang lebih kompleks.

“Memang sekarang jauh lebih complicated pressure-nya,” kata Budhi.

Tekanan yang kompleks itu, antara lain disumbang kehadiran media sosial. Budhi memberi contoh, melakukan kesalahan adalah sebuah kewajaran. Namun di media sosial, sebuah kesalahan bisa melahirkan perundungan luar biasa. Kepercayaan diri anak muda bisa anjlok, akibat hal seperti ini.

 

Warisan Antargenerasi

Viral Curahan Hati Wanita Dulu Sering Dibully Fisik, Transformasinya Kini Bikin Pangling
Viral kisah pilu seorang wanita sering dibully fisik sampai ingin bunuh diri, kini berubah. (pexels/pixabay).

Mereka yang ada di rentang umur 15 - 30 tahun saat ini adalah anak-anak dari generasi 70an dan 80an. Menurut Dr.dr. Ronny Tri Wirasto, Sp.KJ, ada nilai-nilai berubah dari dua generasi ini karena tuntutan zaman yang berbeda, misalnya dari sisi teknologi.

“Itu yang mungkin membuat orang tua agak gagap, yang generasi 80-an ini. Gagapnya dia terhadap situasi, membuat generasi 70an dan 80an sebagai orang tua cenderung emosional sehingga tekanannya lebih besar ke anaknya,” kata Ronny.

Di sisi lain, generasi muda mengalami penurunan kemampuan berkomunikasi. Anak 90-an, kata Ronny, harus ke warung untuk makan. Proses bertemu orang lain di warung itu melatih perasaan dan kemampuan komunikasi. Anak-anak generasi digital cukup pencet-pencet di gadget dan makanan akan datang.

Karena tidak terlatih berkomunikasi dan meluapkan perasaan itu ketika menghadapi persoalan, anak-anak sekarang mencari jalan keluar sendiri.

Sementara Budhi Hermanto menyebut kemapanan ekonomi mayoritas orang tua di satu sisi dan semakin banyaknya tantangan anak muda di sisi lain juga menjadi faktor. Situasi rumah berubah drastis, karena perubahan kultur dan kehadiran teknologi.

“Di zaman dunia digital ini, ruang-ruang itu saya kira agak rapuh. Kita lihat di meja-meja makan, di rumah, ketika satu keluarga kumpul, di ruang tamu atau di ruang tengah, yang terjadi bukannya ngobrol. Tapi semua orang sibuk dengan gadget-nya masing-masing. Kualitas ini yang agak bermasalah, yang kemudian berpengaruh terhadap ketahanan mental,” ujar Budhi.

Fasilitas Konseling

Tidak semua keresahan anak muda harus diberi jalan keluar, baik oleh teman sebaya atau orang tua. Terkadang, hanya perlu didengarkan. Namun, kedekatan obrolan atau curhat itu, saat ini mengalami perubahan besar. Anak muda kehilangan pihak yang mau mendengarkan itu.

Karena itulah, PKBI, termasuk di Yogyakarta membuka ruang konseling dengan layanan dari para konselor profesional. Ratusan anak muda memanfaatkan layanan ini setiap tahunnya.

Budhi juga mendorong kampus-kampus membangun sistem melayani mahasiswa dalam kebutuhan serupa. Dalam pertemuan dengan forum guru Bimbingan dan Konseling (BK) sekolah, dia juga menyarankan adanya ruang ramah dan menyenangkan bagi siswa untuk curhat.

“Siapapun harus bisa curhat di sini. Dia yang lagi berantem sama kakaknya di rumah, berantem sama ibunya, yang lagi putus pacaran atau yang kesulitan untuk beradaptasi, semua harus bisa berkonsultasi di ruang BK,” tambah Budhi.

Di Universitas Gadjah Mada, seperti disampaikan Ronny, layanan konseling dan hotline juga disediakan. Selain itu, deteksi dini juga diupayakan.

“Deteksi awal biasanya dari dosen pembimbing akademik, karena mereka ketemu berkala,” ujarnya.

Dalam kasus Kartika sebagai dosen, upaya pendampingan yang dia berikan kepada mahasiswanya yang mengalami depresi sudah cukup berhasil. Setidaknya, mahasiswa tersebut kini memiliki kondisi kejiwaan lebih baik, setelah berkonsultasi dengan konselor di fasilitas kesehatan yang tersedia.

 

Beragam Faktor Pemicu

Tragis, Gagal Bunuh Diri, Gadis Ini Malah Didenda Pengadilan
Foto: pixabay.com

Ada istilah untuk mereka yang berpotensi melakukan tindakan bunuh diri, yaitu Orang dengan Kecenderungan Bunuh Diri (OKBD), yang merupakan proses panjang. Guru Besar Psikologi Klinis Universitas Gadjah Mada, Prof Sofia Retnowati menyebut faktor yang memicu seseorang bunuh diri antara lain biologis, sosial, psikologis, dan kultural. Bentuknya juga beragam, mulai dari tingkat religiusitas yang rendah, depresi, keadaan sosial ekonomi tidak baik, memiliki penyakit kronis, usia lanjut, hingga penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan.

Masih dalam daftar pemicu, adalah situasi atau kondisi yang kurang membahagiakan, misalnya putus cinta, perundungan, pelecehan seksual, bercerai, atau mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Penting bagi mereka yang berada di lingkaran seseorang dengan faktor pemicu semacam itu untuk memahami sejumlah tanda yang bisa dijadikan petunjuk ke arah kemungkinan bunuh diri.

“Sebelum bunuh diri, kebanyakan OKBD menunjukkan berbagai perubahan dalam perilakunya, baik verbal maupun nonverbal. Kondisi semacam itu, bisa dianggap sebagai tanda-tanda awal bunuh diri,” ujarnya.

Beberapa tanda awal itu adalah pernyataan keinginan bunuh diri kepada orang terdekat. Bisa juga ancaman melakukan bunuh diri atau bahkan sudah melukai diri sendiri. Mereka juga merasa menjadi beban bagi orang lain dan banyak membicarakan tentang keputusasaan dalam kehidupan. Secara umum, juga muncul tanda-tanda lain seperti merasa kesepian dan dikucilkan dari pergaulan, menarik diri dari pergaulan, sering membicarakan atau menulis tentang kematian, menunjukkan rasa cemas yang tinggi dan begitu kesal pada dirinya sendiri.

“Selain itu, terdapat juga tanda-tanda sekunder, misalnya gangguan tidur, merindukan orang terdekat yang sudah meninggal atau memiliki keinginan menghilang,” tambah Sofia.

Tanda sekunder lain di diri OKBD adalah ketika dia mengatakan bahwa waktu bagi dirinya telah tiba atau dalam bentuk lain, muncul pernyataan seperti “saat inilah waktu beristirahat”. Dia juga bisa sengaja menghentikan konsumsi obat medis, nafsu makan berkurang, kuatnya perasaan bersalah, dan bahkan menyiapkan perlengkapan kematiannya sendiri.

Di era media sosial semacam ini, unggahan yang janggal juga bisa dijadikan penanda. Bentuknya bisa berupa membuat status yang meresahkan, mengganti foto profil akun dengan ilustrasi atau simbol terkait dengan bunuh diri, memuat simbol kematian, sampai mematikan sementara akun media sosialnya.

Bagaimana Bersikap

Jika orang terdekat kita terlihat depresi, ada pedoman bersikap yang dipaparkan Profesor Sofia Retnowati.

Pertama adalah mendampingi dan menunjukkan kepedulian. Kedua, ketika melakukan pendekatan, jangan menunjukkan rasa khawatir berlebihan. Sikap semacam itu justru menjadikan mereka yang depresi merasa menjadi beban. Ketiga, hindari banyak memberikan nasehat dan cukup menjadi pendengar yang baik. Keempat, pastikan dia berada dalam kondisi aman dan tidak terdapat barang-barang yang berpotensi membahayakan diri.

“Berbicara dengan OKDB tentang apa yang mereka pikirkan dan rasakan, dapat sangat membantu mereka tetap bertahan,” ujar Sofia.

Berbagai lembaga juga menyediakan hotline layanan terkait kecenderungan bunuh diri. Kontak berbagai lembaga tersebut sangat mudah ditemukan melalui mesin pencari di internet. Mereka yang depresi, kawan atau keluarga disarankan untuk memanfaatkan layanan itu begitu melihat atau merasakan perubahan yang signifikan dan mengarah ke tindak bunuh diri.

Sebuah kontak telepon, mungkin bisa menyelamatkan satu nyawa.

Fenomena Bunuh Diri di Gunungkidul
Infografis mengenai kenali faktor-faktor risiko bunuh diri
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya