Menakar Pasar Karbon Indonesia dan Berkaca dengan Negara Pelopor Denmark, Sudah on The Track?

Apakah upaya maupun pencapaian carbon market (pasar karbon) yang dilakukan Indonesia sudah sesuai jika dibandingkan atau berkaca dengan negara pelopor soal transisi energi seperti Denmark? Ini kata ahli.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 01 Jun 2023, 10:18 WIB
Diterbitkan 29 Mei 2023, 11:08 WIB
Alke Rabinsa Haesra, analis dari Climate Policy Initiative Indonesia dalam workshop ketiga FPCI bekerja sama dengan Kedutaan Denmark di Jakarta bertajuk Carbon Market. (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)
Alke Rabinsa Haesra, analis dari Climate Policy Initiative Indonesia dalam workshop ketiga FPCI bekerja sama dengan Kedutaan Denmark di Jakarta bertajuk Carbon Market. (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)

Liputan6.com, Jakarta - Pencairan es di Kutub Utara maupun Kutub Selatan yang mengakibatkan naiknya muka air laut, kekeringan hingga banjir parah kian sering terjadi belakangan ini. Climate change atau krisis iklim sudah menjadi rahasia umum disebut sebagai salah satu penyebabnya yang sangat mengancam kehidupan manusia di masa depan.

Berakar dari persoalan tersebut, lahirlah Paris Agreement atau Perjanjian Iklim Paris pada 4 November 2016. Sebuah perjanjian internasional yang bertujuan untuk menjaga suhu rata-rata global agar tidak naik lebih dari 2 derajat Celcius di tingkat pra-industri dengan mengurangi emisi karbon secara dramatis.

Terlahirnya kebijakan internasional di Paris Agreement itu membuahkan Article 6; Refinancing Mechanism yang mengarahkan pada carbon pricing (harga karbon) di carbon market (pasar karbon) dalam. Sebuah upaya mencapai target agar dunia tidak memanas 4,1 derajat Celcius sampai.

Mengutip data Climate Policy Initiative Indonesia, target Indonesia sendiri ada di 2 derajat pathways dan -1,5 derajat pathways. Lalu bagaimana perkembangan carbon market (pasar karbon) Indonesia sejauh ini?

"Masih berkutat di carbon trading di PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), surplus emisi di PLTU dan carbon trading di bursa efek masih dalam tahap pengembangan," ujar Alke Rabinsa Haesra, Analis dari Climate Policy Initiative Indonesia dalam workshop ketiga Indonesian Climate Journalist Network (ICJN) yang digagas FPCI bekerja sama dengan Kedutaan Besar Denmark di Jakarta bertajuk Carbon Market pada pekan kedua Mei 2023.

"Untuk sektor lain selain PLTU belum ada, belum ada mekanismenya. Karena itu carbon market Indonesia masih early phase, masih tahap awal mulai," tambahnya.

Ketika ditanya apakah upaya maupun pencapaian carbon market yang dilakukan Indonesia sudah sesuai jika dibandingkan atau berkaca dengan negara pelopor soal transisi energi seperti Denmark, Alke menjawab bahwa langkah yang diambil sudah sesuai.

"Kalau dibilang Indonesia sudah berada di track lurus yang benar untuk carbon trading," tuturnya.

"Indonesia kan punya target 2060, negara lain itu target awalnya 2040 atau 2050 terutama negara maju. Dengan adanya carbon market bikin perusahaan comply (mematuhi) dengan peraturan carbon market, jadi target net zero itu maju," jelasnya.

Selain itu, Alke mengatakan saat ini di Indonesia yang sudah berjalan carbon credit di PLTU subsektor energi dan carbon trading emission yang sedang disiapkan oleh IDX, bursa efek Indonesia.

Menanggapi perihal penundaan pajak karbon yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani di awal Mei lalu, Alke mengatakan "Sri Mulyani bertindak hati-hati sebelum semua siap. Karena targetnya akan lebih besar karena bukan satu sub sektor saja."

"Ini (cakupannya) yang lebih luas bukan sekedar PLTU, tadinya kan perusahaan juga, tapi akan ditargetkan juga untuk masyarakat. Misalnya untuk mobil atau motor listrik atau solar rooftop."

"Karena ini akan berdampak besar terhadap ekonomi dibanding dengan PLTU aja, maka ditunda karena kesiapannya belum sampai di sana. Pertama, regulasinya juga harus lebih detail bukan cuma Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tapi juga Peraturan Menteri (Permen) yang lain. Itu butuh sinergi antar kementerian dengan effort yang lebih besar," tegasnya.

Kenapa Butuh Carbon Pricing?

Alke mengatakan carbon pricing dibutuhkan karena sudah menjadi kebijakan internasional di Paris Agreement di Article 6 Refinancing Mechanism di kesepakatan Paris Agreement. "Karena di antara negara-negara di dunia bahwa climate change itu sangat mengancam kehidupan manusia di masa depan," jelasnya.

Carbon pricing sendiri, papar Alke, secara konsep itu ada dua yakni direct dan indirect.

"Direct atau secara langsung itu terdiri dari carbon tax, ETS, Voluntary Carbon Markets. Indirect atau secara tak langsung contohnya adalah Fuel and commodity taxes dan fuel subsidies. Contohnya adalah subsidi ke fossil fuel, subsidi ditarik dan dialihkan pemerintah ke renewable energy."

Ahli: Indikator Pasar Karbon Sukses, Target Net Zero Cepat Tercapai

Alke Rabinsa Haesra, analis dari Climate Policy Initiative Indonesia dalam workshop ketiga FPCI bekerja sama dengan Kedutaan Denmark di Jakarta bertajuk Carbon Market. (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)
Alke Rabinsa Haesra, analis dari Climate Policy Initiative Indonesia dalam workshop ketiga FPCI bekerja sama dengan Kedutaan Denmark di Jakarta bertajuk Carbon Market. (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)

Analis dari Climate Policy Initiative Indonesia Alke Rabinsa Haesra lantas memberi contoh negara-negara yang sudah sukses dalam menerapkan carbon market.

"Misal negara Italia dan Skandinavia itu target net zero nya maju dari 2050 atau 2045 ke 2030, karena carbon market nya sudah lebih mature, transisi energinya lebih cepat, perusahaan-perusahaan itu shifting nya lebih cepat," tuturnya.

"Di Denmark, shifting dari fossil fuel (bahan bakar fosil) ke bio gas itu lebih cepat," ungkapnya lagi.

Alke kemudian menjelaskan seperti apa indikator suksesnya carbon market yang dijalankan oleh suatu negara.

"Indikatornya seperti apa berkaca dari negara maju, target net zero nya bisa jadi lebih cepat. Mungkin Indonesia yang awalnya 2060 bisa lebih awal jadi 2040, dengan akselerasi target transisi energi bisa lebih cepat implementasinya didorong dengan carbon market," paparnya lagi.

Dengan kata lain, menurut Alke, bisa dibilang jika carbon market suatu negara berjalan sukses, maka indikatornya terlihat dari kecepatan sebuah negara tersebut mencapai target net zero.

Kenapa Carbon Market Penting?

Alke Rabinsa Haesra, analis dari Climate Policy Initiative Indonesia dalam workshop ketiga FPCI bekerja sama dengan Kedutaan Denmark di Jakarta bertajuk Carbon Market. (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)
Alke Rabinsa Haesra, analis dari Climate Policy Initiative Indonesia dalam workshop ketiga FPCI bekerja sama dengan Kedutaan Denmark di Jakarta bertajuk Carbon Market. (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)

Analis dari Climate Policy Initiative Indonesia Alke Rabinsa Haesra menjelaskan mengapa carbon market itu penting dalam mencapai target net zero emission.

"Karena kita butuh market-based mechanism yang dapat mendorong perusahaan atau masyarakat untuk memulai aksi terhadap aksi net zero carbon untuk mencapai target perubahan iklim dunia di masing-masing negara," paparnya lagi.

"Carbon market itu sebenarnya adalah lower cost solution, jadi dengan adanya mandat dan kewajiban itu merupakan solusi yang lebih murah dibandingkan investasi di luar pemerintah," imbuhnya.

Selain itu, tambahnya lagi, carbon market itu mengalihkan arus keuangan untuk mengurangi biaya dari low carbon transition pathways terutama di developing countries. "Jadi negara maju, ada kelebihan surplus carbon, sementara project dibutuhkan oleh negara berkembang. Itu ada pertukaran di sana, jadi ada financial flows antara negara maju ke negara berkembang."

<p>Pentingnya carbon market menurut penjelasan analis dari Climate Policy Initiative Indonesia dalam workshop ketiga FPCI bekerja sama dengan Kedutaan Denmark di Jakarta bertajuk Carbon Market. (Climate Policy Initiative Indonesia)</p>

Alke juga menjelaskan bahwa carbon market ada dua yakni:

  1. Compliance carbon, disyaratkan pemerintah, obligasi. "Di term global sudah ditentukan oleh pemerintahnya sendiri carbon allowance nya berapa, kalau lebih dia harus off side carbonnya," ucap Alke.
  2. Voluntary carbon, adalah insiatif dari perusahaan di luar dari kewajiban pemerintah. Kalau di luar negeri tetap dicatat. "Ini menjadi reputasi lebih bagi perusahaan apabila bisa masuk ke voluntary market untuk off side carbon," imbuhnya.

Menurut Alke, dari tren pasar karbon sendiri sudah meningkat pesat sampai 2020. Jadi tren ke dapan akan terus meningkat. "Yearly -nya pun naik 31-35 % per tahun 2020 jika dibandingkan dengan 2019. Itu jumlah yang sangat besar."

Regulasi Pasar Karbon di Indonesia

Norma Hukum
Ilustrasi Hukum soal carbon market (pasar karbon) Credit: unsplash.com/Tingey

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa regulasi yang diterbitkan pemerintah terkait carbon prising, berikut ini menurut penuturan Alke:

  1. Undang-undang (UU) nomer 16 tahun 2026 soal Ratifikasi Paris Agreement, bahwa pemerintah telah mengakui adanya kebutuhan pendanaan iklim dan carbon pricing, carbon finance itu sebagai salah satu instrumen untuk mobilisasi climate finance
  2. UU No 7 tahun 2023 Harmonisasi Pajak, untuk mengakomodir pajak karbon
  3. PP 46 tahun 2017, instrumen tentang ekonomi lingkungan
  4. Peraturan Presiden (Perpres) No 98 tahun 2021 tentang penerapan carbon pricing untuk mencapai emisi target
  5. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) untuk panduan untuk implementasi GHG inventory dan Mitigasi di sektor energi.
  6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen KLHK) No 21 tahun 2022, untuk implementasi carbon pricing
  7. Ini yang terbaru Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) untuk carbon pricing di PLTU.

Kendati demikian menurut Alke, "sampai sekarang belum kelihatan pilot project untuk penerapan aturan itu untuk PLTU mana?"

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya