Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan sedang mencoba bertemu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Media Israel menyebut hubungan keduanya sedang hangat.
Wacana pertemuan ini beredar setelah politikus Partai Likud mengajukan ide untuk membagi dua wilayah Al Aqsa untuk pihak Muslim dan Yahudi. Rencana itu menuai penentangan dari pihak Palestina.
Partai Likud merupakan partai PM Netanyahu juga.
Advertisement
Dilaporkan The Times of Israel, Jumat (6/16/2023), Kantor PM Israel disebut sedang melakukan persiapan besar-besaran untuk menyusun pertemuan antara PM Netanyahu dan Presiden Erdogan. Hal itu sudah dikonfirmasi oleh seorang pejabat senior Israel ke saluran TV Channel 12.
Akan tetapi, pertemuan itu ternyata mengalami hambatan. Sumber-sumber diplomatik berkata Erdogan hanya mau bertemu jika Netanyahu mau memberikan kabar soal kerja sama gas antara Israel-Turki.
Turki sangat ingin membangun pipa gas untuk mengirim gas dari Israel ke Eropa, tetapi sejumlah pakar menyebut Israel kurang tertarik.
Hingga kini, masih belum diketahui di mana kedua pemimpin akan bertemu.
Saat ini, PM Netanyahu dilaporkan berusaha memperkuat hubungan diplomatiknya. Sebelumnya Presiden Amerika Serikat Joe Biden tidak memberikan undangan ke Netanyahu karena kontroversi perubahan hukum besar-besaran di Israel yang kontroversial.
Netanyahu juga tak kunjung mendapat undangan dari Uni Emirat Arab.
Israel dan Turki sudah punya hubungan diplomatik, meski hubungannya sempat panas-dingin. Pada 2022, Presiden Israel Isaac Herzog bertemu Erdogan di Ankara. Itu merupakan kunjungan penting pertama antara kedua negara sejak 2008. Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen juga bertemu Erdogan pada Februari lalu.
Politikus Israel Ingin Bagi Dua Wilayah Al Aqsa, Palestina Minta Tolong Indonesia
Politikus Israel mengajukan proposal untuk membagi dua wilayah Masjid Al Aqsa. Satu bagian untuk Muslim, bagian lainnya untuk Yahudi.
Proposal itu disampaikan oleh Amit Halevi dari partai Likud.Â
Dilaporkan Arab News, Rabu (14/6), Halevi ingin agar area pekarangan Dome of the Rock hingga batas utara Masjid Al Aqsa agar diberikan untuk pihak Yahudi.
Pihak Palestina khawatir bahwa proposal tersebut hanya permulaan saja untuk proyek yang besar dan berbahaya, sehingga dapat mengubah konflik politik Palestina-Israel menjadi perang agama yang menyebarkan kekerasan di wilayah Palestina.
Pihak Palestina dilaporkan meminta komunitas internasional untuk membantu menentang proposal politikus Israel itu. Empat negara yang disorot oleh Palestina adalah Turkiye, Malaysia, Indonesia, dan Mesir.
Pemerintah Yordania yang bertanggung jawab atas kepengurusan tempat suci Islam dan Kristen di wilayah Al Aqsa juga menyampaikan protes.
Ahmed Al-Ruwaidi, penasihat kepresidenan di urusan Yerusalem, menyebut rencana itu adalah upaya Israel untuk mengendalikan Yerusalem dan mencaplok Yerusalem Timur.
Advertisement
Politik Netanyahu
Selain itu Al-Ruwaidi berkata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memakai isu Masjid Al Aqsa untuk kepentingan politik. Al-Ruwaidi mengingatkan bahwa jika ada perang agama, maka semua orang akan merasakan dampak negatifnya.
Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh telah memberikan peringatan kepada otoritas Israel terkait penyampaian proposal tersebut oleh Halevi.
Pihak Palestina menyebut rencana pembagian wilayah Masjid Al Aqsa akan mengubah identitas Islaminya dan hanya membatasinya kepada ruang ibadah Al Qibli. Hal ini disebut mirip dengan program di Masjid Ibrahimi di Hebron ketika pihak Yahudi mendapat 75 persen ruang, sementara Muslim mendapat 25 persen saja.
Sebelumnya dilaporkan, kepala gereja Katolik Roma di Yerusalem Pierbattista Pizzaballa juga memperingatkan bahwa pemerintahan sayap kanan Israel pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah memperburuk kehidupan umat Kristen di tempat kelahiran agama Kristen.
Pizzaballa mengatakan bahwa serangan terhadap komunitas Kristen berusia 2.000 tahun di kawasan itu telah meningkat.
"Frekuensi serangan, agresi, telah menjadi sesuatu yang baru," kata Pizzaballa kepada seperti dilansir The Guardian, Jumat (14/4). "Orang-orang (pelaku) ini merasa dilindungi… bahwa suasana budaya dan politik sekarang dapat membenarkan atau menoleransi tindakan terhadap umat Kristen."