Liputan6.com, La Paz - Bolivia dilaporkan memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel. Negara Amerika Latin itu merupakan yang pertama di dunia yang memutuskan hubungan diplomatik sejak perang Hamas vs. Israel dimulai.
Pemutusan hubungan itu adalah bentuk protes dari tindakan Israel di Gaza.
Baca Juga
Dilaporkan The Jerusalem Post, Selasa (31/10/2023), Bolivia berkata Israel telah "melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan" atas serangannya di Gaza.
Advertisement
Hubungan Israel dan Bolivia sebenarnya baru kembali terjalin pada 2020 lalu. Pada 2009, Bolivia juga memutuskan hubungan diplomatik karena aksi Israel di Gaza.
Sebelumnya, hubungan antara Turki dan Israel juga retak akibat serangan terhadap Gaza. Presiden Recep Tayyip Erdogan juga menyebut bahwa Hamas merupakan pasukan pembebas, bukan teroris.
Menteir Luar Negeri Israel Eli Cohen lantas memanggil pulang diplomatnya dari Turki, meski tidak ada pemutusan hubungan diplomatik.
Presiden Erdogan juga batal mengunjungi Israel, padahal sebelumnya hubungannya dengan Benjamin Netanyahu sempat menghangat ketika keduanya bertemu di sela Sidang Majelis Umum PBB di New York pada September lalu.
Pemerintah Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel, namun sejumlah negara ASEAN memilikinya, seperti Singapura, Vietnam, Filipina, dan Thailand.
Sejarawan Israel: Respons Barat atas Krisis Gaza Munafik dan Standar Ganda Kejam
Sebelumnya, negara-negara Barat memberi Israel jaminan dalam melakukan genosida di Jalur Gaza. Demikian pernyataan keras dari seorang sejarawan terkemuka Israel-Inggris dan profesor emeritus hubungan internasional di Universitas Oxford Avi Shlaim yang disampaikannya dalam forum diskusi 'The War on Gaza: What's Next for Palestine?' di London, Inggris, pada Senin (30/10/2023).
Dukungan Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Uni Eropa, termasuk dukungan militer, dinilai Shlaim membuat mereka terlibat dalam pembantaian massal oleh Israel di Jalur Gaza.
"Respons Barat terhadap krisis ini adalah kemunafikan dan standar ganda yang kejam, namun kali ini sudah pada level baru. Kecintaan Barat terhadap Israel selalu menyertai, selalu bergantung pada penghapusan sejarah Palestina dan kemanusiaan," ujar Shlaim, seperti dilansir Middle East Eye, Selasa (31/10).
"Kekhawatiran mendalam terhadap keamanan Israel selalu ditegaskan kembali oleh para pemimpin Barat - namun tidak ada satupun pemikiran terkait keamanan Palestina."
Shlaim lahir pada tahun 1945 di Baghdad dari orang tua yang memiliki koneksi baik dan merupakan bagian dari minoritas Yahudi berusia ribuan tahun di Irak. Pada usia lima tahun, Shlaim terpaksa melarikan diri bersama keluarganya, menyusul pengeboman yang menargetkan orang-orang Yahudi di ibu kota Irak.
Sebagai salah satu "sejarawan baru" di Israel, Shlaim disebut adalah bagian dari kelompok yang menilai kembali sejarah negara tersebut dan sering menyoroti penindasan terhadap orang-orang Palestina.
Advertisement
Metafora Memotong Rumput
Shlaim mengatakan bahwa perlawanan Palestina telah di-dekontekstualisasi dan di-dehistorisisasi dan bahwa liputan media dan politik mengenai kekerasan yang sedang berlangsung di Gaza sebagian besar mengabaikan situasi sebelum serangan Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober.
"Konflik Israel-Hamas tidak dimulai pada 7 Oktober. Pada Juni 1967, Israel tidak hanya menduduki Gaza, tapi juga Tepi Barat dan Yerusalem. Ini adalah pendudukan militer yang paling berlarut-larut dan brutal di zaman modern," kata Shlaim.
"Para jenderal Israel punya ungkapan – memotong rumput. Ini adalah metafora yang mengerikan, artinya mereka tidak punya solusi terhadap masalah ini, tapi setiap beberapa tahun IDF bergerak dengan persenjataan paling canggih, mereka menghancurkan tempat itu (Gaza), menurunkan kemampuan militer Hamas ... ini adalah tindakan mekanis yang dilakukan secara berkala setiap beberapa tahun. Jadi, pertumpahan darah tidak akan ada habisnya dan perang berikutnya akan selalu terjadi."
Kondisi WNI di Gaza
Mengenai 10 Warga Negara Indonesia (WNI) yang masih berada di Gaza, Menlu Retno juga mengatakan bahwa seluruhnya berada dalam kondisi baik, sehat dan selamat.
"Baik dalam artian di tengah situasi yang sangat tidak baik, jadi alhamdulillah mereka sehat dan selamat," tuturnya.
Ia mengaku sempat hilang kontak selama dua hari dengan para WNI tersebut karena terputusnya koneksi internet, namun kemudian dapat kembali terhubung dan memastikan kondisi mereka baik.
Namun mengenai upaya evakuasi, Menlu Retno menyebut bahwa pihaknya tengah mengerahkan segala upaya melakukan evakuasi secara aman. Lantaran tingginya eskalasi konflik di wilayah tersebut, hingga saat ini belum ada satu negara pun yang dapat mengevakuasi warganya.
"Para menteri luar negeri itu sekarang tiap hari kontak, kami terus saling membantu. Apa yang kita bisa lakukan karena bagaimana mungkin kita melakukan evakuasi kalau tidak ada jaminan keamanan, karena yang kita inginkan adalah a safe evacuation," ungkapnya lagi.
Advertisement