Liputan6.com, Tel Aviv - Pemerintah negara yang dipimpin Benjamin Netanyahu mengeluarkan data revisi jumlah korban tewas akibat serangan kelompok Palestina Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu. Disebutkan bahwa jumlahnya menjadi sekitar 1.200 orang, dibandingkan perkiraan pemerintah sebelumnya sebanyak 1.400 orang.
"Sekitar 1.200 orang adalah jumlah resmi korban pembantaian 7 Oktober," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel Lior Haiat pada hari Jumat dalam pernyataan tertulis, menurut kantor berita Reuters.
Baca Juga
Angka tersebut telah diperbarui pada hari Kamis, kata Lior Haiat.
Advertisement
Menurut Haiat, jumlah tersebut direvisi karena jasad-jasad tak dikenal yang sebelumnya termasuk dalam penghitungan kemungkinan adalah milik Palestina," kata kantor berita AFP seperti dikutip Sabtu (11/11/2023).
"Ini adalah jumlah yang diperbarui," kata Haiat kepada AFP. “Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa ada banyak jasad yang tidak teridentifikasi dan sekarang kami mengira itu milik teroris … bukan korban warga Israel."
Dalam sebuah pernyataan yang mengkritik resolusi UNESCO pada Jumat (10/11/2023), Haiat memposting di X bahwa Hamas telah membunuh "sekitar 1.200 orang" dalam serangan itu.
Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa tidak ada pembenaran atas pengeboman Israel terhadap bayi, wanita, dan orang lanjut usia di Gaza.
Macron menyampaikan hal itu kepada BBC sehari setelah konferensi bantuan kemanusiaan di Paris mengenai perang Hamas Vs Israel sejak 7 Oktober. Dia menyerukan gencatan senjata, dengan mengatakan hal itu akan menguntungkan Israel.
Kesimpulan yang jelas dari semua pemerintah dan lembaga pada pertemuan puncak pada Kamis, tegas Macron, adalah bahwa tidak ada solusi lain selain pertama jeda kemanusiaan yang dilanjutkan dengan melakukan gencatan senjata, yang akan memungkinkan perlindungan semua warga sipil.
"De facto – saat ini, warga sipil dibom. Bayi-bayi ini, wanita-wanita ini, orang-orang tua ini dibom dan dibunuh. Jadi, tidak ada alasan untuk itu dan tidak ada legitimasi. Kami mendesak Israel untuk berhenti," ujar Macron, seperti dilansir The Guardian, Sabtu (11/11/2023).
Pemimpin Prancis tersebut mengatakan bahwa pihaknya jelas mengutuk serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober.
"Kami turut merasakan penderitaan (Israel)," kata Macron, namun dia menambahkan tidak ada pembenaran atas pengeboman yang sedang berlangsung terhadap warga sipil di Gaza.
"Sangat penting bagi kita semua karena prinsip kita, karena kita adalah negara demokrasi. Penting juga bagi keamanan Israel sendiri dalam jangka menengah hingga jangka panjang, untuk menyadari bahwa semua nyawa berharga," tutur Macron.
Revisi Data Setelah Sebulan Serangan 7 Oktober 2023
Adapun angka terbaru korban tewas dari Israel ini muncul lebih dari satu bulan setelah orang-orang bersenjata militan Palestina melakukan serangan terhadap kota-kota, kibbutzim, dan pangkalan militer di Israel selatan. Ini termasuk pembunuhan warga sipil Israel, baik perempuan dan anak-anak, di daerah pemukiman dan sebuah festival musik.
Pihak berwenang Israel juga mengatakan bahwa kelompok-kelompok Palestina juga menyandera lebih dari 240 orang selama serangan itu, termasuk tentara Israel dan warga sipil serta orang-orang dari berbagai negara asing.
Israel meresponsnya dengan memutus akses terhadap makanan, listrik, dan bahan bakar bagi lebih dari 2,3 juta penduduk Jalur Gaza dan menggempur wilayah tersebut dengan kampanye pengeboman tanpa henti.
Serangan udara Israel tanpa henti telah meratakan seluruh lingkungan, menyebabkan lebih dari 70 persen penduduk Gaza mengungsi, dan menewaskan 11.078 orang, menurut pihak berwenang Palestina.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa serangan Israel terhadap Gaza sama dengan hukuman kolektif terhadap masyarakat yang tidak mempunyai pilihan untuk mencari tempat berlindung yang aman, dan kondisi kemanusiaan di jalur tersebut semakin buruk.
Advertisement
11.078 Warga Palestina di Gaza Tewas Akibat Serangan Israel, Serangan ke Rumah Sakit Picu Eksodus ke Selatan
Ribuan warga Palestina yang berlindung dari perang Hamas Vs Israel di Al-Shifa, rumah sakit utama Kota Gaza, melarikan diri ke selatan pada Jumat (10/11/2023), setelah sejumlah laporan menyebutkan terjadi serangan di dan sekitar kompleks. Mereka bergabung dengan eksodus warga Gaza utara, di mana serangan Israel juga terus terjadi.
Militer Israel sebelumnya menuduh infrastruktur Hamas berbasis di rumah sakit dan lingkungan Kota Gaza, serta pusat komandonya berada di dalam dan di bawah Rumah Sakit al-Shifa. Klaim yang telah dibantah Hamas.
Israel telah berjanji menghancurkan Hamas pasca serangan mematikan kelompok itu ke Israel selatan pada 7 Oktober, yang menewaskan sedikitnya 1.200 orang - jumlah korban telah diralat oleh Israel.
Menurut Israel, lebih dari 100.000 warga Palestina telah melarikan diri ke selatan selama dua hari terakhir.
Serangan yang dilaporkan terjadi di atau dekat setidaknya empat rumah sakit di Gaza utara pada Jumat menggarisbawahi bahaya bagi puluhan ribu orang lainnya yang memadati rumah sakit karena percaya bahwa itu merupakan tempat berlindung yang aman.
Juru bicara otoritas kesehatan Gaza Ashraf al-Qidra menuturkan bahwa pada Jumat pagi, setidaknya tiga serangan selama beberapa jam menghantam halaman dan departemen kebidanan Rumah Sakit al-Shifa.
Al-Qidra menyalahkan serangan itu pada Israel, sementara tentara Israel mengatakan satu serangan terhadap Rumah Sakit al-Shifa adalah akibat dari kesalahan tembakan yang dilakukan kelompok militan yang menargetkan pasukannya di dekatnya.
Otoritas kesehatan Gaza menyebutkan bahwa selama berminggu-minggu, puluhan ribu warga Palestina di Gaza, yang dilaporkan mencapai 60.000 orang pada pekan ini, berlindung di kompleks Rumah Sakit al-Shifa.
Tidak jelas berapa banyak yang masih bertahan di Rumah Sakit al-Shifa, namun disebutkan sebagian besar telah keluar.
"Serangan-serangan ini bertujuan untuk menakut-nakuti orang dan berhasil," kata Haneen Abu Awda (32), yang berada di al-Shifa untuk dirawat karena luka akibat serangan di rumahnya, seperti dilansir AP, Sabtu (11/11).
Laporan The Guardian yang mengutip otoritas kesehatan Gaza menyebutkan bahwa hingga Jumat, 11.078 warga Palestina di Jalur Gaza tewas akibat serangan Israel sejak 7 Oktober, termasuk di antaranya 4.506 anak-anak.
Aliran pengungsian Kota Gaza direkam oleh juru foto lokal, Motaz Azaiza.
"Warga Gaza meninggalkan Kota Gaza untuk melarikan diri dari invasi Israel ke kota mereka," tulis Motaz.
Israel Setuju Berhenti Serang Gaza, Tapi Durasi 4 Jam Sehari
Sebelumnya, Gedung Putih mengumumkan bahwa Israel telah setuju jeda (pause) perang di Jalur Gaza. Akan tetapi, jeda itu hanya berlaku empat jam sehari.
Dilaporkan VOA, Kamis (9/11/2023), Israel akan memulai jeda pada Kamis waktu setempat. Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby berkata jeda itu akan digunakan agar warga Gaza menyelamatkan diri ke daerah selatan.
"Kami telah diberitahu oleh pihak Israel bahwa tidak ada operasi militer di area-area ini selama durasi jeda," ucap Kirby.
Ia berkata ide jeda ini muncul lewat diskusi antara Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Terkait gencatan senjata (ceasefire), Al Jazeera menyebut ada juga diskusi antara AS, Qatar, dan Hamas terkait penukaran tawanan. Media lokal Israel berkata ada diskusi terkait pembebasan tahanan Palestina agar orang-orang yang diculik Hamas bisa bebas.
Informasi itu berasal dari sejumlah pejabat Israel yang namanya enggan disebut. Israel berkata siap membebaskan para tahanan agar sebagian besar tawanan Hamas bisa bebas. Diskusi pembebasan ini juga terkait dengan wacana gencatan senjata.
Advertisement