Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres telah menggunakan Article 99 of the UN Charter atau Pasal 99 Piagam PBB, mendesak Dewan Keamanan (DK) PBB untuk bertindak atas perang di Gaza.
Langkah yang jarang terjadi pada Rabu 6 Desember 2023 ini terjadi ketika DK PBB yang beranggotakan 15 negara belum mengadopsi resolusi yang menyerukan gencatan senjata antara Israel, Hamas dan sekutu mereka.
Baca Juga
Pasal 99 memperbolehkan Sekjen PBB untuk "mengajukan kepada Dewan Keamanan setiap permasalahan yang menurut pendapatnya dapat mengancam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional".
Advertisement
Dalam suratnya kepada presiden dewan tersebut, seperti dikutip dari Al Jazeera, Guterres menyatakan tanggung jawab ini, dengan mengatakan bahwa dia yakin situasi di Israel dan wilayah Palestina yang diduduki, "dapat memperburuk ancaman yang ada terhadap pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional".
Guterres – yang telah menyerukan "gencatan senjata kemanusiaan segera" sejak 18 Oktober – juga menggambarkan "penderitaan manusia yang mengerikan, kehancuran fisik dan trauma kolektif di seluruh Israel dan wilayah Palestina yang diduduki".
Pasal 99 Piagam PBB adalah wewenang khusus – dan satu-satunya alat politik independen yang diberikan kepada Sekretaris Jenderal dalam Piagam PBB – yang memungkinkan Sekretaris Jenderal mengadakan pertemuan Dewan Keamanan atas inisiatifnya sendiri untuk mengeluarkan peringatan mengenai ancaman baru terhadap perdamaian dan keamanan internasional, dan hal-hal yang belum menjadi agenda dewan.
Menanggapi surat Guterres, anggota Dewan Keamanan Uni Emirat Arab memposting di X yang mengatakan bahwa mereka telah menyerahkan rancangan resolusi baru kepada dewan, dan "menyerukan agar resolusi gencatan senjata kemanusiaan segera diadopsi". Seraya memperingatkan bahwa situasi di Gaza adalah sebuah bencana besar dan hampir tidak dapat diubah, dan menambahkan: "Kita tidak bisa menunggu."
Jika DK memilih untuk bertindak berdasarkan saran Guterres dan mengadopsi resolusi gencatan senjata, DK mempunyai wewenang tambahan untuk memastikan resolusi tersebut diterapkan, termasuk wewenang untuk menjatuhkan sanksi atau mengizinkan pengerahan pasukan internasional.
12 anggota dewan lainnya memberikan suara mendukung, sementara Rusia dan Inggris abstain.
AS menggunakan hak veto tersebut pada tanggal 18 Oktober untuk menentang resolusi yang mengutuk serangan Hamas terhadap Israel dan menyerukan penghentian pertempuran untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
Indonesia salah satu yang setuju menggunakan hak veto untuk mengakhiri perang Israel-Hamas di Gaza di bawah Pasal 99 Piagam PBB.
"Indonesia mendukung langkah Sekjen PBB yang mengirimkan surat kepada DK PBB di bawah Pasal 99 Piagam PBB. Surat tersebut pada intinya menyampaikan bahwa situasi di Gaza sudah mengancam perdamaian dan keamanan internasional," jelas Juru Bicara (jubir) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Lalu Muhammad Iqbal dalam keterangan tertulisnya yang diterima Sabtu (9/12/2023).
Sejalan dengan Posisi Indonesia Atas Konflik Israel-Hamas di Gaza
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Lalu Muhammad Iqbal juga mengatakan bahwa surat kepada DK PBB di bawah Pasal 99 Piagam PBB itu juga sesuai dengan posisi Indonesia selama ini, terkait perang Israel-Hamas di Gaza.
"Surat Sekjen tersebut diharapkan memberikan tekanan kepada DK PBB dan memberikan dasar bagi DK PBB untuk mengambil langkah politik segera dan tegas," ungkap Lalu Muhammad Iqbal.
Isi surat Sekjen tersebut sejalan dengan posisi Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Menlu RI di berbagai forum, khususnya pidato Menlu RI di PBB tanggal 24 Oktober 2023 lalu," imbuhnya.
Dengan surat Sekjen PBB tersebut, sambung Iqbal, diharapkan dalam waktu dekat Dewan Keamanan PBB akan mengambil langkah penting terkait situasi di Gaza.
Advertisement
Sepanjang Usia PBB, Pasal 99 Piagam PBB Baru 3 Kali Digunakan
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, sepanjang usia PBB baru 3 kali pasal tersebut digunakan.
"Bahkan Sekjen Guterres baru kali ini menggunakan pasal tersebut selama masa jabatannya," tutur Iqbal.
Dengan surat Sekjen PBB tersebut, Iqbal menambahkan, diharapkan dalam waktu dekat Dewan Keamanan PBB akan mengambil langkah penting terkait situasi di Gaza.
"Menteri Luar Negeri (Menlu) RI terus berkomunikasi dengan berbagai pihak yang dianggap memiliki pengaruh di DK PBB, untuk meyakinkan agar tidak ada negara Anggota Tetap DK PBB yang menggunakan hak veto-nya," jelas Iqbal.
Adapun pada tanggal 7 Desember Menlu RI melakukan pembicaraan pertelepon dengan Menlu Uni Eropa. Pada hari yang sama Menlu RI juga melakukan pertemuan dengan Dubes-Dubes Uni Eropa di Jakarta.
Sementara pada 8 Desember, Menlu RI bertemu khusus dengan Dubes Prancis yang salah satunya membahas isu tersebut.
Bencana Akan Segera Terjadi
Sekjen PBB Guterres mengatakan kurangnya tindakan Dewan Keamanan dan memburuknya situasi di Gaza telah memaksanya untuk menerapkan Pasal 99 Piagam PBB, untuk pertama kalinya sejak ia menjabat posisi puncak di PBB pada tahun 2017.
Dia memperingatkan ketertiban umum di Gaza akan segera rusak, di tengah keruntuhan total sistem kemanusiaan.
"Situasi ini dengan cepat memburuk menjadi sebuah bencana dengan dampak yang berpotensi tidak dapat diubah lagi bagi warga Palestina secara keseluruhan dan bagi perdamaian dan keamanan di kawasan," tulisnya seperti dikutip dari Al Jazeera.
"Hasil seperti itu harus dihindari bagaimanapun caranya."
Namun seruan Guterres terhadap Pasal 99 Piagam PBB tidak disambut baik oleh Duta Besar Israel untuk PBB, Gilad Erdan.
Dalam sebuah postingan di X, Erdan menggambarkan surat itu sebagai "bukti lebih lanjut" dari “distorsi moral dan biasnya terhadap Israel" yang dilakukan Guterres.
“Seruan Sekretaris Jenderal untuk melakukan gencatan senjata sebenarnya adalah seruan untuk mempertahankan teror Hamas di Gaza," kata Erdan, yang juga mengulangi seruannya agar Guterres mengundurkan diri.
Piagam PBB hanya memberikan kekuasaan terbatas kepada Sekretaris Jenderal PBB, yang menjabat sebagai Kepala Pejabat Administratif PBB dan dipilih oleh negara-negara anggota.
"Fakta bahwa alat ini tidak digunakan sejak tahun 1989 memang bergema secara diplomatis dan simbolis di sini di New York," Daniel Forti, analis senior advokasi dan penelitian PBB di International Crisis Group, mengatakan kepada Al Jazeera.
Namun Forti menambahkan bahwa hal itu tidak akan “secara mendasar mengubah perhitungan politik anggota Dewan Keamanan yang paling berkuasa".
Advertisement