Kapal Perusak AS Tembak Balik Rudal Milik Pemberontak Yaman

Sebuah kapal perusak Amerika Serikat menembak jatuh dua rudal balistik anti-kapal yang ditembakkan dari Yaman pada Sabtu (30 Desember).

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 31 Des 2023, 18:35 WIB
Diterbitkan 31 Des 2023, 18:35 WIB
Kapal perusak Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Jepang berlayar selama latihan pertahanan rudal bersama di perairan internasional pantai timur Semenanjung Korea, Senin (17/4/2023). (Dok. Kementerian Pertahanan Korea Selatan via AP)
Kapal perusak AL Korea Selatan Yulgok Yi I, kapal perusak peluru kendali AL Amerika Serikat USS Benfold, dan kapal perusak Pasukan Bela Diri Maritim Jepang Atago berlayar selama latihan pertahanan rudal bersama di perairan internasional pantai timur Semenanjung Korea, Senin (17/4/2023). (Dok. Kementerian Pertahanan Korea Selatan via AP)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah kapal perusak Amerika Serikat menembak jatuh dua rudal balistik anti-kapal yang ditembakkan dari Yaman pada Sabtu (30 Desember).

Aksi ini dilakukan sebagai tanggapan atas permintaan bantuan dari sebuah kapal kontainer yang terkena serangan terpisah, kata militer Amerika Serikat.

Rudal-rudal tersebut diluncurkan dari wilayah yang dikuasai pemberontak Houthi yang didukung Iran, kata Komando Pusat AS (CENTCOM) dalam sebuah unggahan di media sosial.

Pihaknya menggambarkan aksi ini sebagai “serangan ilegal ke-23 yang dilakukan Houthi terhadap pelayaran internasional” sejak 19 November, dikutip dari laman Channel News Asia, Minggu (31/12/2023).

Kelompok Houthi telah berulang kali menargetkan kapal-kapal di jalur pelayaran penting Laut Merah dengan serangan yang mereka katakan untuk mendukung warga Palestina di Gaza, tempat Israel memerangi kelompok militan Hamas.

CENTCOM mengatakan bahwa USS Gravely dan USS Laboon – keduanya kapal perusak – menanggapi permintaan bantuan dari Maersk Hangzhou, sebuah kapal kontainer berbendera Singapura.

Saat merespons, Gravely menembak jatuh rudal tersebut, yang ditembakkan "ke arah kapal", katanya.

Serangan yang dilakukan oleh pemberontak Yaman membahayakan rute transit yang membawa hingga 12 persen perdagangan global, sehingga mendorong Amerika Serikat untuk membentuk satuan tugas angkatan laut multinasional awal bulan ini untuk melindungi pelayaran Laut Merah.

Putaran terakhir konflik Israel-Hamas dimulai ketika kelompok militan Palestina melakukan serangan mengejutkan lintas batas dari Gaza pada 7 Oktober yang menewaskan sekitar 1.140 orang, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan AFP berdasarkan angka-angka Israel.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Bantuan Militer AS ke Israel

Ilustrasi bendera Amerika Serikat (AFP Photo)
Ilustrasi bendera Amerika Serikat (AFP Photo)

Setelah serangan itu, Amerika Serikat bergegas memberikan bantuan militer ke Israel, yang telah melakukan kampanye tanpa henti di Gaza yang telah menewaskan sedikitnya 21.672 orang, sebagian besar adalah warga sipil, menurut kementerian kesehatan di wilayah yang dikelola Hamas.

Kematian mereka telah memicu kemarahan yang meluas di Timur Tengah dan mendorong terjadinya serangan oleh kelompok bersenjata di seluruh wilayah yang menentang Israel.

Pasukan AS di Irak dan Suriah juga berulang kali mendapat kecaman akibat serangan pesawat tak berawak dan roket yang menurut Washington dilakukan oleh kelompok bersenjata yang didukung Iran.


Pengamat: Zona Demiliterisasi Jadi Upaya Israel Kontrol Gaza, Tapi Hamas Masih Kuat

Pasukan IDF beroperasi di Jalur Gaza dalam foto selebaran yang dirilis 25 Desember 2023. (Israel Defense Forces (IDF)/Pasukan Pertahanan Israel) ​
Pasukan IDF beroperasi di Jalur Gaza dalam foto selebaran yang dirilis 25 Desember 2023. (Israel Defense Forces (IDF)/Pasukan Pertahanan Israel) ​

Bicara soal kondisi di Gaza, Pengamat Politik Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi menilai bahwa upaya pembentukan Zona Demiliterisasi di Gaza adalah bagian dari upaya Israel untuk mengontrol kembali wilayah tersebut yang sudah ditolak oleh dunia internasional.

"Zona Demiliterisasi di Gaza itu artinya Israel dapat mengalahkan, mengeliminasi Hamas. Tapi realitasnya, pada saat ini, Israel belum bisa melumpuhkan hamas," kata Yon Machmudi, saat dihubungi oleh Liputan6.com, Kamis (28/12/2023).

 "Kecenderungannya karena posisi Hamas sangat kuat, dan tidak hanya Hamas berjuang di Gaza, tapi juga faksi-faksi bersenjata lainnya."

"Dan itu didukung oleh mayoritas pendukung Gaza. Saya kira, ide ini bagian dari cara Israel untuk mengontrol kembali Gaza dan itu sebenarnya sudah ditolak dunia internasional."

Yon Machmudi menyebut, kalaupun ada demiliterisasi maka harus bagian dari kelanjutan negosiasi Two State Solution.

"Tanpa itu, artinya demiliterisasi mengukuhkan penjajahan Israel di Gaza, yang selama ini Gaza tidak terintervensi oleh kekuatan militer Israel maupun juga pemukiman-pemukiman baru."

Obsesi perang di bawah Netanyahu dinilai oleh Yon Machmudi cenderung mengarah pada genosida terstruktur, masif, menghalangi akses kemanusiaan, menghambat akses penduduk terhadap kebutuhan pokok.

"Berpotensi penduduk Gaza itu mengalami kelaparan dan bisa mengakibatkan kematian yang bersifat massal," kata Yon Machmudi.

"Di samping tentu pengeboman-pengeboman yang jumlahnya dalam bentuk kolektif. puluhan dan ratusan meninggal dalam bersamaan."

"Menurut saya ini bagian dari genosida. Yang perlu diketahui bahwa kita harus memperhatikan bahwa keinginan Israel dalam hal ini menahan agar Palestina tak merdeka."


Berpotensi Ada Nakbah

Kamp Darurat Muwasi Gaza Palestina
Muwasi dinilai jadi tempat yang aman bagi warga Gaza untuk mengungsi dari serangan Israel. Namun, kota kecil di pinggiran pantai di Gaza ini kini semakin penuh sesak. (AP Photo/Fatima Shbair)

Senada dengan Yon Machmudi, Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah menilai bahwa ambisi Israel membangun Zona Demiliterisasi sulit dipercaya lantaran dalam praktiknya nanti, akan mempercepat terwujudnya Nakbah.

"Dimana seluruh bangunan, rumah, nama jalan, fasilitas umum dan fasilitas sosial akan berganti nama, menjadi beridentitas Yahudi," kata Teuku Rezasyah saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (28/12/2023).

"Warga Palestina akan semakin terpinggirkan di tanah air mereka sendiri, dan menghuni pemukiman tak kayak huni."

"Sebagian dari mereka akan mengungsi ke Gaza bagian Selatan, karena terawasi oleh PBB dan media Internasional."

Infografis Keprihatinan Serangan Militer Israel di Gaza Selatan
Infografis Keprihatinan Serangan Militer Israel di Gaza Selatan (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya