Bernardo Arevalo Sah Jadi Presiden Guatemala yang Baru Setelah Berkali-kali Dijegal Rezim Lama

Bernardo Arevalo memenangkan pemilu pada Agustus 2023 dengan selisih yang cukup besar, namun sejak itu tidak ada hasil yang jelas.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 16 Jan 2024, 16:08 WIB
Diterbitkan 16 Jan 2024, 16:08 WIB
Pelantikan Bernardo Arevalo sebagai Presiden Guatemala
Presiden baru Guatemala Bernardo Arevalo melambaikan tangan setelah dilantik di Pusat Kebudayaan Miguel Angel Asturias di Guatemala City, pada tanggal 14 Januari 2024. (JOHAN ORDONEZ/AFP)

Liputan6.com, Guatemala City - Bernardo Arevalo, presiden baru Guatemala, menghadapi tantangan besar setelah dia akhirnya disumpah pada Senin (15/1/2024), pasca upaya berbulan-bulan untuk menggagalkan pelantikannya.

Para legislator lama menunda pengambilan sumpah Arevalo selama 10 jam pada Minggu (14/1), hingga upacara berlangsung tepat setelah tengah malam.

Arevalo memenangkan pemilu pada Agustus 2023 dengan selisih yang cukup besar, namun sejak itu tidak ada hasil yang jelas. Dia mengaku akan meminta pengunduran diri Jaksa Agung Consuelo Porras, yang mengawasi manuver hukum selama berbulan-bulan untuk mencegah dia menjadi presiden, namun tidak jelas apakah dia bisa menyingkirkannya.

Dalam pidato pelantikannya, Arevalo mengakui besarnya populasi penduduk asli di negara tersebut, menyebutnya, "Utang bersejarah … yang harus kita selesaikan."

Sekitar 40 persen penduduk Guatemala merupakan salah satu dari sekitar dua lusin kelompok masyarakat adat dan mereka umumnya lebih miskin dan kurang memiliki akses terhadap segala jenis layanan.

"Demokrasi tidak akan ada tanpa keadilan sosial dan keadilan sosial tidak akan terwujud tanpa demokrasi," kata Arevalo dalam pidato pertamanya sebagai presiden, mengacu pada generasi muda dan penduduk asli Guatemala, seperti dilansir AP, Selasa (16/1).

Langkah pertama Arevalo sebagai presiden adalah mengunjungi lokasi di luar Kantor Kejaksaan Agung, di mana para pengunjuk rasa masyarakat adat berjaga selama lebih dari tiga bulan untuk menuntut pihak berwenang menghormati keinginan pemilih dan agar Porras mundur. Dia memuji para pengunjuk rasa karena membela demokrasi negaranya.

Hal ini merupakan isyarat penting dari Arevalo, yang pekan lalu dikritik karena hanya memasukkan satu warga Pribumi ke dalam kabinetnya padahal masyarakat adat telah dengan gigih mendukungnya. Pada Oktober, ratusan orang memblokir jalan raya di seluruh negeri selama tiga minggu untuk menekan pihak berwenang.

Para pemimpin adat mengambil kesempatan pada Senin ini untuk mendesak Arevalo agar tidak melupakan dukungan mereka dan banyaknya kebutuhan dasar komunitas mereka. Protes masyarakat adat dan pedesaanlah yang disebut membantu menghentikan upaya jaksa agung memenjarakan Arevalo atau mengadilinya setelah dia terpilih.

Pada Minggu, ratusan pendukung Arevalo menerobos garis polisi untuk berkumpul di luar Kongres guna menekan anggota parlemen agar mengikuti Konstitusi Guatemala.

Anggota Kongres seharusnya menghadiri pelantikan sebagai sidang khusus legislatif. Para anggota parlemen akhirnya saling berteriak dan terlibat dalam pertikaian sengit mengenai siapa yang harus diakui sebagai bagian dari delegasi kongres.

Komisi kepemimpinan yang bertugas melakukan hal tersebut dipenuhi oleh para penentang presiden terpilih dan penundaan pada hari Minggu dipandang sebagai taktik untuk melemahkan Arevalo.

Upaya Menjegal Arevalo Berkali-kali

Pelantikan Bernardo Arevalo sebagai Presiden Guatemala
Presiden baru Guatemala Bernardo Arevalo (kanan) berdiri di samping Wakil Presiden baru Karin Herrera dalam upacara pelantikannya di Pusat Kebudayaan Miguel Angel Asturias di Guatemala City, pada tanggal 14 Januari 2024. (JOHAN ORDONEZ/AFP)

Sebagai seorang akademisi progresif yang berubah menjadi politikus dan putra seorang presiden Guatemala yang berjasa dalam melaksanakan reformasi sosial penting pada pertengahan Abad ke-20, Arevalo menjadikan perlawanan terhadap korupsi yang mengakar di Guatemala sebagai janji kampanye utamanya.

"Kami tidak akan membiarkan institusi kita tunduk lagi pada korupsi dan impunitas," tegas Arevalo dalam pidato pengukuhannya.

Namun, hal itu juga tidak mudah. Para pengamat menilai sikap antikorupsi dan statusnya sebagai "orang luar" merupakan ancaman terhadap kepentingan yang mengakar di negara Amerika Tengah tersebut.

Presiden Alejandro Giammattei, yang banyak dikritik karena mengikis lembaga-lembaga demokrasi negara, tidak menghadiri pelantikan tersebut.

Pendukung Arevalo terpaksa menunggu berjam-jam untuk merayakan perayaan pelantikan di Plaza de la Constitucion yang merupakan simbol Guatemala City, namun semangat mereka dilaporkan tetap tinggi. Bagi banyak warga Guatemala, pelantikan tersebut tidak hanya mewakili puncak kemenangan Arevalo dalam pemilu, namun juga keberhasilan mereka mempertahankan demokrasi di negara tersebut.

"Saya sangat senang," kata pensiunan guru Manuel Perez (60), sambil menari mengikuti band yang memainkan musik salsa.

"Saya di sini karena saya orang Guatemala dan saya mencintai negara saya. Saya berharap untuk kehidupan yang lebih baik bagi semua orang. Kami akan berada di sini untuk merayakannya sampai fajar."

Jaksa berusaha menangguhkan Partai Gerakan Benih yang dipimpin Arevalo – sebuah langkah yang dapat mencegah para legislatornya memegang posisi kepemimpinan di Kongres – dan mencabut kekebalan Arevalo sebanyak tiga kali.

Gerakan Benih dituduh melakukan pelanggaran dalam mengumpulkan tanda tangan untuk mendaftar sebagai sebuah partai beberapa tahun sebelumnya, bahwa para pemimpinnya mendorong pendudukan universitas negeri selama sebulan, dan bahwa ada kecurangan dalam pemilu. Pengamat internasional membantah hal itu.

Dukungan AS

Pelantikan Bernardo Arevalo sebagai Presiden Guatemala
Para pendukung Presiden terpilih Guatemala Bernardo Arevalo, bersorak saat ia dilantik, di luar Pusat Kebudayaan Miguel Angel Asturias di Guatemala City, pada tanggal 14 Januari 2024. (MARTIN BERNETTI/AFP)

Arevalo mendapat dukungan awal dan kuat dari komunitas internasional. Uni Eropa, Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) dan pemerintah Amerika Serikat (AS) berulang kali menuntut penghormatan terhadap suara rakyat.

Washington melangkah lebih jauh dengan memberikan sanksi kepada pejabat Guatemala dan warga negara yang dicurigai merusak demokrasi di negara tersebut.

"Kami memuji rakyat Guatemala karena memajukan demokrasi di tengah situasi yang penuh tantangan," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Senin.

"Kami juga memuji lembaga-lembaga Guatemala, masyarakat sipil, dan komunitas internasional yang menjaga integritas, sistem, dan proses pemilu."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya