Liputan6.com, New Delhi - Alih-alih mendapat sorotan atas prestasinya di dunia olahraga, atlet paralimpik di India justru tidak mendapat penghargaan sebagaimana mestinya. Nama-nama atlet seperti Deepa Malik, Devendra Jhajharia dan Mariyan Thangavelu justru kurang mendapat apresiasi.
Berangkat dari keresahan tersebut, remaja berusia 17 tahun bernama Saachi Munot memiliki inisiatif untuk membuat website yang menyorot prestasi para atlet yang kurang mendapat apresiasi.
Baca Juga
Website www.thenationspride.com yang dibuat oleh Munot bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan perhatian terhadap para atlet paralimpik, mengangkat cerita dan prestasi menginspirasi dari mereka serta menjadi wadah bagi mereka untuk bersuara.
Advertisement
Melalui platform tersebut, para atlet juga dapat memberi masukan untuk dunia olahraga yang diharapkan bisa membantu mengembangkan dunia paralimpik.
Jhajharia, atlet lempar lembing yang meraih medali emas pada tahun 2016, menyambut peluncuran website tersebut.
"Ini kali pertama saya menemukan website India yang didedikasikan untuk atlet paralimpik. Ini merupakan langkah penting untuk membangun kesadaran tentang atlet paralimpik," kata dia, seperti dikutip dari artikel Times of India tahun 2017, Sabtu (20/1/2024).
"Jika kami harus bersuara, kami harus menggunakan internet. The Nation Pride menjembatani jarak tersebut. Ini merupakan motivasi besar untuk atlet paralimpik," sambungnya.
Gagasan Munot
Munot, siswa kelas 12 di Sekolah Internasional Dhirubhai Ambani yang juga aktif bermain bola, memiliki gagasan tersebut setelah sebelumnya bertemu dengan organisasi non-profit yang menyediakan kaki buatan.
"Saya merasa kecewa melihat kurangnya sorotan dan perhatian kepada atlet paralimpik dan akhirnya memutuskan untuk membuat platform digital," ungkap Munot.
Dengan bantuan dari Ideate Labs, sebuah perusahaan digital marketing bernama Saachi mengembangkan website yang menyoroti wawancara dengan atlet paralimpik, berita dan artikel mengenai mereka dan informasi tentang acara olahraga paralimpik mendatang.
Advertisement
Mitos tentang Disabilitas yang Dipatahkan Atlet Paralimpiade Tokyo 2020
Dalam kisah berbeda, peraih medali emas paralimpiade sekaligus juru kampanye disabilitas, Liz Johnson, menghilangkan prasangka 10 kesalahpahaman umum tentang disabilitas untuk kita ingat sepanjang penyelenggaraan pertandingan di Paralimpiade Tokyo 2020.
Berikut adalah 10 mitos yang dipatahkannya:
Mitos 1: Karir terbaik adalah paralimpiade
"Tak perlu dikatakan bahwa saya menyukai Paralimpiade. Memenangkan emas di Olimpiade adalah satu-satunya yang saya inginkan, sehingga mampu memenuhi mimpi itu benar-benar istimewa. Tapi tidak semua penyandang disabilitas membagikannya," kata Liz Johnson.
"Paralimpiade membantu menyoroti bakat penyandang disabilitas yang luar biasa, dan bukan hanya olahraga yang bisa kita lakukan. Mitos itu membatasi peluang bagi tenaga kerja penyandang disabilitas lainnya, serta pensiunan atlet Paralimpiade. Padahal, sama seperti orang yang berbadan sehat, ada banyak ambisi dan keterampilan yang berbeda di antara kita, dan kita mampu bekerja di sektor apa pun yang kita pilih."
Mitos 2: Penyandang disabilitas adalah minoritas kecil
"Ada lebih dari 14 juta orang yang hidup dengan disabilitas di Inggris saat ini, atau setara satu dari lima orang. Artinya tidak sedikit jumlahnya. Namun, karena disabilitas sangat kurang terwakili, kecuali setiap didakannya paralimpiade. Oleh karena jarangnya kami melihat disabilitas di pemerintahan, layar maupun panggung maka kini perlu diubah. Penyandang disabilitas harus diberi platform di setiap sektor jika kita ingin menormalkan disabilitas," tambahnya.
Selengkapnya di sini...