Liputan6.com, Jakarta - Hasil pemeriksaan forensik memiliki peran yang sangat penting untuk kasus kekerasan, terlebih dalam kasus yang tidak memiliki saksi. Salah satu yang paling umum adalah kekerasan seksual.
Demikian diungkapkan oleh Ahli Forensik Polri Brigjen Pol Dr. dr. Sumy Hastry Purwanti.
"Bila ada korban kekerasan apapun, khususnya kekerasan seksual, sebagai dokter atau medis, atau mungkin pihak orang tua atau guru akan kesulitan mengumpulkan bukti karena hanya ada pelaku dan korban," kata dia dalam acara diskusi "Forensic to Catch a Criminal" yang diadakan Kedutaan Besar AS di Jakarta, Kamis (18/7/2024).
Advertisement
Hastry menggambarkan bahwa dalam beberapa kasus, memar atau luka korban terkadang cukup sulit dibedakan apakah penyebabnya karena terbentur, kecelakaan atau memang karena kekerasan.
"Misalnya dalam kasus di Klaten, tangan korban ada tanda gigitan orang dewasa. Namun pelaku mengaku karena gigitan binatang. Ini kan tidak mungkin. Maka dari itu, hasil forensik menjadi sangat penting," lanjutnya.
Ia pun mengimbau agar masyarakat memahami hal yang demikian dan jika menemukan kasus kekerasan atau bahkan menjadi korban, bisa berusaha untuk menjaga bekas luka sebagai barang bukti.
"Untuk seperti ini jangan dicuci, jangan dibersihkan karena siapa tahu ada epitel dari jaringan kulit atau darah si pelaku karena kan pelaku bagaimana pun juga akan meminimalisir adanya saksi," sambung Hastry, seraya mendorong masyarakat untuk segera melapor ke pihak berwenang jika mengalami kondisi tersebut.
Hasil Forensik Mudahkan Polisi Ungkap Kasus
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kasubag Sumbda Setpusinafis Polri AKBP Dr. Rita Wulandari Wibowo, yang menjelaskan bahwa hasil forensik akan membantu pihaknya dalam menangani sebuah kasus kekerasan tanpa saksi.
"Hal inilah yang membantu penyidik dalam mengungkap kejahatan, yang memang tanpa saksi, salah satunya adalah kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga," jelas Rita.
KDRT, sebut dia, kebanyakan hanya melibatkan pihak pelaku dan korban.
"Saksi dalam kasus seperti KDRT maupun kekerasan seksual tentu saksinya hanya terbatas, mungkin hanya suami dan istri," tambah Rita.
Advertisement
Lahirnya UU TPKS
Selain mengandalkan hasil forensik, dalam memecahkan kasus-kasus kekerasan tanpa saksi, polisi juga berlandas pada Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022.
"Itu merupakan satu terobosan luar biasa, dimana negara hadir melalui pengungkapan kasus yang mana mengatur secara komprehensif hukum acara," tutur Rita.
Dalam UU tersebut, polisi tidak lagi mengandalkan pengakuan tersangka atau pelaku.
"Itu lahir dari best experience kami para penyidik, tenaga ahli forensik, turun Bersama dengan kejaksaan dalam berbagai kasus. Kolaborasi inilah yang kami jadikan referensi dalam menyusun undang-undang TPKS," lanjutnya.
Manfaatkan Bukti Elektronik
Lebih jauh, UU tersebut juga memungkinkan polisi untuk memanfaatkan bukti elektronik sebagai barang bukti.
"Hukum acara kita juga menggunakan dokumen lain yang diatur dalam undang-undang ITE, dokumen elektronik dan informasi elektronik dan internet menjadi alat bukti," ucap Rita.
"Ini memudahkan kami ketika membuat analisa kasus."
Advertisement